Tinta Media - Beberapa tahun terakhir ini isu perdagangan manusia (human trafficking) menjadi persoalan sangat serius yang dihadapi oleh dunia internasional. Bahkan, ini menjadi isu yang menarik untuk dibicarakan, karena menjadi persoalan global yang dihadapi setiap negara, termasuk Indonesia.
Human trafficking di Indonesia bukan suatu persoalan yang baru. Selama bertahun-tahun, permasalahan ini datang silih berganti dan tidak pernah terselesaikan. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam memerangi human trafficking, tetapi tidak pernah berhasil. Bahkan, baru-baru ini tim satgas TPPO di daerah Jawa Barat dan beberapa provinsi lainnya berhasil membongkar kasus perdagangan manusia.
Human trafficking merupakan kegiatan mulai dari tahap
perekrutan sampai dengan penerimaan seseorang disertai dengan tindakan kekerasaan, penyekapan, penculikan, dan pemalsuan, hingga memperolah persetujuan dari korban dengan tujuan eksploitasi, baik yang terjadi di dalam negeri maupun luar negeri. Eksploitasi yang dimaksud merupakan sebuah tindakan pemaksaan terhadap seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan, seperti pelacuran, kerja paksa, perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau melawan secara hukum, mentransplantasi organ, dan/atau jaringan tubuh oleh pelaku untuk memperoleh keuntungan, baik materiil maupun imaterial.
Sebagian besar korban human trafficking tersebut berasal dari negara-negara dengan tingkat ekonomi rendah yang diperdagangkan ke negara-negara maju. Pelakunya adalah sindikat internasional yang terorganisir, sedangkan sebagian besar korbannya merupakan wanita dan anak-anak. Mereka yang seharusnya dijaga dan dimuliakan malah dijadikan objek seks, serta dieksploitasi bagaikan "sapi perah". Ngerinya lagi, ada sebagian dari mereka yang malah dianggap sebagai pahlawan karena menghasilkan devisa bagi negara.
Fenomena ini membuktikan bahwa negara dalam sistem kapitalis saat ini mengalami disfungsi peran. Dia gagal dalam melindungi masyarakat dari human trafficking dan menjaga martabat manusia itu sendiri. Terlebih, ekonomi dalam sistem ini menjadikan rakyat sebagai sumber dana, termasuk para pekerja migran korban human trafficking yang dipandang sebagai pahlawan devisa negara. Prinsip transaksional ini yang menjadikan negara tidak mampu dan gagal menghadapi para sindikat perdagangan manusia yang dikuasai para oligarki.
Bahkan, dalam segi regulasi, negara tidak memberikan perlindungan kepada rakyat sebagai pekerja, baik di dalam maupun di luar negeri. Ini artinya sistem demokrasi kapitalis yang diemban negara saat ini telah gagal memberikan lapangan pekerjaan bagi rakyat. Padahal, bergitu banyak sumber daya alam yang dimiliki negeri ini malah dikuasai oleh para kapitalis yang bekerja sama dengan penguasa. Sementara, rakyat hanya diberi remah-remahnya saja.
Negara tidak mampu menyejahterakan rakyat, ditambah lagi dengan bermacam-macam pajak, pungutan-pungutan dan harga komoditas yang setiap hari terus naik, sementara penghasilan rakyat sangat minim bahkan mencari uang sangat sulit. Kondisi inilah yang dijadikan keuntungan oleh pihak-pihak tertentu untuk menjerat rakyat, sehingga terjebak dalam perdagangan manusia.
Walaupun berbagai regulasi telah dilakukan untuk memberantas trafficking, tetapi hal ini tidak pernah efektif karena pragmatis, tidak menyentuh akar masalah sebenarnya dan hanya formalitas saja. Sanksi hukum bagi pelaku pun terbatas pada pasal karet yang bisa ditarik ulur dengan uang. Ini menjadikan para pelaku oligarki yang menjalankan bisnis ini lolos dengan mudah dan kembali menjalankan usahanya.
Ini berbeda dengan Islam. Sebagai sistem yang berasal dari Allah Swt., Islam memiliki regulasi yang sempurna dalam mengatur kehidupan manusia. Melalui tegaknya tiga pilar utama, yakni ketakwaan individu, masyarakat yang peduli menjalankan amar makruf nahi mungkar, serta negara yang menerapkan aturan Islam kaffah, akan terjamin kesejahteraan bagi rakyat.
Rasulullah saw. bersabda:
"Imam (pemimpin) adalah ra'in (penggembala), dia yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (Hr. Bukhari dan Muslim).
Penerapan sistem perekonomian Islam yang berasaskan halal dan haram, menetapkan kebijakan terkait penyediaan lapangan pekerjaan bagi rakyat di dalam negeri, sehingga mereka tidak harus bekerja ke luar negara untuk mendapatkan gaji yang layak. Selain itu, akan diciptakan iklim usaha yang sehat, aman, dan adil bagi semua rakyat, sehingga kemandirian dan ketahanan ekonomi akan tercipta. Ditopang oleh sistem moneter yang berbasis pada emas dan perak, akan semakin mengokohkan ekonomi negara.
Penerapan Islam kaffah ini akan menutup celah-celah kriminalitas, termasuk potensi adanya perdagangan manusia. Jika pun terjadi, akan diberikan sanksi tegas bagi pelakunya. Sistem politik Islam pun mengharuskan negara untuk selalu melindungi rakyat di mana pun mereka berada.
Rasulullah saw. bersabda:
"Imam (pemimpin) itu laksana perisai, (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. (HR. Bukhari Muslim)
Bahkan, melalui kebijakan luar negerinya, yaitu dalam rangka penyebaran Islam melalui dakwah dan jihad, negara (khilafah) akan menjamin keamanan dunia dari kejahatan transnasional. Wallahu'alam bishshawwab.
Oleh: Thaqiyunna Dewi, S.I.Kom,
Sahabat Tinta Media