Tinta Media - Sungguh miris, negara Indonesia yang memiliki kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) melimpah ruah, ternyata memiliki utang negara yang menggunung. Hal ini disebabkan oleh keuntungan hasil pengelolaan SDA tidak masuk ke dalam kas negara.
Adanya praktik privatisasi serta SDA yang boleh dimiliki oleh siapa saja yang bermodal besar, menjadi akar masalah dari kesemrawutan persoalan ini. Siapa saja boleh membeli ladang, hutan, laut, bahkan pulau sekalipun, kemudian hasil keuntungan penjualan itu hanya akan dinikmati oleh segelintir orang saja.
Akibatnya pemasukan kas negara tidak sebanding dengan pengeluaran, maka satu-satunya cara untuk memenuhi kebutuhan negara adalah dengan penarikan pajak dan utang luar negeri.
Utang menjadi salah satu persoalan besar ekonomi bagi rakyat Indonesia. Memasuki tahun baru 2024, utang negara semakin membengkak. Direktur Pinjaman dan Hibah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Dian Lestari menjelaskan, posisi utang negara secara keseluruhan per 30 November 2023 adalah Rp8.041.01 triliun.
Jumlah tersebut didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp7.048,9 triliun (88,61% dari total utang) dan pinjaman sebesar Rp916,03 triliun (11,39% dari total utang). Namun, ia menyatakan bahwa pinjaman pemerintah, baik dari dalam maupun luar negeri masih terkendali. (katadata.co.id 19.12.23)
Jika dihitung, sejak mengawali jabatan kepresidenan di tahun 2014, utang pemerintahan Jokowi, sudah membengkak sebesar Rp5.431,21 triliun. Pemerintah selalu berdalih bahwa utang masih dalam kondisi aman. Alasan utamanya karena rasio utang belum mencapai 60% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Dalam laman resmi Kementerian Keuangan, pemerintah berdalih bahwa utang tersebut diambil untuk mengakselerasi pembangunan infrastruktur dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sehingga nantinya diharapkan mampu meningkatkan daya saing nasional, seperti membangun proyek-proyek prioritas nasional, di antaranya adalah jalan tol, pelabuhan, MRT, rumah sakit, institusi pendidikan tinggi, pertanian dan pedesaan, pengembangan fasilitas kelistrikan, serta fasilitas air bersih.
Pemerintah mengklaim bahwa proyek-proyek pembangunan yang dibiayai oleh utang itu telah memberikan dampak positif bagi masyarakat. Padahal, tidak semua masyarakat mendapatkan manfaat dari pembangunan tersebut. Contohnya pembangunan IKN, kereta cepat Jakarta-Bandung, sejumlah bandara, dan ruas tol.
Padahal, menurut Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto, ada sedikitnya 58 proyek Pemerintahan Jokowi yang terancam mangkrak. Nilainya sungguh fantastis, mencapai Rp420 triliun.
Dalam sistem kapitalisme, sebanyak apa pun sumber daya alam yang dimiliki suatu negara, tidak menjamin memiliki pemasukan besar. Ini terbukti di Indonesia. Sebagai negara dengan SDA yang berlimpah, negeri ini justru tenggelam dalam lautan utang yang semakin membesar.
Utang Indonesia yang jumlahnya fantastis tidak layak lagi disebut aman dan terkendali. Hal ini merupakan buah dari kegagalan pemerintah mengelola negara. Ditambah dengan realitas yang terjadi di tengah masyarakat. Ini sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa utang adalah instrumen yang senantiasa membuat umat menderita.
Padahal, Islam senantiasa menawarkan mekanisme pemulihan perekonomian sistemis yang siap diterapkan di tengah karut-marut persoalan utang ini. Dalam hukum Islam, berutang boleh-boleh saja dilakukan. Akan tetapi, dalam lingkup kenegaraan, pemerintah Islam (khilafah) menghindari berbagai bentuk skema utang ribawi.
Khilafah akan berutang hanya untuk perkara-perkara yang mendesak, yang jika ditangguhkan khawatir terjadi kerusakan dan kebinasaan. Perkara yang masih bisa ditangguhkan akan diatasi saat negara sudah memiliki harta. Upaya lain untuk mengatasi krisis ekonomi yaitu dengan melakukan penarikan pajak yang dibebankan kepada orang-orang kaya.
Negara Islam (daulah Islam) juga memiliki sumber APBN untuk memenuhi kebutuhan publik, seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, bahkan perumahan yang bisa dinikmati rakyat tanpa mengeluarkan uang sepeser pun alias gratis. Hal itu merupakan wujud pelayanan negara kepada rakyat.
Sistem ekonomi Islam merupakan sistem ekonomi mandiri yang tidak bergantung kepada negara lain. Negara akan memaksimalkan pemasukan dari pendapatan tetap, seperti fai, ghanimah, anfal, kharaj, dan jizyah, serta pemasukan dari kepemilikan umum dengan berbagai macam bentuk, serta pendapatan dari harta yang dikelola negara seperti usyur, khumus, rikaz, dan tambang.
Dengan demikian, Indonesia berpotensi terbebas dari jerat utang jika dipimpin oleh pemimpin yang mau menerapkan syariat Islam, ikhlas dan amanah dalam mengelola negara. Wallahu a’lam bishawab.
Oleh: Chusnul AK
Sahabat Tinta Media