Hujan Awal Tahun 2024 Mendatangkan Bencana Banjir - Tinta Media

Rabu, 31 Januari 2024

Hujan Awal Tahun 2024 Mendatangkan Bencana Banjir



Tinta Media - Musim penghujan telah tiba. Menurut analisis BMKG, curah hujan yang tinggi sejak awal Desember di beberapa kawasan Kabupaten Bandung berakibat genangan dan banjir. 

Badan  Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mendefinisikan bahwa banjir adalah peristiwa berlimpahnya air hingga meluap ke daratan yang biasanya kering akibat curah hujan yang tinggi atau masalah lain yang mengakibatkan air tidak dapat diserap cepat oleh tanah atau dialirkan oleh saluran air yang ada. Banjir bisa terjadi secara tiba-tiba atau bertahap.

Ada beberapa jenis banjir, yaitu:

Pertama, banjir luapan sungai, terjadi ketika debit sungai meluap melewati batas normalnya. 

Kedua, banjir luapan laut (rob), disebabkan naiknya permukaan laut, sering kali akibat badai, gelombang pasang, atau kerusakan ekosistem pesisir. 

Ketiga, banjir genangan, terjadi ketika air mengenai dataran rendah akibat hujan lebat. 

Keempat, banjir bandang, banjir yang sangat kuat dan mendadak, sering kali disertai longsor yang merusak segalanya di jalur alirnya.

Banjir menempati posisi tertinggi bencana di Indonesia, yakni 758 kejadian. Puncak musim hujan tahun 2023/2024 akan terjadi  pada bulan Januari-Februari di sebagian wilayah Indonesia, yaitu sebanyak 385 ZOM (55,08%). 

Perkiraan BMKG ini terbukti. Hujan deras di awal Desember mengantar banjir di beberapa wilayah. Secara topografi, kawasan yang sering terendam banjir di Kabupaten Bandung adalah Kecamatan Baleendah, Bojongsoang, dan Dayeuhkolot yang merupakan dataran rendah. 

Banjir ini berulang di setiap tahunnya. Pada banjir yang terjadi pada hari Jumat tgl 12/1/2024 lalu, sedikitnya dua ribu rumah terendam air setinggi satu meter, bahkan ada yang sampai atap rumah. Banjir besar yang melanda ketiga kecamatan tersebut merupakan banjir terburuk sepanjang 10 tahun ini.

Kepala pelaksana harian BPBD Kabupaten Bandung, Uka Suska Puji Utama menyebutkan bahwa dari ribuan korban banjir, tidak semua mengungsi. Sebagian masih bertahan di tingkat dua rumahnya karena dianggap masih aman. Akan tetapi, Uka berharap masyarakat harus tetap waspada mengingat hujan kerap turun saat sore hingga malam hari dan bencana lainnya, seperti longsor serta angin puting beliung. Dengan kejadian ini, Uka dan pihak BPBD Kabupaten Bandung belum menentukan tanggap darurat karena perlu analisis dan rapat mengenai hal tersebut.

Ada beberapa faktor yang memengaruhi berulangnya banjir, di antaranya kebiasaan membuang sampah ke sungai oleh masyarakat sekitar bantaran sungai Citarum, Cisangkuy, dan Cikapundung sehingga menyebabkan gangguan pada jalan air.  

Sekertaris Camat Dayeuhkolot, Wawan Setiawan mengatakan bahwa sumber banjir di Bandung Selatan selain luapan Sungai Citarum, juga luapan air yang berasal dari anak-anak sungai Citarum, terutama sungai Cisangkuy (Pangalengan) dan Sungai Cikapundung yang membelah Kota Bandung. Posisi semacam ini merupakan salah satu faktor penyebab banjir di muara sungai yang berada di wilayah Baleendah, Dayeuhkolot dan Bojongsoang. 

Jadi, andaikan ketiga daerah itu tidak hujan, tetapi daerah Majalaya, Pangalengan, dan Kota Bandung hujan, maka di tiga kecamatan akan terjadi banjir sebagai limpahan air dari dataran tinggi yang mengalir deras dan tak dapat ditampung di dataran rendah.

Semua ini dikarenakan lemahnya penegakan hukum serta tetap pelaksanaan pembangunan di kawasan budidaya dan pengelolaan  konservasi dengan tujuan komersial di daerah Bandung Utara.

Pemerintah mengutamakan investasi bidang pariwisata. Hal ini tampak dengan disahkannya UU Ciptaker Omnibus Law yang tertuang dalam UU 26/2007. UU ini terdiri dari UU Penataan ruang, UU Pokok Agraria, UU Kehutanan, dan UU sektor lainnya.

Fakta dari deforestasi di Indonesia sangat masif dengan adanya kebebasan yang tertuang dalam perundang-undangan
alih fungsi hutan. Hampir 13 juta hektare dalam 5 tahun mengakibatkan bencana dan kesulitan hidup rakyat.

Sekian banyak permasalahan yang terjadi di masyarakat tidak akan terselesaikan dengan pengaturan sistem sekuler kapitalis karena sistem ini meniscayakan adanya kesenjangan dalam pembangunan, serta keuntungan menjadi tujuan yang sangat dominan. 

Sistem sekuler kapitalis berasaskan manfaat. Di sistem ini, negara hanya sebagai regulator dan pengusaha (oligarki) sebagai pemeran utama yang memegang kekuasaan karena memiliki modal besar untuk membiayai segala perangkat kebutuhan.  Contoh yang konkret adalah banyaknya alih fungsi hutan menjadi pemukiman mewah dan destinasi wisata untuk  kepentingan segelintir orang, tetapi menjadi  mudarat untuk masyarakat lainnya, seperti terjadinya banjir dan longsor saat musim penghujan dan langkanya air bersih saat kemarau.

Berbeda dengan sistem Islam.  Hutan adalah milik umum yang berarti negara wajib mengelola agar terjaga kelestariannya dan tetap membawa manfaat sebesar-besarnya untuk umat.

Pemanfaatan hasil hutan tidak melebihi batas dan disertai dengan penanaman kembali pepohonan. Hal ini karena penguasa dalam Islam mengelola hutan sesuai dengan tuntunan Allah Swt. dan Rasul-Nya. Penguasa menyadari akan adanya pertanggungjawaban atas semua amanah ini.
Wallahu a'lam bish shawwab.


Oleh:  Nunung Juariah
Sahabat Tinta Media
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :