Tinta Media - Menjelang malam tahun baru 2024, sejumlah daerah di Indonesia melakukan razia minuman keras (miras), tidak terkecuali di kota Bandung. Kepolisian Resor Kota Bandung dalam rangka Gelar Pasukan Operasi Lodaya 2023 memusnahkan barang bukti 15.700 botol miras, 52.100 butir obat ilegal dan 5 kg narkotika jenis ganja, hasil razia selama 6 bulan terakhir (Berita Antara Jabar, 21/12/23).
Wakapolresta Bandung, AKBP Imron Ermawan mengatakan bahwa pemusnahan barang bukti hasil razia itu bertujuan untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, serta mencegah adanya pelanggaran hukum di malam pergantian tahun. Pihaknya akan mengantisipasi adanya pesta miras di malam tahun baru dengan menempatkan ribuan personel di beberapa titik rawan. Masyarakat diimbau untuk tidak melakukan aksi konvoi karena rawan terjadi kecelakaan serta mengganggu ketertiban umum.
Kanti Rahmillah (Muslimah News, Opini), mengungkapkan bahwa razia miras yang dilakukan pemerintah tidak benar-benar serius. Kebijakan pemerintah terkesan setengah hati dengan hukum tebang pilih.
Kenapa? Karena di samping ada razia miras, ada juga undang-undang minuman beralkohol (minol) yang menyebutkan bahwa miras boleh dijual di tempat-tempat tertentu, seperti hotel atau tempat wisata, karena miras menjadi daya tarik bagi para wisatawan luar negeri untuk berlama-lama di Indonesia.
Budaya mengonsumsi minuman beralkohol memang berasal dari Barat melalui pergaulan, yang kemudian ditiru oleh orang kita dengan alasan ikut tren.
Pemerintah masih mengizinkan beredarnya miras karena alasan ekonomi. Bahkan, Presiden Jokowi membuka investasi industri miras yang tertuang dalam Peraturan Presiden no 10 tahun 2021 (CNN Indonesia, 2021). Obyek yang dirazia hanya pemakai dan penjual di toko-toko kecil, sedang pabrik dan penjual di hotel-hotel tidak dirazia.
Padahal, sudah jelas miras merupakan barang yang berbahaya untuk dikonsumsi karena merusak kesehatan fisik dan mental. Konsumsi miras dapat menurunkan kesadaran akibat pengaruh alkohol terhadap sel-sel syaraf pusat.
Miras menimbulkan efek samping gangguan berpikir, merasakan dan berperilaku. Peminum menjadi mudah tersinggung, bicara tidak terkontrol dan hilang konsentrasi sehingga mengalami masalah interaksi sosial. Mereka mudah tersulut emosi dan membuat keributan dan tindak kejahatan. Alkohol yang tinggi akan merusak organ hati, sistem kekebalan tubuh, bahkan otak sehingga dalam jangka panjang, mereka dapat mengalami kanker hati, osteoporosis, atau stroke.
Seperti itulah kebijakan dalam sistem kapitalis sekuler, kebijakan setengah hati dan tebang pilih. Di satu sisi dilarang karena ingin keamanan dan ketertiban, tetapi di sisi lain didukung karena menghasilkan uang. Tidak dipertimbangkan kemudharatan bagi rakyat. Tidak juga ada pertimbangan halal haram menurut agama.
Sungguh berbeda dengan agama Islam. Sebagai ideologi, Islam menganggap miras adalah induk kejahatan. Hukumnya haram untuk dikonsumsi. Miras haram secara zatnya. Jadi, tidak dilihat berapa persen kadar alkoholnya, miras (khamr) tetap haram.
Maka, untuk menciptakan kehidupan yang aman, harus ditegaskan pelarangan minuman keras, baik produksi, konsumsi, maupun pendistribusiannya.
"Allah melaknat khamr." (HR Ahmad).
Peminum khamr akan terkena sanksi berupa cambukan 40x di masa Rasulullah saw. dan di masa Utsman 80x cambukan.
Maka, satu-satunya cara untuk menjauhkan umat dari miras adalah dengan mengganti sistem kapitalis sekuler saat ini dengan sistem Islam di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiah sehingga kesehatan dan keamanan umat terjaga.
Untuk saat ini, setelah pergantian tahun, kiranya kita tetapkan resolusi untuk tahun 2024 adalah Hapus Miras dari Bumi Indonesia!
Wallahu'alam bish shawwab.
Oleh: Wiwin
Ibu Rumah Tangga