Tinta Media - Tidak terasa kita sudah memasuki tahun yang baru, yakni tahun 2024. Sebelum memasuki tahu baru, setiap akhir bulan Desember, biasanya kebanyakan masyarakat merayakan pergantian tahun dengan pesta kembang api, tiupan trompet beserta hiburan-hiburan yang lainnya, seperti panggung musik di berbagai daerah.
Euforia pesta pergantian tahun tersebut ternyata tidak hanya ada di perkotaan saja. Di pelosok desa-desa pun masyarakat ikut riuh merayakannya. Bak sudah menjadi rutinitas tahunan yang wajib dilakukan, rasanya tak afdol jika malam tahun baru tidak ada perayaan. Karena itu, pasti setiap tahun selalu ada.
Memang, tidak ada yang salah dengan tahun baru. Akan tetapi, kita sebagai umat Islam harus lebih teliti dan menyeleksi. Kita harus tahu dan mencari tahu, apakah kegiatan atau perbuatan yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam perayaan tahun baru ini dibenarkan menurut agama atau tidak? Kita juga harus tahu, apakah kegiatan kita sudah sesuai dengan aturan Allah atau tidak? Jangan sampai apa yang kita lakukan justru melenceng dari tuntunan agama atau bahkan merusak akidah kita.
Jika berbicara mengenai tahun baru Masehi, tidak lengkap rasanya jika tidak menguak sejarah penanggalan tahun Masehi. Asal muasal kalender Masehi yang saat ini digunakan sebagai penanggalan di sebagian besar penduduk dunia, ternyata berasal dari kalender yang dibuat seorang kaisar dari negeri Romawi yang bernama Kaisar Julian, kemudian kalendernya dinamai Kalender Julian. Setelah itu, kalender tersebut diambil dan dimodifikasi oleh Paus di Vatikan, yang bernama Paus Gregorius.
Hasil modifikasi inilah yang kemudian berubah menjadi Gregorius Kalender. Hingga pada suatu ketika, dalam suatu pertemuan yang dilakukan oleh Perkumpulan Bangsa-Bangsa (PBB), Kalender Georgian ini disepakati sebagai kalender yang akan digunakan secara seragam di seluruh dunia, termasuk Indonesia yang masuk anggota PBB. Artinya, kalender Masehi ini memang bukan berasal dari Islam, tetapi dari nonmuslim.
Memang, sebagai umat Islam, kita diperbolehkan menggunakan benda/barang buatan nonmuslim, termasuk kalender tadi. Kendati demikian, jika hal tersebut sudah menyentuh persoalan akidah atau kepercayaan, maka tidak boleh memakai, meniru, mengucapkan, dan melakukannya karena tidak dibenarkan oleh agama kita, dan hukumnya adalah haram. Contohnya ketika sudah masuk ke dalam ritual, budaya, ataupun kebiasaan.
Seperti meniup trompet, hal itu merupakan ritual/kebiasaan yang sering dilakukan oleh kaum Yahudi, sehingga sebagai umat Islam, kita dilarang untuk meniru/melakukan kegiatan tersebut. Begitu pun dengan penggunaan atribut keagamaan lainnya di luar Islam. Itu juga jelas dilarang, karena berkaitan dengan akidah dan termasuk tasyabbuh (menyerupai) kebiasaan nonmuslim, meski perbuatan tersebut tidak dilakukan berdasarkan niat sekalipun.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menyatakan,
"Suatu perbuatan yang merupakan tasyabbuh, tidak disyaratkan adanya niat untuk tasyabbuh, maka bentuk dari perbuatan tasyabbuh itu terjadi, walau tidak dimaksudkan demikian. Jika terjadi suatu perbuatan yang merupakan bentuk dari tasyabbuh, hukumnya terlarang. Tidak disyaratkan adanya niat, selama di sana terjadi satu bentuk tasyabbuh (maka terlarang)."
Selain itu, dari Ibnu Umar r.a, Nabi saw. bersabda,
"Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka." (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Memang, tidak ada yang salah terkait dengan pergantian tahun baru Masehi. Akan tetapi, perayaannya acap kali membuat kaum muslimin ikut kebablasan. Hal-hal yang tidak diperbolehkan justru dilakukan. Banyak sekali kaum muslimin yang mengikuti budaya nonmuslim pada malam tahun baru itu. Meskipun tampak sepele, kita sebagai umat Islam justru harus berhati-hati terhadap budaya nonmuslim yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam, yang justru dapat menjerumuskan kepada kemaksiatan.
Hendaknya kaum muslimin lebih banyak melakukan hal-hal yang bermanfaat dan sejalan dengan perintah agama. Harus kita pahami dan sadari pula bersama bahwa pangkal dari lemahnya akidah umat saat ini adalah akibatkan dari sistem kapitalis yang berasaskan sekuler (pemisahan agama dari kehidupan), yang diterapkan.
Banyak umat Islam menjadi awam terhadap agamanya sendiri, bahkan tidak sedikit yang membenci ajaran (aturan) Islam. Belum lagi propaganda yang selalu diembuskan oleh para pembenci Islam, berupa islamofobia, sehingga menambah rasa takut terhadap ajaran Islam yang sesungguhnya, membuat umat semakin jauh dari agamanya sendiri.
Akhirnya, umat pun merasa asing dengan ajaran (aturan) Islam, bahkan banyak yang sampai beranggapan bahwa aturan Islam tidak cocok untuk diterapkan, astagfirullah!
Inilah akar dari masalah yang sebenarnya, yang menjadi PR kita bersama, dan harus segera dicari solusinya. Solusi yang tepat untuk semua permasalahan umat saat ini, tidak lain adalah kembali pada aturan yang berasal dari Sang Pencipta, yakni Allah Swt. Dengan aturan Allahlah semua permasalahan akan tertuntaskan.
Tentu dengan penerapan Islam secara kaffah dalam bingkai Daulah. Hanya dengan jalan inilah, ketakwaan individu, masyarakat, dan negara akan tercapai. Dengan begitu, manusia hanya akan tunduk kepada aturan Rabb-Nya, bukan kepada aturan yang lain. Negara pun akan berperan besar dalam menjaga akidah umat, sehingga akidah umat akan selalu terjaga, tak akan tergoyahkan oleh akidah agama lain. WalLahua'lam.
Oleh: Ummu Aiza,
Muslimah Bandung