Jangan Tertipu, Hakikat Demokrasi adalah Kedaulatan Rakyat, Bukan Sekadar Memilih Pemimpin! - Tinta Media

Rabu, 14 Februari 2024

Jangan Tertipu, Hakikat Demokrasi adalah Kedaulatan Rakyat, Bukan Sekadar Memilih Pemimpin!

Tinta Media - Saudaraku! Hari ini genderang pesta telah ditabuh. Lelahkah dirimu? Kulihat peluh mengucur deras di dahimu. Berapa banyak waktu yang kauhabiskan? Berapa besar kesungguhan yang kaucurahkan? Bagaimana dengan pikiran, harta, tenaga? Bahkan, kejujuran dan kebenaran pun rela kaugadaikan. 

Apa yang sedang kauperjuangkan? Demokrasi, atau kekuasaan? 

Saudaraku, tidakkah kau ingat, hakikat demokrasi bukanlah sekadar memilih pemimpin, tetapi dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Bahwasanya segala aturan dalam kehidupan ini ditentukan oleh suara bulat rakyat, untuk dijalankan oleh rakyat, dan diharapkan bisa digunakan untuk kepentingan rakyat. Dengan kata lain, bahwasanya kedaulatan ada di tangan rakyat. 

Artinya, saat ini kau sedang mempertaruhkan hidup dan mati negeri ini di tangan rakyat. Bahkan, halal dan haram pun ditentukan oleh rakyat. Padahal, kamu tahu, rakyat adalah manusia biasa yang memiliki keterbatasan. Rakyat adalah makhluk lemah yang tidak luput dari salah dan dosa. 

Rakyat yang telah diwakili oleh segelintir orang tidak akan pernah bisa memberikan jaminan dan kepastian bahwa hidup masyarakat secara keseluruhan akan bahagia dan sejahtera dunia dan akhirat. Alih-alih hidup dengan layak, fakta telah membuktikan bahwa 100 tahun di bawah naungan demokrasi, justru kesengsaraan dan kenestapaan yang kita dapatkan. 

Saudaraku! Rakyat bukan Tuhan. Jadi, suaranya tidak mewakili suara Tuhan. Memaksakan diri untuk menjadikan suara rakyat sebagai suara Tuhan adalah suatu bentuk kemunduran dan keterbelakangan, bahkan bisa dikatakan sebagai bentuk kekufuran karena telah menyekutukan. 

Masih ingatkah engkau tentang seorang sahabat Nabi yang bernama Adi bin Hatim? Melalui sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi, ia berkata, 

"Aku pernah datang kepada Nabi saw. sementara di leherku tergantung salib yang terbuat dari emas. Nabi saw. lalu bersabda, 

'Wahai Adi, campakkan berhala itu dari tubuhmu!' 

Lalu aku mendengar beliau membaca Al-Qur'an surat At-Taubah ayat 31 yang artinya: 

Mereka menjadikan para pembesar dan para rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.

Nabi kemudian bersabda, 'Benar, mereka tidak menyembah para pembesar dan para rahib itu, akan tetapi ketika para pembesar dan para rahib itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka pun menghalalkannya dan jika para rahib atau pembesar itu mengharamkan sesuatu, mereka pun mengharamkannya." (HR. Tirmidzi) 

Ketika turun ayat di atas (At-Taubah ayat 31), Rasulullah saw. menjelaskan bahwa sesungguhnya para pembesar dan para rahib telah membuat hukum dan menetapkan status halal dan haram bagi masyarakat, lalu masyarakat menaati mereka. 

Sikap demikian dianggap sama dengan menjadikan para pembesar dan para rahib itu sebagai tuan-tuhan selain Allah sebagaimana penjelasan Rasulullah. Penjelasan Rasul tersebut menunjukkan betapa besarnya kejahatan orang yang menetapkan halal dan haram selain Allah. 

Saat ini, dengan berlangsungnya pesta besar-besaran untuk memilih orang-orang yang ditunjuk sebagai wakil dari rakyat, baik sebagai penentu segala kebijakan dan aturan, ataupun sebagai pelaksana dan penerap hukum-hukum tersebut dalam ranah kehidupan, tidakkah disadari bahwa apa yang kaulakukan itu sama dengan mencari sekutu atau tandingan-tandingan Allah? 

Ingatlah, Allah Swt. berfirman di surat Yusuf ayat 40,
اِنِ الْحُكْمُ اِلَّا لِلّٰهِ 

Artinya, yang berhak menetapkan hukum hanya Allah. 

Jadi, yang berhak menetapkan halal dan haram itu hanya Allah, bukan manusia atau segelintir orang yang mewakili suara dan kehendak rakyat. Bahkan, Rasulullah mengatakan bahwa hal yang seperti itu sama dengan menyekutukan Allah dengan makhluk ciptaan-Nya. 

Saudaraku! Sejak runtuhnya daulah Islam tahun 1924 lalu, musuh-musuh Islam telah memahami bahwa kaum muslimin pasti akan menolak dengan tegas jika mengetahui esensi dari demokrasi karena jelas-jelas bertentangan dengan Islam. Itu sebabnya, mereka membungkus ide jahat dan rusak dari demokrasi ini. Mereka sengaja menipu dan mengaburkan hakikat demokrasi ini dengan menonjolkan bahwasanya demokrasi adalah pemilihan pemimpin agar kaum muslimin dengan senang hati mau menerima ide-ide ini. 

Layak, jika saat ini banyak dari kaum muslimin yang bahdilan juhdi (mengerahkan semua kemampuan) untuk meraih kekuasaan dan kepemimpinan tersebut. Bahkan, orang-orang yang terpilih untuk mewakili rakyat lebih sibuk dan bersungguh-sungguh memikirkan segala cara untuk meraih kepemimpinan itu daripada menjalankan amanah yang telah dititipkan oleh rakyat. 

Tidakkah engkau takut dengan peringatan Allah bahwa siapa pun yang berpaling dari peringatan Allah, maka baginya adalah kehidupan yang sempit? 

Ini jelas terdapat dalam Al-Qur'an surat Taha ayat 124. 

وَمَنْ اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَاِنَّ لَهٗ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَّنَحْشُرُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اَعْمٰى 

Artinya: 

Siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit. Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta. (QS Taha: 124). 

Saudaraku, mari jadikan diri kita sebagai orang yang paling beruntung dengan mendapatkan kemenangan hakiki dengan curahan barakah dari langit dan bumi. Caranya, tentu dengan melakukan perubahan besar-besaran dengan menerapkan hukum-hukum yang berasal dari Allah dan mencampakkan demokrasi sejauh-jauhnya. Jangan lagi tertipu, karena kebahagiaan hakiki itu tidak bisa didapat dengan hanya mengubah sosok pemimpin, tetapi dengan perubahan secara fundamental dan mendasar yaitu dengan sistem yang diridai oleh Allah Swt, daulah khilafah Islamiyyah. 

Wallahu a'lam bishawab.

Oleh: Ida Royanti
Editor Tinta Media dan Founder Komunitas Aktif Menulis 
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :