Refleksi 7 Tahun ke Belakang Konflik Agraria Merajalela Efek Politik Oligarki - Tinta Media

Minggu, 21 Januari 2024

Refleksi 7 Tahun ke Belakang Konflik Agraria Merajalela Efek Politik Oligarki




Tinta Media - Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika mengatakan sejak tahun 2015 hingga 2022 ribuan kasus persoalan agraria itu mencuat dan berdampak pada 5,8 juta hektar tanah. Realitas ini berdampak pada korban mencapai 1,7 juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia. 
Dilansir dari cnn.indonesia, (24/9/2023). 

Konflik agraria adalah salah satu persoalan besar yang menjadi tanggung jawab pemerintah belum berhasil dituntaskan dan  telah mengakar selama puluhan tahun, KPA mengungkapkan bahwa telah terjadi 2710 konflik agraria selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo. 

Merampas Ruang Hidup Publik

Polemik ini telah merampas ruang hidup jutaan masyarakat, konflik agraria terus berkembang di berbagai sektor mulai dari perkebunan yang didominasi oleh sawit, infrastruktur, proyek strategis nasional, kawasan ekonomi khusus,  sektor pertambangan, konflik di sektor properti kota Mandiri, dan area komersial di perkotaan. 

Perampasan hidup akibat problematika  yang berkepanjangan ini telah menimbulkan konflik sosial yang diikuti dengan intimidasi kekerasan dan kriminalisasi. Hal ini tentu menimbulkan penderitaan dan kekhawatiran di tengah masyarakat karena tidak ada jaminan keamanan bagi masyarakat yang wilayahnya di gunakan proyek pembangunan oleh sebagian besar pemilik modal atas legalisasi penguasa, tidak hanya itu konflik lahan juga berakibat pada relokasi besar-besaran, penggusuran rumah dan tempat hidup masyarakat. 

Sehingga rakyat kehilangan rumah dan pekerjaan bahkan berdampak ruang hidup hewan liar pun ikut dirampas karena alokasi fungsi hutan untuk proyek strategis nasional serta mengancam kelangsungan pendidikan. Penderitaan rakyat masih berlanjut dengan bencana alam yang menimpa masyarakat seperti banjir, tanah longsor,  polusi udara, limbah B3, dan kekeringan tak terhindarkan akibat terganggunya keseimbangan ekosistem. 

Pembukaan lahan dengan metode pembakaran hutan untuk mengelola hutan juga menyebabkan masyarakat terkena infeksi saluran pernafasan akut atau ISPA dan gangguan paru lainnya termasuk Pneumonia. Banyak masyarakat menjadi korban karena mengalami luka-luka terserang penyakit hingga kehilangan nyawa setiap tahunnya. 

Konflik ini juga berimbas pada banyaknya kepala keluarga harus kehilangan mata pencaharian hingga berganti mata pencaharian karena telah menghilangkan sumber penghidupan masyarakat berupa hutan, laut, sungai, cadangan air bersih, udara bersih, dan lingkungan hidup yang sehat. 

Perampasan yang Diundang-Undangkan

Kelompok bisnis dan negara para korporasi berusaha merampas tanah, air, hutan, atau sumber daya publik lainnya untuk diprivatisasi dan dijadikan kepemilikan korporasi baik dibeli maupun disewa atas nama investasi. Pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional menyerahkan pengelolaan lahan kepada korporasi dipermudah oleh pemerintah melalui berbagai regulasi kemudahan ini tertuang dalam visi Indonesia emas RPJMN 2020 hingga 2024. 

Kebijakan ini ibarat karpet merah memudahkan jalannya pemerintah untuk mendorong investasi seluas-luasnya untuk mendukung pembangunan membuka lapangan pekerjaan, memangkas perizinan pungutan liar, dan hambatan investasi lainnya. 

Inilah konsekuensi penerapan sistem kapitalisme yang memberi kebebasan kepemilikan kepada apa saja kebebasan pemanfaatan lahan pengambilalihan lahan dan sumber daya oleh korporasi yang didukung oleh aturan dan undang-undang yang diberlakukan pemerintah. 

Sejatinya polemik ini menunjukkan berjalannya politik oligarki yakni kekuasaan negara digunakan untuk kepentingan akumulasi kekayaan pemilik modal. Politik oligarki adalah buah penerapan sistem demokrasi kapitalisme yang telah berjalan selama puluhan tahun di negeri ini lewat undang-undang Minerba maupun undang-undang Cipta kerja.  Perampasan lahan oleh korporasi semakin mendapat lampu hijau. 

Sungguh berjalannya politik oligarki di negeri ini telah merampas ruang hidup masyarakat termasuk perempuan dan generasi, sejatinya konflik agraria ini akan tuntas di bawah penerapan sistem Islam Kafah di bawah institusi Khilafah. 

Solusi Konflik Agraria dalam Institusi Khilafah

Sistem pemerintahan Islam atau khilafah dibangun atas asas akidah Islam yang menjadikan hukum Islam berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya landasan dalam mengatur negara. Landasan inilah yang mewajibkan seorang pemimpin negara atau khalifah menjadi pengurus dan pelindung bagi rakyatnya. 

Rasulullah saw. bersabda Imam adalah pengurus rakyat dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap urusan rakyatnya. Khalifa akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang memiliki asas-asas sistem ekonomi yang meliputi kepemilikan yaitu pengelolaan kepemilikan dan distribusi kekayaan. 

Dalam hal kepemilikan Islam mengakui jenis kepemilikan yakni kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Tanah atau lahan dikategorikan berdasarkan kandungan di dalamnya, jika tanah mengandung kekayaan alam seperti hutan, tambang, dan, sumber daya melimpah lainnya maka tanah tersebut termasuk milik umum yang haram diserahkan kepada individu maupun swasta. Tanah tersebut wajib diperuntukkan untuk kemaslahatan publik. 

Adapun tanah yang tidak terkandung kekayaan alam di dalamnya maka bisa dimiliki individu maupun negara, tanah yang termasuk milik rakyat atau individu wajib dilindungi oleh negara dan tidak boleh dirampas oleh siapa pun meski itu untuk kepentingan umum kecuali atas izin pemiliknya. 

Semua hukum kepemilikan tanah harus dijaga oleh negara bahkan haram jika negara melanggarnya apalagi dengan cara-cara yang zalim atau mafia tanah dengan intimidasi menipu dan menggunakan kekerasan pada warga. Sungguh hanya melalui penerapan aturan Islam Kafah rakyat bisa hidup sejahtera termasuk perempuan dan generasi. 

Wallahu'alam Bisowab.


Oleh: Novita Ratnasari, S.Ak.
Pegiat Literasi
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :