Tinta Media - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) telah menetapkan bahwa vaksin Covid-19 mulai berbayar per 1 Januari 2024. Hal itu tertulis dalam Surat Edaran (SE) Kementerian Kesehatan Nomor HK.01.01/MENKES/2193/2023 Tentang Pemberian Imunisasi Covid-19 Program. Di mana Imunisasi Corona Virus Desease 2019 (Covid-19) masuk menjadi program imunisasi rutin efektif mulai 1 Januari 2024 di seluruh Indonesia.
Menurut Menkes Gunadi Sadikin, tarif vaksin berbayar bisa mencapai ratusan ribu, bergantung pada pemberi layanan vaksin yang menentukan tarif vaksin Covid-19. Padahal berdasarkan data Kementerian Kesehatan, rata-rata kasus harian meningkat 35-40 kasus dengan angka yang dirawat di rumah sakit antara 60-131 orang per 6 Desember 2023. Dengan subvarian Omicron XBB 1.5 menjadi penyumbang paling banyak kenaikan kasus Covid-19 di Indonesia.
Akibat Kapitalisme
Sejatinya kebijakan vaksin berbayar pada saat kasus Covid-19 tengah meningkat merupakan kebijakan yang zalim, meski masih menyediakan vaksin gratis untuk yang belum pernah mendapatkan vaksin dan kelompok rentan. Namun, kebijakan ini ambigu dan cenderung tebang pilih, dan bisa menjadi alat peredam bagi masyarakat yang dianggap tidak rentan untuk mendapatkan vaksin secara gratis.
Inilah akibat dari penerapan sistem kapitalisme sekuler yang diterapkan di negeri ini, sehingga pemerintah bersifat sebagai tujar (pedagang) dalam interaksinya dengan rakyat. Karena adanya vaksin berbayar ini menjadikan rakyat harus membiayai sendiri kebutuhan asasi mereka di tengah melonjaknya kebutuhan dasar yang lain. Selain itu, kebijakan ini juga membuka peluang bagi swasta untuk mendapatkan keuntungan atas penjualan vaksin kepada rakyat, bukti bahwa penguasa hari ini hanya sebagai pedagang bukan pelayan terhadap rakyatnya.
Sebuah keniscayaan dari sistem kapitalisme sekuler, di mana penguasa lebih mementingkan bisnis pengusaha yang mendukung mereka saat mau menjadi pejabat negara, yakni dalam kontestasi pemilu yang berbiaya besar. Jadilah perkawinan antara penguasa dan pengusaha menjadi hal yang lumrah dalam sistem kapitalisme sekuler. Efek dominonya adalah munculnya kekuasaan oligarki.
Islam Melindungi Masyarakat
Berbeda dengan Islam yang menetapkan negara sebagai rain (pelayan) dan junnah (pelindung) termasuk dalam membentengi masyarakat menghadapi serangan penyakit menular. Kesehatan termasuk dalam kebutuhan pokok yang menjadi tanggung jawab negara. Negara akan menjamin kesehatan secara gratis kepada seluruh warga negaranya tanpa memandang status sosial.
Rasulullah bersabda, “Siapa saja di antara kalian yang berada di pagi hari sehat badannya, aman jiwa, jalan dan rumahnya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan ia telah diberi dunia seisinya.” (HR al-Bukhari dalam Adab al-Mufrâd, Ibn Majah dan Tirmidzi).
Vaksinasi merupakan upaya pencegahan, yang pastinya akan diberikan secara cuma-cuma kepada semua warga negara baik rentan maupun tidak rentan. Keuangan negara memiliki pemasukan tetap dari sumber kepemilikan umum, negara maupun individu yang tidak memiliki ahli waris. Pos pemasukan keuangan negara berupa pengelolaan sumber daya alam oleh negara, harta fa'i, kharaj, jizyah, khumuz dan lain sebagainya. Sedangkan harta zakat tetap akan masuk dalam kas negara (baitulmal) tetapi dengan peruntukan bagi 8 asnaf sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Pajak apalagi utang bukanlah pemasukan utama keuangan negara Islam.
Dengan demikian bisa dipastikan keuangan negara akan mencukupi untuk menjamin pembiayaan kesehatan secara gratis bagi seluruh rakyat tanpa pandang bulu. Sistem inilah yang disebut dengan Khilafah. Di era keemasan Khilafah, vaksinasi sudah pernah ada dan dijalankan sebagai pencegahan terhadap bahaya penyakit menular. Selain itu, pada era Rasulullah juga pernah terjadi wabah tha’un, yakni wabah yang menular, maka Rasulullah memerintahkan untuk melakukan isolasi bagi wilayah yang terkena wabah. Rasulullah melarang orang yang tinggal di wilayah wabah untuk keluar, begitu pula wilayah yang tidak terkena wabah maka dilarang untuk masuk ke wilayah yang tengah terjadi wabah. Inilah yang kemudian hari ini kita kenal dengan istilah karantina.
Diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau berkata, “Jika kalian mendengar adanya tha’un di suatu daerah, maka jangan memasuki daerah tersebut; dan ketika kalian berada di dalamnya (daerah yang terkena tha’un), maka jangan keluar dari daerah tersebut.” (HR Bukhari dan Muslim).
Sayangnya, karena mementingkan alasan ekonomi, negeri kita tidak serius melakukan karantina pada awal terjadinya wabah Covid-19. Sehingga virus Covid-19 hari ini bisa muncul dengan berbagai varian karena berhasil mengembangkan diri akibat ketiadaan upaya karantina secara optimal.
Khilafah juga akan memfasilitasi para ilmuwan untuk mengembangkan teknologi sendiri sehingga mampu mencukupi kebutuhan vaksin secara gratis, tidak bergantung pada swasta apalagi negara asing, yang bisa saja memanfaatkan situasi untuk kepentingan bisnis mereka. Tentu kita masih ingat kasus kontroversi Namru-2, saat wabah flu burung yang menyebar di negeri kita, kemudian negara adidaya yakni Amerika Serikat atas dasar pengembangan teknologi mengambil sampel darah dari penderita flu burung yang kemudian digunakan untuk bahan dasar vaksin, yang pada akhirnya dijual ke negara kita dengan harga yang mahal.
Khatimah
Tentu itu tidak akan pernah terjadi dalam Khilafah. Dengan mekanisme karantina, penjaminan pengobatan dan vaksinasi secara gratis bagi seluruh rakyat, penjaminan kebutuhan sandang, pangan, dan papan bagi wilayah yang terkena wabah, dan bagi daerah yang tidak terkena wabah tetap bisa menjalankan aktivitas ekonomi seperti biasa, dengan kebijakan demikian maka wabah akan segera dapat dihentikan. Karena itu kebijakan vaksin berbayar bagi kelompok rentan merupakan kebijakan zalim dan menyengsarakan rakyat, harus segera dihentikan dengan mengganti sistem kapitalisme sekuler yang diterapkan oleh negeri ini dengan sistem Khilafah yang akan melibas tuntas wabah Covid-19. Wallahualam bissawab.
Oleh: Ummu Syakira
(Muslimah Peduli Negeri)