Anggaran Pemilu 2024 untuk Kepentingan Rakyat? - Tinta Media

Kamis, 15 Februari 2024

Anggaran Pemilu 2024 untuk Kepentingan Rakyat?



Tinta Media - Kementerian Keuangan telah mengalokasikan anggaran hingga Rp 71,3 triliun untuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Anggaran ini telah diberikan sejak 20 bulan sebelum hari H pemilu, yaitu mulai tahun 2022 sampai dengan 2024, dengan rincian Rp 3,1 triliun pada 2022, Rp 30,0 triliun pada 2023, dan Rp 38,2 triliun pada 2024. Diakses dari https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis

Pada hakikatnya pemilu itu dari pajak rakyat dan untuk kebaikan rakyat karena 80 % APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) adalah dari pajak. Ukuran kebaikan salah satunya adalah tingkat kesejahteraan rakyat yang terus naik, kalau terjadi pergantian pemimpin saat pemilu. Fakta menunjukkan pergantian pemimpin sejak zaman Indonesia merdeka hutang Indonesia tahun 1945 sekitar Rp 50 triliun lebih, sampai saat ini 2024 sudah mencapai Rp 6.235,95 triliun adalah fakta yang tidak terbantahkan. Lalu efektifkah anggaran pemilu yang dari rakyat, yang konon katanya untuk kebaikan rakyat, justru hutang yang makin besar bukan makin turun, apalagi biaya pemilu dibebankan kepada rakyat juga? 

Aktivitas pemilu itu menjadi penting tidak penting tergantung persepsi dari mana ukuran kacamata kepentingan  melihatnya. Dalam kaca mata oligarki, kekuasaan itu menjadi sangat penting karena pemilu menjadi agenda penentu sikap seorang pengusaha yang mengincar jadi penguasa, untuk melanggengkan usahanya seperti kata calon presiden saat itu, “ketika menjadi oposisi usahanya mandek”. Dari kaca mata kesejahteraan rakyat tentu ini hanya menghabiskan anggaran karena salah satu ukuran kesejahteraan rakyat adalah negara tidak punya hutang sehingga beban pajak berkurang, faktanya hutang negara semakin besar sejak era pak Soekarno sampai era pak Jokowi. 

Bagaimana sudut pandang Islam? Islam melihat tugas pemimpin adalah mengurusi kepentingan umat. Pemilu adalah salah satu cara bukan satu-satunya cara untuk memilih pemimpin. Fokusnya  adalah bagaimana pemimpin itu mau menjalankan syariah Islam untuk menyejahterakan rakyat, bukan hanya fokus siapa orang yang memimpin. Maka Islam memberikan cara selain pemilu ketika ingin memilih pemimpin. Maka anggaran besar itu menjadi tidak penting atau bahkan tidak diperlukan. Karena amanah memimpin adalah amanah menjalankan syariat Islam, bukan malah menjalankan mandat pengusaha. Maka pemilihan pemimpin atau wakil rakyat adalah akad rakyat kepada penguasa untuk menjalankan mandat kekuasaan yang menerapkan syariah Islam. 

Seperti halnya ketika baginda Nabi Saw meninggal maka mandat kepemimpinan diserahkan kepada para sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq RA , apakah lewat pemilu seperti saat ini? Apakah perlu biaya besar seperti saat ini? Jawabannya tidak. Ketika sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq RA diangkat menjadi khalifah cukup dipilih oleh  ahlu halli wal ‘aqdi (Ulama, sesepuh, serta pemuka Masyarakat yang menjadi unsur-unsur yang berusaha mewujudkan kemaslahatan). Maka kaum muslimin tinggal melaksanakan baiat (sumpah) taat kepada khalifah (pemimpin). Karena yang terpenting bagi kaum muslimin seorang pemimpin melaksanakan hukum syariah Islam yang insya Allah bisa menyejahterakan rakyat, tidak seperti sekarang sistem demokrasi bahwa pemilu adalah kewajiban yang harus dijalankan untuk pergantian pemimpin yang konon katanya untuk Indonesia lebih baik. 

Maka prosedur praktis pengangkatan dan pembaiatan khalifah (Pemimpin) seperti yang dijelaskan oleh syekh Taqiyuddin An-Nabhani, “Dari penelitian terhadap peristiwa yang terjadi dalam pengangkatan khilafah itu, kami mendapati bahwa Sebagian kaum muslim telah berdiskusi di Saqifah Bani Saidah. Mereka yang dicalonkan adalah Saad, Abu Ubaidah, Umar, dan Abu bakar. Hanya saja Umar bin al-Khatob dan Abu Ubaidah tidak rela menjadi pesaing Abu Bakar dan Saad bin Ubadah saja, bukan yang lain. Dari hasil diskusi itu dibaiatlah  (sumpah) Abu bakar. Kemudian pada hari kedua, kaum muslim diundang ke Masjid Nabawi, lalu mereka membaiat Abu Bakar di sana. Dengan demikian, baiat di Saqifah adalah baiat (sumpah) in’iqod. Dengan itulah Abu Bakar menjadi khalifah (pemimpin) kaum muslim. Sementara itu, baiat (sumpah) di Masjid pada hari kedua merupakan baiat (sumpah) taat”.(An-nabhani 1426 : 45) Maka proses pemilihan pemimpin zaman para Sahabat RA sangat efisien tidak menghamburkan uang rakyat. 

Maka Islam memberikan solusi selain , ketika negara mengalami krisis kepanjangan ataupun hutang yang tidak sedikit, karena salah satu tolak ukur kesejahteraan masyarakat adalah ketika negara tidak punya hutang untuk membiayai rakyatnya. Islam memiliki seperangkat aturan yang menyeluruh dalam semua lini kehidupan manusia. Karena Islam telah sempurna dalam segala hal. Jika ada masalah dalam kehidupan manusia, pada hakikatnya karena manusia tidak kembali kepada Islam, manusia justru mencari solusi lain selain Islam untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. Cukuplah firman Allah Swt. sebagai fondasi dalam diri manusia. 

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Maidah ayat 3) 

  

Oleh: Aris Mayhendra
Aktivis Islam Karawang
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :