Tinta Media - ALLAH SWT. berfirman (yang artinya): Pada hari itu diperlihatkan Neraka Jahanam. Pada hari itu sadarlah manusia, tetapi kesadarannya itu tidaklah berguna lagi bagi dirinya. Manusia berkata, “Alangkah baiknya seandainya dulu aku melakukan kebajikan untuk hidupku.” (QS al-Fajr [89]: 23-24).
Terkait ayat di atas, Hatim al-Asham berkata, “Ada empat perkara yang tidak diketahui nilainya kecuali dalam empat keadaan: Masa muda tidak akan diketahui nilainya kecuali saat menjadi tua. Kelapangan tidak akan diketahui nilainya kecuali saat ditimpa bencana (kesempitan). Nikmat sehat tidak akan diketahui nilainya kecuali saat sakit. Hidup tidak akan diketahui nilainya kecuali saat mati.” (An-Nawawi, Nasha’ih al-‘Ibad, hlm. 28).
Terkait masa muda, tentu kita banyak menemukan, lebih banyak orang muda yang menghabiskan masa mudanya dengan bersenang-senang dan berleha-leha, bahkan tak sedikit yang doyan berpesta-pora serta melakukan hal yang sia-sia dan dilarang agama. Saat tiba waktunya mereka menjadi tua, sering mereka baru menyadari betapa berharganya masa muda itu jika saja diisi dengan hal-hal yang berguna. Tak sedikit yang bahkan berandai-andai untuk kembali ke masa muda.
Lalu terkait kelapangan—baik kelapangan harta, waktu atau yang lain—sering hal itu terabaikan dan tersia-siakan, tak banyak disyukuri sebagai sebuah kenikmatan sehingga sedikit dimanfaatkan untuk kebaikan. Saat tiba ditimpa kesempitan atau kesulitan hidup, barulah banyak orang tersadarkan betapa bernilainya kelapangan itu.
Kemudian terkait nikmat sehat, kebanyakan orang memang seolah tidak memandang berharga nikmat sehat itu. Karena itu mereka pun jarang bersyukur atas nikmat sehat tersebut. Saat sehat mereka bukan melakukan ketaatan kepada Allah SWT, tetapi malah banyak bermaksiat. Saat tiba masa sakit, barulah mereka menyadari betapa berharganya nikmat sehat itu. Sayangnya, saat kembali sehat, kembali pula mereka kufur nikmat; kembali bermaksiat dan tetap enggan taat.
Terakhir adalah nikmat hidup. Banyak manusia yang hidup hari ini melupakan hakikat nikmat kehidupan dunia yang bersifat sementara. Karena itu banyak manusia yang dalam kehidupannya di dunia lalai dan terlena. Mereka lupa bahwa akhiratlah kehidupan yang abadi dan kehidupan yang sebenarnya. Di sanalah ujung nasib manusia, apakah masuk surga atau menjadi penghuni neraka. Yang masuk surga tentu bakal bahagia. Yang menjadi penghuni neraka tentu akan sengsara. Pada saat itulah manusia yang mengalami kesengsaraan di akhirat akan menyesal dengan penyesalan yang dalam (Lihat: QS an-Naba’ [78]: 40).
Wa mâ tawfîqî illâ billâh wa ’alayhi tawakkaltu wa ilayhi unîb. []
Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar
Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor