Tinta Media - Sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Kapolres Jakarta Pusat dalam keterangan Pers yang disampaikan di Jakarta, Sabtu (201/), bahwa saat ini berbeda dengan zaman dulu. Kejahatan dulu dilakukan secara psikologis, tapi kini modelnya dengan teknologi. Terlebih, menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, kejahatan teknologi (cyber crime) marak. Kapolres menyebut bahwa ada pelaku yang memiliki ratusan akun palsu untuk meretas hingga 800 akun untuk menyebarkan berita bohong atau hoaks.
Modusnya, pelaku menggunakan akun anonim, semi anonim, hingga akun nyata dengan masuk ke sejumlah grup aplikasi perpesanan untuk menyebarkan hoaks. Dengan adanya hal ini, muncul imbauan untuk menggunakan sosial media dengan bijak, dan senantiasa melihat sumber informasi yang disampaikan di sosial media.
Kecanggihan teknologi bak pisau bermata dua. Satu sisi bisa memaksimalkan kehidupan manusia jadi lebih baik, di sisi lain menghantarkan kecurangan dan kesengsaraan bagi kehidupan manusia. Salah menggunakan, maka akan merugikan masyarakat, sebagaimana yang terjadi saat ini.
Bahkan, fakta bahwa teknologi mampu merugikan masyarakat adalah dengan terungkapnya jaringan "love scaming" di media sosial. Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri berhasil mengungkap jaringan internasional "love scaming" yang beroperasi di Indonesia. Ada 21 pelaku yang berhasil ditangkap, 3 di antaranya ditetapkan sebagai tersangka.
Kejahatan "love scaming" adalah kejahatan yang dilakukan dengan modus mencari pasangan. Pelaku menipu korban melalui aplikasi Tinder, Okcupid, Bumble, Tantan, dengan menggunakan karakter seorang laki-laki ataupun perempuan yang bukan dirinya. Pelaku berpura-pura mencari pasangan dan intens berkomunikasi tentang percintaan pada korban. Korban kemudian dibujuk untuk berbisnis dengan membuka toko online melalui link tertentu.
Tak hanya itu, korban pun diminta deposit sebesar Rp20 juta agar dapat membuka toko daring. Fantastisnya, 21 orang pelaku yang ditangkap berhasil meraup keuntungan sekitar Rp40 miliar per bulan. Para pelaku ini pun terjerat Pasal 45 ayat (1) juncto Pasal 27 ayat (1) UU RI nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) juncto Pasal 55 dan atau Pasal 378 KUHP.
Fakta ini mengonfirmasi bahwa jika sistem yang mendasarinya salah, maka akan menghantarkan pada sesuatu yang salah pula. Sebagaimana dalam kapitalisme, pemanfaatan teknologi untuk kejahatan dapat terjadi karena beberapa hal, salah satunya yakni minimnya keimanan dalam individu.
Kapitalisme menihilkan peran agama dalam mengatur kehidupan. Kehidupan ditopang oleh liberalisme (kebebasan) sesuai kehendak manusia itu sendiri. Alhasil, standarisasi kebahagiaan manusia dalam kapitalisme adalah meraih manfaat materi sebanyak-banyaknya. Parahnya, karena nihil peran agama, individu dalam kapitalisme bertindak sesuai kehendaknya sendiri, menghalalkan segala cara agar tercapai tujuan dalam kehidupan.
Sikap ini amatlah berbahaya. Manusia akan jauh tenggelam dalam kubangan dosa, tak tahu dalam berbuat hingga merugikan masyarakat. Kecanggihan teknologi malah dipandang sebagai alat baru yang berpeluang mencari keuntungan materi. Kepribadian manusia rusak karena kapitalisme dan sekularisme.
Sayangnya, kapitalisme dan sekularisme ini diadopsi oleh negara. Fakta menunjukkan jika ada individu yang menjadikan syariat sebagai tolok ukur perbuatan, maka ia dilabeli dengan radikalisme atau intoleran. Semua hal tak perlu bawa-bawa agama. Padahal, lihatlah, tanpa agama, manusia semakin berbuat kerusakan.
Belum lagi ketiadaan sanksi tegas bagi pelaku kejahatan di media sosial. Dalam kasus "love scaming" disebutkan dalam pasal yang menjerat bahwa terkait penipuan, pelaku terkena empat tahun penjara, sementara di dalam UU ITE enam tahun penjara. Ini pun bisa jadi dipotong masa tahanan jika pelaku melakukan suap-menyuap. Hal ini karena bukan sebuah rahasia lagi jika dalam sistem kapitalisme yang menihilkan peran agama, praktik ini marak terjadi.
Oleh karena itu, penting bagi kita mengembalikan fungsi teknologi dengan baik, agar tidak terjadi kejahatan yang serupa. Pertama-tama, kita harus mengembalikan peran dan fungsi negara sebagai pengurus dan pelindung rakyat. Sebagaimana Sabda Nabi Saw.
"Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu junnah (perisai) yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Muttafaqun ’Alayh dll.)
Salah satu wujud tanggung jawab negara dalam Islam adalah membentuk kepribadian Islam yang kuat. Tentu dengan cara menguatkan akidah setiap muslim, menjadikan Islam sebagai satu-satunya jalan kehidupan. Syari'at adalah panduan dalam berbuat dan membuat kebijakan negara. Sehingga, standar bahagia bagi individu muslim yang memiliki akidah yang kuat adalah rida Allah Swt. semata.
Negara juga wajib membentuk kepribadian Islam melalui proses pendidikan berbasis akidah, sehingga output pendidikan yang dihasilkan adalah generasi yang memiliki pola pikir dan pola sikap islami.
Selain itu, negara dalam sistem Islam haruslah menguasai teknologi dengan baik, yakni membuat sistem keamanan data yang tercanggih dan terbaik untuk melindungi rakyat dari segala bentuk kejahatan media. Jika masih ada pelaku kejahatan sosial media, maka negara akan memberikan sanksi tegas bagi pelaku sebagai wujud perlindungan negara.
Dengan demikian, jelaslah akar masalah kejahatan teknologi adalah sistem rusak yang mendasarinya, yakni kapitalisme. Sudah saatnya kita berbenah, mengganti sistem rusak ini dengan Islam sebagai aturan kehidupan. Wallahua'lam bisshawab.
Oleh: Ismawati
(Aktivis Dakwah dari Banyuasin)