Tinta Media - Ketua divisi sosialisasi, pendidikan, pemilih, partisipasi masyarakat KPU Jawa Barat Kabupaten Bandung Barat Herdi Ardia menyebutkan bahwa sekitar 32 ribu lebih orang dalam gangguan jiwa (ODGJ) yang biasa disebut penyandang disabilitas mental di daerah itu akan ikut memberikan suara pada pemilu 2024. Penyandang disabilitas mental ini akan bergabung dengan penyandang disabilitas kategori lain yang totalnya sekitar 146.751 orang se-Jawa Barat.
Herdi menyatakan bahwa ODGJ ini bukan yang tidak terdata atau biasa berkeliaran di jalanan. Mereka ada di rumah dan secara medis berdasarkan keterangan dokter bisa menentukan pilihan.
Selain Jabar, di berbagai daerah lain KPU juga memastikan keikutsertaan mereka, seperti di Bojonegoro, Jawa Timur, sekitar 1.508 ODGJ, di Banten 6.451 ODGJ, di Gresik 995 ODGJ, di DKI Jakarta 22 ribu lebih, Indramayu 1.665 ODGJ, Medan 769 ODGJ, dan masih banyak daerah lainnya.
Dilibatkannya penyandang disabilitas mental ini sebagai calon pemilih bukanlah yang pertama kali. Pada pemilu 2019, mereka pun turut ambil bagian karena dinilai memiliki hak pilih. Ini sungguh menggelikan.
Di sistem demokrasi, suara rakyat merupakan hal yang akan menentukan keputusan pemenang di pemilu. Di tahun-tahun sebelumnya, ODGJ tidak pernah diberi hak untuk menyoblos, karena salah satu syarat sahnya pemilih adalah tidak terganggu jiwa atau ingatan. Akan tetapi, sejak tahun 2019, ODGJ diberi hak untuk memilih dengan syarat tidak sedang gangguan jiwa atau ingatan permanen.
MK mengeluarkan sebuah kebijakan yang menjadi pedoman bagi KPU bahwa ODGJ diberi hak sebagai pemilih. Dalam demokrasi, perubahan kebijakan yang terjadi adalah suatu hal yang wajar. Keputusan MK ini tentunya menimbulkan berbagai macam polemik di masyarakat dan membuat tanda tanya, ada apa di balik semua ini. Pasti ada oknum-oknum yang menggunakan kekuasaannya untuk meraih suara, sehingga berdampak pada perubahan kebijakan.
Pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Devi dermawan, memprediksi bahwa angka golput di pemilu 2024 berada di kisaran 18%-29% atau setidaknya menyamai perolehan suara peringkat ketiga capres-cawapres. Kondisi ini menjadikan pihak-pihak tertentu menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan, dengan melegalkan kebijakan yang menjadikan ODGJ mempunyai hak sebagai pemilih di pemilu. Ditambah lagi, pemilu sudah diwarnai tuduhan kecurangan yang berimbas pada turunnya kepercayaan terhadap institusi demokrasi, seperti partai politik dan aparat hukum.
Pemilu dalam sistem kapitalisme demokrasi adalah jalan politik untuk meraih kekuasaan sehingga berbagai macam cara akan ditempuh. Mereka tidak bertujuan untuk meriayah (mengurusi), tetapi memperkaya diri. Mereka yang membuat aturan, mereka sendiri yang melanggar peraturan tersebut dengan banyak dalih.
Pemilu adalah pesta demokrasi yang diselenggarakan setiap 5 tahun sekali. Namun, pemenang pemilu tidak ada korelasinya dengan masyarakat, karena pemenang kekuasaan sudah ditentukan para kapitalis untuk dijadikan pemimpin.
Tabiat sistem demokrasi adalah menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Seperti yang sudah terjadi di tahun-tahun sebelumnya, siapa yang meraih suara terbanyak tidak dijamin akan menjadi pemimpin. Ada semacam penyiapan atau 'setingan' siapa orang yang akan disiapkan sebagai pemimpin.
Pemilu hanya dagangan politik dari pemilik sistem kapitalis.
Mereka akan memunculkan nama baik sebagai pemimpin pilihan mereka. Dengan penetapan kebijakan bahwa ODGJ diberi hak sebagai pemilih, telah membuka celah bagi para elite politik untuk melakukan politisasi terhadap ODGJ.
Sistem yang diterapkan saat ini adalah sistem batil buatan manusia yang berasal dari akal manusia yang lemah dan terbatas, sehingga kebijakan yang dikeluarkan dan solusi yang ditawarkan atas setiap problematika yang terjadi di masyarakat tidak menyelesaikan secara tuntas, malah makin banyak dan berkembang-biak.
Contohnya, dalam sistem kapitalis, ODGJ terus meningkat jumlahnya dikarenakan buruknya sistem penerapan yang menitikberatkan pada 4 kebebasan. Salah satunya adalah kebebasan kepemilikan, sehingga yang kaya bisa menguasai tanah, tempat, dan perdagangan. Akibatnya, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Rakyat diimpit kebutuhan hidup, lapangan pekerjaan susah, beban hidup makin berat, akhirnya banyak yang stres. Ini bisa jadi salah satu sebab banyaknya ODGJ.
Hal ini karena solusi yang digunakan oleh sistem saat ini tidak menyentuh akar permasalahan. Mereka memberikan solusi ketika masalah sudah terjadi, tidak mencegah penyebab terjadinya permasalahan. Ini membuktikan lemahnya manusia. Ini adalah akibat dipisahkannya aturan agama dari kehidupan.
Seharusnya, yang mengatur kehidupan ini adalah Allah Swt. sebagai Sang Pencipta dan Pengatur manusia, karena hanya Allah yang mengetahui apa yang baik dan buruk bagi manusia.
Oleh karena itu, solusi yang hakiki adalah dengan kembali kepada aturan Islam yang berasal dari Sang Khalik, yaitu dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah. Khalifah akan menjalankan sistem politik Islam berdasarkan syariat Islam yang wajib dipatuhi oleh negara dan warga negara.
Dalam Islam, kekuasaan adalah kepemimpinan. Jika dipisahkan dari Islam, maka akan membahayakan pemangkunya dan merusak rakyat yang dipimpin. Penguasa akan terhina jika menghianati perintah Allah untuk mengatur kekuasaan dalam Islam, sedangkan rakyat akan menjadi korban penerapan aturan yang rusak.
Dalam Islam rakyat memilih pemimpin sebagai wakil rakyat (umat) untuk menjalankan penerapan Islam secara kaffah di dalam negeri dan melakukan dakwah dan jihad ke luar negeri.
Melalui metode baiat, akad antara pemimpin (khalifah) dengan umat mengandung konsekuensi bagi khalifah untuk menjalankan akad tersebut, dan konsekuensi bagi umat untuk sami'na wa atha'na terhadap khalifah, taat terhadap segala kebijakannya yang sesuai dengan syariat Islam, dan siap melakukan koreksi terhadap khalifah ketika menyalahi hukum syara. Artinya, rakyat (umat) yang memilih harus berakal, memahami konsekuensi dari sebuah pilihan. Rakyat wajib menasihati penguasa agar tidak menyimpang dari sistem Islam. Seperti dalam sistem saat ini yang memberi hak pada ODGJ untuk menyoblos.
Islam mengakui ODGJ sebagai makhluk Allah yang wajib dipenuhi kebutuhannya, tetapi tidak mendapatkan beban amanah, seperti tidak wajib menjalankan ibadah, dan amanah memilih pemimpin.
Dalam Islam, kepemimpinan tidak bertujuan meraih kekuasaan untuk keuntungan pribadi dan golongan seperti dalam sistem kapitalis. Akan tetapi, kekuasaan adalah amanah untuk melayani kemaslahatan umat, menjaga, menerapkan, dan mendakwahkan Islam, serta bertanggung jawab dunia akhirat untuk mengurus rakyat dengan hukum-hukum Islam. Karena itu, penerapan aturan Islam akan mendatangkan rahmat bagi manusia dan alam semesta, tidak seperti sistem saat ini yang menerapkan aturan rusak sehingga mendatangkan banyak ketidakadilan dan kezaliman. Manusia menjadi rusak. Salah satunya adalah dengan munculnya banyak ODGJ.
Untuk itu, saatnya beralih ke sistem yang sahih yang berasal dari Allah Swt. yang akan membentuk pemimpin yang saleh, amanah dalam memimpin dengan penerapan syariat Islam secara kaffah, yaitu khilafah. Wallahu alam bis shawab.
Oleh: Elah Hayani
Sahabat Tinta Media