Tinta Media - ODGJ diberi hak untuk memberikan suaranya dalam Pemilu. Artinya, suara orang waras disamakan dengan suara ODGJ. Hal tersebut di sampaikan oleh ketua KPU di Jakarta.
Ketua KPU Hasyim Asy'ari menjelaskan teknis keterlibatan masyarakat dalam pemilihan umum atau Pemilu 2024, khususnya pemilih ODGJ.
“Kalau dulu ada ketentuan bahwa ada orang yang sedang terganggu jiwanya tidak diberikan hak pilih, tetapi di undang-undang sudah direvisi bahwa tidak ada kategorisasi seperti itu lagi," kata Hasyim kepada awak media di kantornya, Menteng, Jakarta. (Viva.co.id, Kamis, 21/12/2023)
ODGJ adalah orang yang terkena gangguan mental. Artinya, ada masalah dengan kejiwaannya. Dengan kondisi demikian tentu orang tersebut tidak bisa berpikir dengan baik dan jernih, sangat aneh jika diberi hak nyoblos untuk memberikan suaranya dalam pemilu. Yang lebih aneh lagi, kenapa keluar keputusan yang tak masuk akal seperti itu?
Pertama, politik demokrasi kapitalisme yang saat ini diterapkan asasnya adalah sekularisme, tidak terikat dengan aturan agama. Aturan yang dijalankan lahir dari manusia dengan jalan kesepakatan, tidak ada lagi halal atau haram, benar atau salah. Tentu saja aturannya bisa berubah setiap waktu dan tarik ulur sesuai kepentingan para pembuatnya. Wajar jika kemudian yang benar dianggap salah atau yang jelek di anggap baik.
Kedua, menjadikan suara bak dewa. Tanpa suara, tidak akan didapatkan kursi kekuasaan. Maka, jalan apa saja akan ditempuh agar suara bisa dikantongi. Para pelaku demokrasi tidak memakai pertimbangan. Yang dipentingkan adalah bagaimana tujuan tercapai, meski sering menabrak rambu yang mereka buat sendiri. ODGJ dimanfaatkan demi mendulang suara, sungguh keanehan yang nyata.
Ketiga, meskipun ada pendapat ODGJ tidak selalu orang gila karena bisa jadi stres ringan dan masih bisa berpikir, maka harus ada dokter atau ahli yang bisa menentukan apakah mereka pada saat itu sehat atau tidak sehingga bisa memberikan suaranya. Namun, hal ini masih menyisakan pertanyaan, apakah si ahli bebas kepentingan sehingga bisa mengeluarkan rekomendasi bahwa ODGJ tersebut bisa atau tidak memberikan suara.
Terlepas dari keanehan di atas, seharusnya yang difokuskan adalah kenapa banyak orang yang terkena gangguan mental atau ODGJ?
ODGJ harus diurus oleh negara, mengingat kebutuhan mereka sangat banyak dengan biaya yang tidak sedikit. Negara tentu berkepentingan untuk menyembuhkan ODGJ serta menutup celah agar tidak ada lagi masyarakat yang terkena gangguan mental karena tugas pemimpinlah membuat rakyat hidup sehat dan tenang.
Namun, mungkinkah semua itu terlaksana, mengingat saat ini ada pemimpin, tetapi seperti tidak ada? Setelah meraih jabatan, para penguasa hanya memperhatikan pengusaha yang memodali mereka sewaktu mencalonkan diri menuju kursi kekuasaan. Hasilnya, rakyat berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Beban hidup yang sudah berat, ditambah harga kebutuhan pokok setiap tahun terus melonjak tak terkendali tentu membuat masyarakat mudah stres, depresi, hingga terkena gangguan mental atau menjadi ODGJ, bahkan banyak yang bunuh diri, ngeri.
Tidak ada kebaikan yang dirasakan masyarakat dengan penerapan sistem ini. Masyarakat diperhatikan hanya lima tahunan menjelang pemilu demi mendulang suara. Setelah itu, mereka ditinggalkan begitu saja. Tentu orang waras tidak mau disamakan dengan ODGJ, karena yang akalnya sehat sudah muak dengan sistem demokrasi penyebab semua kerusakan ini. Bisa jadi, yang masih mau menerima adalah mereka yang terkena gangguan jiwa.
Alllahu a’lam.
Oleh: Umi Hanifah
(Aktivis Muslimah Jember)