Tinta Media – Menanggapi pernyataan senator Bali Arya Wedakarna yang meminta agar wanita berhijab tidak ditaruh di posisi penyambut tamu (frontliner) Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali, Cendekiawan Muslim Ustadz Ismail Yusanto (UIY) menegaskan bahwa Indonesia itu beragam.
“Masyarakat Indonesia itu beragam, dan Bali bagian dari Indonesia. Keberagaman ini adalah fakta yang tidak terbantahkan. Jika demikian ketika ada yang berpakaian berbeda, apalagi itu bagian dari ketentuan agama seharusnya dipandang sebagai cermin keberagaman,” tuturnya di Focus To The Point: Menyerang Islam Atas Nama Budaya? Di kanal UIY Official, Senin (8/1/2024).
Ia melanjutkan, pernyataan itu semata-mata muncul dari ketidaksukaan terhadap Islam (Islamofobia), karena dari sisi pelaksanaan tugas sama sekali tidak ada signifikasi pengaruh antara yang berkerudung dengan yang tidak.
“Itu pernyataan yang Islamofobia. Jelas sekali tidak bisa ditutupi bahwa yang dimaksud frontliner yang dia lihat itu menutup kepala, atau kalau dalam bahasa kita memakai khimar/kerudung,” imbuhnya.
Ini, lanjutnya, pantas dipersoalkan karena mempersoalkan ajaran Islam, sementara dia sama sekali tidak respek terhadap ajaran agama lain, dan kalau dibiarkan akan menjadi duri-duri pertentangan.
Islam
Menurutnya, yang bisa mengatasi keberagaman (budaya) ini hanya Islam. Ia beralasan, Islam ketika bicara budaya ada dua level, level privat dan level komunal.
“Ketika di level privat, Islam memberikan kebebasan kepada yang bersangkutan untuk mematuhi seluruh ketentuan agamanya baik terkait dengan keyakinan itu sendiri, ibadah, makanan, minuman pakaian. Jika pakaian itu memang harus seperti itu menurut agamanya, dia harus diberi kebebasan. Itu ajaran Islam! Islam tidak pernah mempersoalkan hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan itu, sesuatu yang ini hari justru gagal dipahami dan disikapi,” ulasnya.
Ia memberi contoh, di Perancis yang katanya modern, menjunjung tinggi egality, fraternity, liberty (persamaan, persaudaraan, kebebasan) ternyata tidak ada kebebasan buat muslimah di sana mengenakan purdah. “Pun begitu di Bali yang baru saja dipersoalkan!” imbuhnya.
Dalam pandangan UIY, ini bukan sekedar relasi agama dan budaya tetapi masalah utamanya adalah bagaimana agama itu menyikapi budaya khususnya yang berkaitan dengan kehidupan privat.
“Jadi ini enggak akan selesai karena tidak ada kemampuan dari agama-agama lain selain Islam untuk menyikapi hal-hal yang bersifat personal ini,” sedihnya.
Dalam penilaian UIY, ini berbeda dengan Islam. Islam ucapnya, memiliki tuntunan yang jelas terkait hal itu, termasuk soal budaya (urf).
“Merujuk kepada Syekh Abdul Wahab Khalaf dikatakan urf itu ada dua, urf sahih dan urf qabih. Urf sahih adalah budaya yang sesuai dengan ketentuan ajaran Islam. Ini bisa diterima. Sedangkan urf qabih adalah yang bertentangan dengan Islam. Ini harus ditolak,” jelasnya.
Karena itu, sambungnya, sebenarnya clear sekali bahwa Islam bisa diliquid dengan budaya sepanjang sesuai dengan ajaran Islam.
“Islam membentuk budaya, tapi budaya yang berkembang di tengah masyarakat juga diinspirasi oleh agama. Itulah yang membuat budaya Islam di tengah masyarakat memberikan kebaikan kepada manusia, sekaligus membuka ruang inovasi,” bebernya.
Ia mencontohkan, di Indonesia mengenal sarung yang itu tidak ada di Timur Tengah. “Ini yang membuat budaya Islam di Indonesia bisa berbeda dengan budaya Islam di Timur Tengah, di Eropa dan lain-lain,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun