Demokrasi Menyuburkan L68T - Tinta Media

Rabu, 28 Februari 2024

Demokrasi Menyuburkan L68T



Tinta Media - Hasil survei CIA yang dilakukan pada tahun 2015, menyebutkan bahwa populasi L68T di Indonesia berada pada urutan ke-5 setelah Cina, India, Eropa dan Amerika. Tak hanya itu, survei independen pun menyatakan bahwa 3% atau 7,5 juta dari 250 juta penduduk Indonesia merupakan orang yang berperilaku L68T. (Topikmalaysia.com)

Ketika penulis membaca tulisan tersebut, timbul rasa penasaran bercampur tidak percaya dan ngeri. Bagaimana mungkin, Indonesia yang pada tahun 1970, penduduk muslimnya 95% dan kini (2020) masih 87.1%, bisa menjadi negara dengan urutan ke-5 dalam jumlah orang berperilaku L68T.

Kini 9 tahun setelah survei itu, kira-kira Indonesia di urutan berapa, naik atau turun, berapa % yang terinfeksi (berperilaku) LGBT dari jumlah penduduk Indonesia. L68T adalah bencana kemanusian dan sekaligus kemaksiatan yang amat besar, apalagi jika pelakunya adalah umat Islam, karena perbuatan ini dilaknat Allah. Atas dorongan rasa penasaran, sedih dan takut penulis kemudian melakukan penelusuran datanya.

Mengutip dari laman Statista, Rabu (24/5/2023), sebuah lembaga survei melakukan survei pada tahun 2021 di 27 negara, dari hasil survei terungkap, ada 70 persen responden yang tertarik secara seksual kepada lawan jenis, sekitar 3 persen menyatakan diri dengan tegas sebagai homoseksual ( gay atau lesbian), 4 persen mengaku biseksual, dan 1 persen mengaku omniseksual. Belanda, Belgia, Inggris Raya dan Australia responden homoseksual terbesar. Rusia dan Hongaria responden heteroseksual terbanyak.

Bagaimana dengan perkembangan L68T di Indonesia? Jurnal Kewarganegaraan Volume 18, Nomor 2 (2021), menerbitkan sebuah studi berjudul “Eksistensi L68T di Indonesia dalam Kajian Perspektif HAM, Agama, dan Pancasila”. Studi dilakukan oleh tim yang beranggotakan Toba Sastrawan Manik, Dwi Riyanti, Mukhamad Murdiono, dan Danang Prasetyo dari lintas universitas. Mereka memaparkan bahwa ada peningkatan kelompok L68T di Indonesia. Peningkatan tersebut khususnya terjadi di kalangan gay di daerah perkotaan seperti Bali, Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta. Toba Sastrawan Manik dan timnya menulis bahwa kelompok LGBT memiliki organisasi bernama Gaya Nusantara dengan sebaran di 11 kota di Indonesia.

Dari data dan informasi tersebut penulis mencoba melihat dan membuktikan apakah benar L68T ini terus menyebar ke kota-kota di Indonesia. Maka penulis mencoba mencari informasi dari laman-laman media sosial terutama facebook di kota penulis sendiri. 

Dan sungguh mengejutkan penulis, bahwa di kota Tenggarong (Ibu Kota Kabupaten Kutai Kartanegara, dengan penduduk 128.211 orang). Terdapat 3 group facebook, yaitu : Gay Tenggarong-Kaltim dengan anggota 744, Gay Kaltim Samarinda Tenggarong Sebulu Muarakaman dengan anggota 1,2 ribu anggota dan Gay Tenggarong dengan 126 anggota. Dan ada yang bersifat facebook pribadi seperti Gay Tenggarong dengan 427 teman dan Gay Aldi dengan 121 teman. Dari 5 laman facebook total anggota berjumlahkan 2.618 orang, dan jika dibandingkan dengan jumlah penduduk kota Tenggarong yang berjumlah 128.211 orang, maka prosentasenya adalah 2%. Data ini menunjukkan bahwa L68T tumbuh dan berkembang dari kota-kota besar (metropolitan) sampai ke kota-kota kecil (Kabupaten/ Kecamatan).

Hal penting yang perlu segera diketahui adalah, apa yang membuat L68T tumbuh dan terus menjalar ke kota-kota kecil di Indonesia? Adakah ini sebuah pertumbuhan yang alami atau ada yang memfasilitasi? Kalau ada yang memfasilitasi bagaimana mungkin sebuah kemaksiatan difasilitasi? untuk tujuan apa? Dan mungkin masih banyak lagi pertanyaan yang berkecamuk di kepala dan hati kita sebagai seorang muslim.

Pada satu titik akhirnya penulis, melihat ada benang merah antara tumbuh dan berkembangnya L68T dengan seiring tumbuh dan berkembangnya sistem demokrasi di Indonesia. Memang tidak mudah atau bahkan sangat sulit untuk “mengaitkannya”. Maka untuk memberikan gambaran singkat, lugas dan masuk akal. Mari kita menelisik, dimulai dari pertanyaan pokok yaitu apa tujuan diterapkannya demokrasi?. Secara umum minimal ada 5 tujuan, yaitu : 1. Memberi kebebasan dalam berpendapat dan berekspresi, 2. Mencegah perselisihan antar kelompok, 3. Menciptakan keamanan dan ketertiban bersama, 4. Mendorong masyarakat aktif dalam pemerintahan, dan 5. Membatasi kekuasaan pemerintah.

Mari kita fokus pada tujuan nomor 1, yaitu memberi kebebasan dalam berpendapat dan berekspresi. Secara singkat kemudian tujuan ini kemudian dilegalkan dengan UUD 1945 dalam Pasal 27 ayat (1) : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Dari pasal 27 ayat (1) ini kemudian lahir UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). HAM adalah hak dasar manusia yang harus dilindungi negara dan pemerintah.

Selanjutnya dari UU HAM inilah kemudian menjadi wadah berlindung, tumbuh dan berkembangnya LGBT di Indonesia. Bagaimana korelasinya?, mari lihat fakta lapangannya. Bukankah orang-orang yang hidupnya menyimpang dari kenormalan kemudian berdalih, ini kan kodrat, ini kan dilindungi HAM. Sehingga kemudian mereka berani muncul di tengah-tengah masyarakat dengan berbagai cara dan di berbagai acara. Ada dalam acara-acara seni yang memerankan “bencong”, ada laki-laki yang berpakaian wanita, ada seminar-seminar yang membahas tentang kelainan gender, dll. Dan puncaknya di beberapa negara yang menerapkan sistem demokrasi telah mengesahkan UU yang memperbolehkan perkawinan sejenis, dan hari ini sudah ada di 33 negara. Ini semua jika ditarik benang merahnya adalah hasil diterapkannya sistem demokrasi diterapkan oleh suatu negara.

Bagaimana logika sederhananya?, UU dibuat Wakil Rakyat, Wakil Rakyat dipilih oleh Rakyat, sistem pemilihan yang menghasilkan Wakil Rakyat adalah sistem demokrasi, jelas!.

Lalu bagaimana Islam menilai dan menghukumi pelaku L68T. Islam sangat jelas melarang (mengharamkan) zina apalagi L68T. Al-Qur’an  sangat tegas menetapkan hukumannya, terdapat dalam surah An-Nur ayat (2), yang artinya “Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali …”.  Sedangkan pelaku LGBT (liwath) Rasulullah saw sangat tegas memberlakukan hukuman mati, hal dapat kita temukan dalilnya dari  hadits : “Diriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata : Rasulullah Saw telah bersabda “Barang siapa yang kalian ketahui telah berbuat liwath (perbuatan kaum luth), maka bunuhlah kedua pelakunya, baik pelaku itu sendiri maupun partnernya” (HR. Al-Khamsah kecuali Nasa’i).

Jika Al-Qur’an  dan Hadits telah dengan tegas menetapkan hukuman terhadap pelaku zina dan liwath (LGBT). Lalu mengapa hukuman itu tidak bisa dilakukan oleh umat Islam di Indonesia. Bukankah hari ini umat Islam di Indonesia ini berjumlah 87,1% (mayoritas). Jawabannya, tidak lain dan tidak bukan, karena umat Islam tidak memiliki kepemimpinan yang berdasarkan syariat Islam. Karena hanya kepemimpinan Islamlah yang mau dan berhak melaksanakan hukuman syariat Islam. Maka jika tidak ingin, LGBT terus berkembang di Indonesia khususnya dan di negara-negara muslim lainnya maka tidak ada pilihan lain kecuali umat Islam harus kembali kepada penerapan Islam kaffah dengan sistem khilafah. Karena hanya sistem khilafahlah yang bisa menerapkan seluruh syariat Islam ditengah-tengah umat.

Wallahu a’lam bishawab
Kota Raja, 18.02.2024


Oleh : A. Darlan bin Juhri
Sahabat Tinta Media
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :