Tinta Media - Suasana jelang pemilihan umum (pemilu) semakin terasa dengan semakin semaraknya foto-foto para calon anggota legislatif (caleg) yang terpampang di pinggir-pinggir jalan. Ini merupakan wujud promosi kepada masyarakat, untuk memilih mereka menjadi wakil rakyat di pemerintahan. Beragam upaya dilakukan untuk memenangkan diri dalam pertarungan kontestasi politik pada Februari 2024 mendatang.
Tak hanya memasang foto, para caleg ini pun ternyata melakukan ritual di makam keramat. Melansir dari liputan6.com (8/12), para caleg melakukan wisata religi mengunjungi makam-makam di heritage Bukit Siguntang Palembang. Terdapat 7 unit makam di Wisata Bukit Siguntang Palembang, yang merupakan keturunan dari raja-raja di masa Kerajaan Sriwijaya.
Menurut keterangan dari salah satu juru kunci Wisata Bukit Siguntang, biasanya tiap bulan Desember jelang Pemilu, banyak caleg yang datang. Mereka datang untuk berziarah dan mengirimkan doa kepada para leluhur, yang dipercaya sakti mandraguna di masanya. Ada yang berasal dari Palembang, Prabumulih, Ogan Ilir, Baturaja, Muara Enim, Bengkulu, dan Jakarta. Tak hanya itu, beberapa negara Asia, seperti Malaysia dan Singapura pun turut hadir ke Wisata Bukit Siguntang ini.
Sekularisme Mengakar
Sungguh, apa yang dilakukan para caleg adalah buah dari sekularisme yang mengakar. Mereka menormalisasi adanya kesyirikan, menjauhkan sikap dan perbuatan sesuai dengan norma agama. Lihat saja, demi meraih kekuasaan, para caleg rela menggunakan segala cara untuk menang dalam pemilu 2024 mendatang, termasuk dalam kunjungan ke makam-makam keramat.
Terlebih, mereka melaksanakan tradisi nyeleneh untuk mewujudkan keinginan, seperti mengukur panjang kedua tangan yang dibentangkan di sebilah bambu dan dipasang tanda menggunakan karet. Beberapa hari kemudian, mereka datang lagi dan mengukur kembali bentangan tangan ke tanda karet yang dipasang sebelumnya. Jika batasannya melebihi, mereka percaya jika keinginannya akan terkabul. Selain itu, mereka juga melakukan do'a di atas makam keramat. Bahkan, disebut juga ada yang sampai membawa orang pintar dengan menggelar ritual-ritual aneh yang tak sesuai syari'at Islam.
Menyedihkan memang, sekularisme telah mengikis habis akidah (keimanan) seseorang, termasuk dalam diri para caleg yang notabene kelak akan memimpin kehidupan rakyat. Namun, karena agama dipisahkan dari kehidupan, perbuatan yang dilakukan tidak berlandaskan halal dan haram, tetapi berlandaskan manfaat dan hawa nafsu semata. Demi tercapainya hasrat kepemimpinan, mereka rela melakukan apa saja, termasuk melanggar norma-norma agama.
Jika masih menjadi kandidat saja sudah banyak melakukan kemaksiatan, bagaimana wujudnya jika amanah kepemimpinan sudah diserahkan ke pundaknya? Negara seperti apa yang akan diwujudkan? Pengurusan rakyat yang seperti apa yang akan dilakukan?
Bisa dikatakan, para caleg sendiri sebenarnya sudah bingung ingin menang dengan cara apa. Mereka sendiri sadar bahwa tidak ada nilai yang membuat mereka percaya diri untuk menang. Karena faktanya, tak sedikit para kandidat caleg yang sebenarnya tidak memahami peran dan kepemimpinan. Bahkan, yang selama ini tidak dikenal track recordnya dalam kepemimpinan pun berani unjuk gigi dalam kontestasi pemilu. Waduh, kok bisa, ya?
Itulah realitas yang terjadi jika kita hidup dalam sistem demokrasi yang menganut sistem sekuler. Jabatan kepemimpinan itu bak surya yang menyilaukan mata. Kedudukan dipandang sebagai tempat meraih pundi-pundi materi. Bayangkan saja, modal untuk masuk ke dalam dunia politik saja sudah besar. Tak heran jika yang baru saja menjabat bisa terjerat kasus korupsi untuk mengembalikan modal yang sudah dikeluarkannya tadi.
Pahami Urgensi Kepemimpinan
Sesungguhnya, di dalam Islam, manusia tidak boleh mengemban paham sekularisme. Karena itulah, agama penting bagi kehidupan manusia. Buah dari agama adalah syari'at sebagai pijakan manusia dalam berbuat.
Islam memandang kepemimpinan adalah amanah yang berat tanggung jawabnya, bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Sebagaimana sabda Nabi saw.
“Tidaklah seorang manusia yang diamanati Allah Swt. untuk mengurus urusan rakyat, lalu mati dalam keadaan dia menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga bagi dia.” (HR Bukhari)
Seorang pemimpin wajib menjaga akidah (iman) rakyat agar tetap lurus di jalan Allah Swt. Tak hanya itu, pemimpin dalam Islam juga wajib menjamin ketersediaan kebutuhan rakyat, seperti sandang, pangan, dan papan. Demikian juga pendidikan, keamanan, dan kesehatan.
Mengutip dari laman Muslimah News, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan bahwa seorang pejabat negara harus memiliki tiga kriteria penting, yaitu al-quwwah (kekuatan); at-taqwa (ketakwaan); dan al-rifq bi ar-ra’iyyah (lembut terhadap rakyat).
Disebutkan bahwa ketakwaan adalah pilar penting yang harus dimiliki seorang pemimpin. Dia akan sadar bahwa setiap perbuatan yang dilakukan dilihat oleh Allah Swt. dan kelak Allah Swt. akan memberikan balasan. Ketakwaan menjadikan para pemimpin senantiasa berhati-hati dalam berbuat. Sehingga, ia tidak akan mungkin berbuat maksiat karena iman dan takwa ada dalam dadanya. Dia sadar bahwa maksiat menghantarkannya ke dalam neraka.
Apalagi, berbuat syirik, berharap dan bergantung pada selain Allah Swt. merupakan dosa besar. Pelakunya mendapatkan ancaman masuk neraka. Allah Swt. berfirman,
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa: 48).
Sungguh, pemimpin yang bertakwa, yang senantiasa berpegang teguh pada al-Qur'an dan As-Sunnah harus segera diwujudkan, yakni dengan menjalankan ketakwaan individu, masyarakat, sampai ke level negara. Negara yang dimaksud adalah bukan negara demokrasi yang menihilkan peran agama, tetapi negara yang berpegang teguh pada hukum Allah Swt, yakni sistem Islam.
Wallahua'lam bisshawab.
Oleh: Ismawati
Aktivis Muslimah Banyuasin