Beternak Utang Ribawi - Tinta Media

Senin, 26 Februari 2024

Beternak Utang Ribawi



Tinta Media - Sungguh mengkhawatirkan ketika membaca di media bahwa di penghujung Januari 2024 Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang mewakili Pemerintah Pusat melakukan program penyerapan dana masyarakat melalui penerbitan dan penawaran Surat Berharga Negara (SBN) yang bernilai Rp666,4 triliun. 

SBN ini hakikatnya adalah utang pemerintah yang mengandung riba. Defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) bisa ditutup dengan adanya dana dari SBN ini. Terutama Surat Utang Negara (SUN) jelas bertentangan dengan Syariat Islam yaitu mengandung riba. 

Syariat Islam telah melarang praktik ribawi baik yang dilakukan oleh individu maupun oleh negara, dalam Surat Al Baqarah ayat 275  Allah SWT melarang keras praktek riba seperti firman-Nya yang artinya: Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan dan seterusnya. Juga Rasulullah SAW mengancam keras pelaku riba sebagaimana bunyi hadistnya : Allah melaknat pemakan riba (kreditur), orang meminjam (debitur), penulisnya dan orang yang menyaksikannya. 

Mengutip dari portal resmi Kemenkeu dan Otoritas Jasa Keuangan selanjutnya disebut OJK dijelaskan pengertian dan jenis SBN. SBN yang diterbitkan Pemerintah Pusat terdiri dari SUN yang diatur dalam Undang Undang no. 24 tahun 2002 dan Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN diatur dalam UU No. 19 tahun 2008. 

SUN merupakan utang negara yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh negara. SUN dari jenisnya ada dua yaitu untuk jangka pendek maksimal 1 tahun adalah Surat Perbendaharaan Negara (SPN) dan yang jangka panjang lebih dari 1 tahun adalah Obligasi negara yang sama terdapat bunga. 

Jika dijual retail ke masyarakat disebut ORI. Sementara SBN  syariah adalah  SBSN atau Sukuk Negara yang berakad atau dengan skema ijarah, Mudarabah, Musyarakah dan Istishna. Dalam SBSN ini ada yang namanya Aset SBSN yang dijadikan objek pembiayaan. 

Bagi masyarakat yang mempunyai kelebihan dana SBN terutama SUN ini adalah instrumen investasi/piutang yang aman dan pasive income yang menjanjikan karena dijamin oleh pemerintah dengan kupon (bunga) yang cukup tinggi dibanding deposito bank selain juga bisa dijual ketika jatuh temponya belum berlaku berarti cukup liquid.

Keuntungannya ada capital gain atau keuntungan atas penjualannya jika ada potensi kenaikan harga. Minim resiko karena pembayaran bunga/kupon dan pokoknya dijamin UU SUN. SUN seperti obligasi negara juga dapat dijadikan sebagai agunan dan dapat dijual setiap saat apabila pemilik membutuhkan dana. 

SBN ini ditawarkan mulai 29 Januari sampai dengan 22 Februari 2024, dengan nilai Rp. 664,4 triliun sementara SBN yang diluncurkan di tahun 2023 sebesar 298,6 triliun, mengalami peningkatan signifikan lebih dari 100 persen. 

Bagi pemerintah ini adalah rencana tambahan utang untuk menutup defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2024 selanjutnya disebut APBN yang diperkirakan meningkat menjadi 2,29 persen (maksimal 3 % sesuai UU Keuangan Negara) dari nilai Produk Domestik Bruto dengan nilai defisit Rp. 598,2 triliun sementara untuk tahun 2023 defisit sebesar 2,27 persen dengan nilai Rp. 522 triliun. 

Defisit APBN ini juga di dalamnya adalah juga untuk kebutuhan pembayaran Utang yang sudah jatuh tempo baik pokok dan bunga, angka utang negara per bulan November 2023 sudah mencapai Rp. 8.041 triliun dengan komposisi Rp. 7.125 triliun adalah Utang dalam negeri berupa SBN dan sisanya Rp. 886,07 triliun atau 11 % berupa Utang Luar Negeri (sumber Liputan 6.com).

Sejak diluncurkan tahun 2006 Utang Dalam Negeri berupa SBN terus meningkat dan puncaknya tahun 2025 nanti pemerintahan yang baru akan membayar SBN yang jatuh tempo sebesar 704 triliun. Jika mengacu Undang Undang Keuangan Negara batas maksimal rasio utang terhadap PDB adalah 60 persen sementara Indonesia rasio utangnya berkisar 38 persen, 90 persen utang negara adalah Utang Jangka Panjang, hal ini yang sempat dinyatakan oleh salah satu Capres dalam debat Capres bahwa itu masih aman dan terkendali. 

Harusnya isu Utang Dalam Negeri ini adalah isu seksi sama seperti Bansos dan Pinjol yang memang benar-benar terasa kehadirannya di tengah masyarakat yang didukung maraknya berita tentang hal tersebut. Tidak seperti isu Utang Dalam Negeri hanya terkait dengan golongan masyarakat tertentu saja, yaitu masyarakat golongan menengah ke atas, yang mempunyai kekayaan untuk membeli SBN khususnya SUN, dan negara sebagai penjual SUN (pengutang). 

Jika dalam sosialisasi pemerintah menyatakan bahwa partisipasi masyarakat untuk membeli SUN adalah sebagai Investasi, padahal jelas produk keuangan ini dalam akad atau transaksinya adalah utang piutang uang seperti definisi dan fakta di atas. Dalam sistem ekonomi kapitalisme ribawi yang diterapkan Indonesia tentunya penawaran dan penerbitan SUN ini adalah hal yang wajar saja dalam membuat kebijakan fiskal yang dilegalkan dalam perundang-undangan. Kedudukannya penting sebagai sumber pendapatan selain pendapatan utama dari pajak. 

Sebaliknya dalam Sistem Ekonomi Islam untuk muamalah SUN ini mengandung riba terutama riba nasiah, karena akadnya batil mengandung tambahan baik nilai pokok utang ketika dijual dengan harga jual lebih tinggi dari harga beli maupun tambahan berupa bunga pinjaman. Lantas bagaimana syariat Islam dalam hal ini sistem ekonomi islam yang dijalankan oleh khalifah sebagai kepala negara Khilafah mendapatkan sumber pendapatan untuk pembiayaan APBN yang menghindari utang apalagi yang mengandung riba? 

Seperti yang dicantumkan Kitab Sistem Keuangan Negara Khilafah karangan Syeikh Abdul Qadim Zallum Dalam sistem keuangan daulah khilafah ada beberapa sumber pendapatan APBN seperti sumber daya alam yang melimpah  dan strategis yang  merupakan milik umat, yang tidak boleh diserahkan kepada pihak swasta (individu) apalagi asing seperti sekarang atau kepada negara, negara hanya sebagai pengelola untuk dikembalikan kepada umat. 

Khusus Indonesia harusnya kandungan sumber daya alam yang dimiliki lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhan rakyatnya.  Selain itu ada juga pendapatan berupa ghonimah, fai, khumus, kharaj, jizyah, dan dharibah, yang dikelola dan dialokasikan untuk kemaslahatan umat.

Tentunya kita sebagai muslim menginginkan Islam terwujud secara kaffah termasuk dalam sistem ekonomi Islam yang menggantikan sistem ekonomi kapitalistik ribawi yang telah terbukti membebani APBN dan Allah SWT murka terhadap praktik ribawi. Dengan Sistem ekonomi Islam insya Allah akan terwujud keberkahan dan kesejahteraan bagi rakyat. Wallohu ‘alam bisshowab.


Oleh: Zulpadli
Sahabat Tinta Media 
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :