Beratnya Beban Kehidupan Merenggut Insting Keibuan - Tinta Media

Sabtu, 03 Februari 2024

Beratnya Beban Kehidupan Merenggut Insting Keibuan



Tinta Media - Rohwana alias Wana (38 tahun), seorang ibu di Kabupaten Belitung, Bangka Belitung, tengah menjadi pembicaraan hangat di masyarakat. Rohwana ditangkap polisi karena tega membunuh dan membuang anaknya yang baru saja lahir di kamar mandi. Insiden tragis di Desa Membalong ini terjadi pada Kamis (18/01/2024) sekitar pukul 21.00 WIB.

Peristiwa ini sontak membuat semua warga terkejut, terlebih suaminya sendiri yang ternyata tidak mengetahui bahwa istrinya mengandung. 

“Anaknya dibunuh oleh ibunya kemudian dibuang ke semak-semak di salah satu kebun warga,” kata Kasat Reskrim Polres Belitung, AKP Deki Marizaldi, kepada kumparan, (Kumparan, 24/01/2024).

Berawal dari penemuan warga sekitar atas bayi laki-laki pada Jumat sore (19/1), kemudian dilanjutkan proses penyidikan. Dari hasil penyidikan tersebut diketahui bahwa perempuan yang kesehariannya bekerja sebagai buruh ini mengakui bahwa tindakan tragis yang dilakukannya diduga karena impitan ekonomi. Alasan tidak cukup biaya untuk membesarkan anak ketiga yang baru saja lahir tersebut disertai dua anak lainnya yang sudah besar dan suami yang bekerja sebagai buruh, sehingga Rohwana tega membunuh putranya. 

Akar Masalah

Kasus Filiside, kasus orang tua yang membunuh anaknya ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Banyak kasus sama yang terjadi di daerah berbeda. Banyak hal yang menyebabkan hal ini terjadi, namun yang paling muncul di permukaan adalah faktor himpitan ekonomi yang telah mengimpit masyarakat.

Seorang ibu idealnya merupakan sosok yang memiliki rasa cinta mendalam terhadap anaknya. Bagaimana mungkin tidak, sang ibu telah mengandung anak selama sembilan bulan lamanya. Selama periode tersebut, terbangun ikatan emosional antara ibu dan anak yang dikandungnya. Rasa cinta ini akan semakin menggebu ketika anak tersebut dilahirkan dan menambah keceriaan dalam lingkup keluarga. Namun, semuanya menjadi terkikis, bahkan hilang ketika tingginya beban hidup hadir dan tidak ada penyelesaiannya.

Selain faktor ekonomi yang mengimpit, faktor keimanan pun mengambil peran dalam membuat lemahnya iman, sehingga para ibu tidak dapat berpikir jernih dan gelap mata. 

Begitu pun faktor ketahanan keluarga yang seharusnya menjadi pendukung utama agar para ibu bisa menjalankan fungsi utama seorang ibu. Namun, karena desakan ekonomi, para ibu dipaksa ikut serta dalam menanggung beban ekonomi keluarga, sehingga lahirnya anak menjadi beban, bukan sebaliknya.

Di Mana Peran Negara?

Sejatinya, negara harus menjamin kesejahteraan atas setiap individu rakyat dengan membuat langkah-langkah strategis dalam hal perekonomian untuk meningkatkan kesejahteraan warga. Hal ini agar tingkat hidup rakyat menjadi lebih baik serta dapat memperkecil gap sosial, terutama dalam aspek kebutuhan dasar seperti pangan, pakaian, dan pendidikan.

Hal yang sangat penting bagi negara adalah menciptakan kesempatan kerja dan menetapkan standar gaji yang mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari rakyat. Namun, pada kenyataannya saat ini, harga barang-barang kebutuhan pokok semakin tinggi dan tidak terkontrol, sementara pendapatan tetap atau bahkan berkurang akibat pemangkasan jumlah karyawan. Hal ini sering kali mengharuskan istri untuk ikut serta bekerja guna mendukung ekonomi keluarga. 
Setelah lelah bekerja di luar, istri masih harus mengurus rumah tangga dan anak-anak.

Saad bin Abi Waqas r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda,

"Dan sesungguhnya jika engkau memberikan nafkah, maka hal itu adalah sedekah, hingga suapan nasi yang engkau suapkan ke dalam mulut istrimu." (HR. Bukhari dan Muslim).

Pada dasarnya, negara bertanggung jawab sebagai penjaga utama bagi para ibu, dan mampu menumbuhkan keyakinan yang teguh dalam diri mereka agar tidak mudah putus asa ketika dihadapkan pada berbagai cobaan dan tidak hilang harapan kepada Allah Ta’ala. 

Negara juga seyogianya memiliki sistem yang efektif untuk memastikan kesejahteraan warga, termasuk para ibu. Negara juga harus menciptakan kondisi sosial yang mendukung perhatian terhadap kesehatan fisik dan mental ibu serta keselamatan janinnya.

Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa negara sering kali gagal menjalankan perannya sebagai pelindung. Dalam kerangka demokrasi kapitalis, negara tidak berfungsi sebagai pelindung rakyat, melainkan cenderung melayani kepentingan kelompok oligarki kapitalis. 

Kebijakan yang diambil lebih sering menguntungkan para pemilik modal daripada rakyat kecil. Para pemimpin terlalu fokus pada persaingan politik untuk mempertahankan atau memperkuat posisi mereka sendiri atau keluarga mereka di pemerintahan, sementara penderitaan rakyat diabaikan tanpa upaya mencari solusi yang nyata dan berkelanjutan. Hal ini meningkatkan risiko terulangnya insiden tragis seperti ibu yang menghilangkan nyawa anaknya sendiri, dengan jumlah kasus yang dapat bertambah.

Tentu hal ini tidak dapat kita biarkan terus terjadi. Karena itu, dibutuhkan perubahan signifikan dalam struktur sosial dan pemerintahan untuk menjamin adanya perlindungan yang layak bagi para ibu.

Islam Mengembalikan Fitrah Ibu

Allah Swt. berfirman, “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.” (QS Luqman: 14)

Begitulah Islam dalam memuliakan posisi seorang ibu. Di dalam sistem Islam, perempuan wajib dilindungi oleh negara dalam kesulitan apa pun, termasuk persoalan ekonomi. Perempuan tidak diwajibkan mencari nafkah, karena mencari nafkah adalah kewajiban pria, sehingga perempuan bisa kembali menjalankan fungsi utamanya, yakni menjadi ummu warabbatul bait, ibu rumah tangga yang akan mendidik generasi penerus bangsa.

Ini tidak berarti bahwa wanita sama sekali dilarang untuk bekerja. Wanita dapat mengambil pekerjaan yang bermanfaat bagi masyarakat, seperti menjadi guru, dokter spesialis kebidanan, perawat, pedagang, dan sebagainya, selama mereka tetap mampu menjalankan peran utama mereka. Wanita bekerja berdasarkan kebutuhan, bukan karena tekanan untuk memenuhi kewajiban yang seharusnya bukan tanggung jawab mereka.

Demikianlah pengaturan yang terdapat dalam Islam. Ajaran ini menegaskan bahwa pria dan wanita mempunyai tanggung jawab yang berbeda dalam kehidupan keluarga. Perbedaan ini bukan merupakan diskriminasi, melainkan sudah sesuai dengan ciptaan Allah. Oleh karena itu, hanya dengan penerapan sistem Islam yang sejati, fitrah wanita dapat dipulihkan sepenuhnya. 

Hanya pemimpin yang menjadikan Al-Qur'an dan Sunnah sebagai dasar nilai dan hukum yang akan mampu menjunjung tinggi kehormatan wanita, memberikan keselamatan dan perlindungan yang layak. Wallahu a’lam bishawab.


Oleh: Umma Almyra
Pegiat Literasi
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :