Ilusi Demokrasi Menyelesaikan Konflik Agraria - Tinta Media

Selasa, 09 Januari 2024

Ilusi Demokrasi Menyelesaikan Konflik Agraria



Tinta Media - Penyelesaian urusan sertifikat tanah masyarakat ditargetkan selesai pada tahun 2024 oleh Presiden Joko Widodo. Beliau menyampaikan hal tersebut saat membagikan sertifikat tanah di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur pada hari Rabu 27/12. Menurut Presiden Joko Widodo, sertifikat tanah sangat penting karena berperan sebagai bukti atas kepemilikan lahan yang dengan itu bisa meredam konflik atau sengketa tanah. 

Menurutnya, penyelesaian masalah sertifikat tanah masyarakat bukanlah perkara yang mudah. Terbukti sejak tahun 2015, ada sebanyak 126 juta lahan di seluruh penjuru tanah air yang harus di sertifikatkan. Hanya saja, baru 40 juta lahan yang memiliki sertifikat tanah, karena Badan Pertanahan Nasional (BPN) per tahun hanya mengeluarkan 500 ribu sertifikat tanah. Itu artinya, 80 juta belum bersertifikat dan itulah salah satu penyebab timbulnya konflik lahan, entah antara saudara dengan saudaranya, sesama tetangga, atau masyarakat dengan perusahaan swasta. 

Benarkah pembagian sertifikat tanah bisa menyelesaikan konflik agraria? Apa sebenarnya penyebab terjadinya konflik Agraria selama ini? 

Lahan atau tanah adalah sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Setiap individu mempunyai hak untuk hidup sejahtera dengan memiliki tempat tinggal serta lahan untuk dikelola guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti pengolahan lahan pertanian dan perkebunan. 

Negara wajib memenuhi kebutuhan dasar manusia, seperti sandang, pangan, dan papan. Masalah sertifikat tanah adalah kewajiban negara untuk memenuhinya sebagai pengakuan hukum tentang kepemilikan tanah tersebut. Namun, faktanya persoalan agraria terkait dengan hak milik atau sertifikat tanah masih belum bisa diselesaikan dengan baik. Akhirnya, masih sering timbul konflik agraria di tengah masyarakat. 

Jika ditelaah lebih dalam, permasalahannya bukan sekadar masalah sertifikat tanah, tetapi lebih kepada hukum tata kelola lahan yang diterapkan oleh sistem hari ini. Konteksnya memang sudah berbeda, karena jika punya sertifikat tanah pun bukan tidak mungkin akan terus terjadi konflik agraria. Sebab, yang banyak terjadi saat ini adalah perampasan hak atas tanah masyarakat, terutama masyarakat pedesaan yang masih awam tentang apa itu sertifikat tanah. Sehingga, muncullah sekelompok orang yang punya modal besar dengan leluasa membeli lahan untuk kepentingannya, atau bahkan bisa jadi mengklaim bahwa tanah itu adalah miliknya. 

Bahkan, orang yang sudah turun-temurun tinggal di suatu daerah sejak lama bisa dengan mudah digusur dengan alasan untuk kemajuan pembangunan. Ini melihat pada kasus Rempang dan kasus-kasus serupa di beberapa daerah. 

Kasus agraria masih mencengkeram negeri dan hingga saat ini belum bisa diselesaikan dengan baik. Masyarakat pun belum mendapatkan keadilan. Keadilan itu nihil didapatkan di sistem yang masih menerapkan demokrasi sekularisme liberal. Paham itulah yang menjadi akar permasalahan sebenarnya. Oleh karena itu, jelas bahwa pemberian sertifikat tanah bukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan konflik agraria. 

Sekularisme liberal adalah paham pemisahan agama dari kehidupan yang melahirkan kebebasan berpendapat dan berperilaku. Paham tersebut mengakibatkan para korporasi dengan bebas bisa memiliki lahan seluas-luasnya sesuai kehendaknya selagi ada uang untuk membelinya. Aktivitas tersebut dilegalkan oleh pemerintah saat ini. Rakyat kecil akhirnya semakin terpinggirkan, sedangkan pemerintah atau negara hanya menjadi regulator bagi korporasi, serta menjadi pelayan mereka. Negara justru membantu para elite ketika mereka membutuhkan lahan untuk kepentingannya. 

Begitulah kenyataan yang terjadi jika hukum tentang tata kelola tanah dan kepemilikan tanah tidak memakai hukum yang sesuai syariat, malah mengikuti hukum buatan manusia yang lemah dan terbatas. Dari sanalah akhirnya timbul berbagai konflik agraria kronis seperti saat ini yang terus membelenggu. Ditambah, untuk membuat sertifikat tanah juga butuh biaya lumayan besar yang memberatkan rakyat kecil. Disahkannya UU Cipta Kerja juga menambah derita rakyat, sebaliknya sangat menguntungkan pihak asing atau swasta. 

Jelas sekali bahwa yang harus diubah adalah sistemnya. Karena itu, perlu diterapkan sistem buatan Allah sebagai solusi hakiki problematika kehidupan. Dalam hal ini adalah tentang hak rakyat dalam mengelola dan memiliki tanah. Syariat Islam mengatur tentang harta kepemilikan terkait lahan sebagai harta sesungguhnya, tidak ada kebebasan kepemilikan seperti dalam sistem demokrasi. 

Harta dari sumber daya alam akan diurus sesuai apa yang disyariatkan Allah, yaitu menjadi tiga harta kepemilikan: kepemilikan umum, individu, dan negara. Sumber daya alam tidak boleh dikelola atau dimiliki secara bebas oleh segelintir orang. Dalam sistem ini, tidak akan terjadi perampasan lahan secara halus yang berkedok investasi dan lain sebagainya. 

Sebaliknya, sistem Islam akan melahirkan individu dan pemimpin yang taat, bertakwa, dan takut kepada Allah. Untuk terwujudnya keadilan bagi si miskin yang tersisihkan, maka sistem kufur demokrasi harus dibuang dan menggantinya dengan sistem Islam buatan Allah Swt. yang sudah pasti mampu memberi keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh alam.
Wallahu a'lam bishawab.

Oleh: Dartem
Sahabat Tinta Media 
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :