Tinta Media - Kementerian kesehatan mengumumkan dua kasus baru gagal ginjal akut anak atau Acute Kidney Injury (AKI) di Jakarta. Satu pasien sudah dikonfirmasi mengalami AKI dan meninggal dunia, sementara satu lagi dinyatakan sebagai suspek.
Kemenkes mengatakan bahwa penyebab kasus baru ini masih memerlukan pendalaman dalam pengkajian lebih lanjut. Menurut juru bicara Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, belum dipastikan bahwa gagal ginjal akut kali ini adalah akibat dari obat sirup.
Pada tanggal 5 Februari 2023, sebanyak 326 kasus gagal ginjal akut terjadi pada anak dan 204 anak dari 27 provinsi meninggal dunia. Kematian mereka dikaitkan dengan obat sirup yang mengandung cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang melebihi ambang batas pada produksi obat sirup.
Sejumlah keluarga korban dari gagal ginjal akut mendesak Bareskrim Polri untuk segera menyeret pihak yang bertanggung jawab atas peredaran obat batuk sirup beracun ke pengadilan. Perusahan Badan Pengawasan Obat (BPOM) patut dianggap lalai dalam mengawasi bahan obat sirup hingga diberikan nomor izin edar.
Safitri, seorang ibu yang kehilangan anak laki-lakinya karena menderita gagal ginjal akut pada Oktober 2022 mengatakan, “Karena kesalahan sistem, jelas tidak perlu orang dengan keilmuan tinggi melihat bagaimana kasus ini terjadi. Ingat, kejadian ini akan terulang kalau sistem tidak diperbaiki.” (bbc.com, 21/12/2023)
Masalah gagal ginjal akut belum juga selesai. Masyarakat masih tidak percaya dengan negara dalam mengatasi kasus ini karena dianggap terlalu lamban. Lantas, bagaimana seharusnya negara bertindak untuk masalah ini? Bagaimana Islam mengatur dan melindungi nyawa mansuia?
Kelalaian Negara Mengatasi Gagal Ginjal Akut
Sering kali masalah kesehatan yang buruk terjadi di Indonesia. Ditambah penanganan negara yang terkesan lemah dalam mendeteksi masalah, sehingga semakin memperparah keadaan. Pendanaan yang lemah dalam kesehatan menjadi kewaspadaan suatu negara.
Negara dalam sistem demokrasi kapitalisme hanya bertindak sebagai regulator, bukan pelayan rakyat, sehingga rakyat bukan menjadi proritas utama negara.
Edukasi dan peran aktif negara dalam urusan kesehatan masyarakat juga masih sangat rendah. Sehingga, kesadaran masyarakat untuk menanggulangi kasus gagal ginjal akut pada anak pun akhirnya masih minim. Ini mengakibatkan tingginya angka kematian.
Padahal, kondisi ini tidak sepenuhnya salah masyarakat. Sebab, ralitasnya layanan kesehatan disediakan pemerintah memang masih belum mencukupi dan sangat terbatas. Tidak heran, pada akhirnya terjadi keterlambatan pendeteksian penyakit tersebut, sehingga terlambat pula ditangani.
Tidak hanya itu, gagal ginjal akut juga banyak menimpa daerah-daerah yang layanan kesehatannya terbatas. Maka, jelaslah sudah, kondisi ini menunjukkan negara lalai, sekaligus memperlihatkan borok atau kelemahan sistem layanan kesehatan di Indonesia.
Negara juga abai dalam mengawasi peredaran obat-obatan. Sudah banyak obat yang tidak ada surat izinnya tetapi masih beredar dan di konsumsi masyarakat. Harusnya pemerintah sudah lebih sigap menangani kasus gagal ginjal akut ini. Pemerintah juga seharusnya menetapkan berbagai langkah komprehensif, baik terkait langkah preventif (pencegahan) maupun kuratif (pengobatan).
Sayangnya, dalam sistem kapitalisme ini, pengelolaan kesehatan menjadi bagian dari lahan bisnis sehingga rakyat tidak bisa menyediakan dana untuk pelayanan kesehatan. Apalagi, perusahan tidak melihat keamanan obat yang dia produksi, yang terpenting mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.
Peran Penting Negara Memelihara Nyawa Manusia
Kasus gagal ginjal akut pada anak tidak terlepas dari urusan nyawa manusia. Selain melakukan penanggulangan, pemerintah seharusnya memberikan edukasi kepada masyarakat. Sungguh tidak ada agama selain Islam yang mampu melindungi nyawa manusia.
Dalam Islam, anak bukan sekadar aset masa depan saja, tetapi bagian dari masyarakat yang harus dipenuhi kebutuhannya, sehingga negara akan berusaha untuk memenuhi semua penyediaan fasilitas yang memadai, termasuk pemenuhan gizi yang cukup. Tidak hanya itu, pemerataan untuk masyarakat yang kaya dan miskin hingga pemberian pendidikan dan kesehatan gratis juga dilakukan.
Seluruh pelayanan yang diberikan negara adalah murni untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk kepentingan dan keuntungan pribadi semata. Sebab, ini semua dilakukan atas dasar keimanan dan tanggung jawab, karena setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. Dari sinilah kewajiban seorang khalifah dalam mewujudkan penerapan Islam di aspek kehidupan terbentuk, termasuk aspek kesehatan.
Sebab, salah satu maqashid asy-syari’ah (tujuan syariah) adalah hifzh an-nafs, yakni menjaga jiwa. Terkait dengan nyawa, Rasulullah bersabda dalam riwayat an-Nasa’i dan Tirmidzi.
“Hancurnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.“
Maka dari itu, negara akan segera bertindak terhadap penanganan penyakit yang menular, bahkan penyakit yang belum diketahui penyebabnya oleh negara. Masyarakat pun tidak akan dibiarkan menghadapi sendiri penyakitnya.
Negara akan memproduksi obat-obatan secara cuma-cuma untuk rakyat. Selanjutnya, negara sangat memperhatikan peredaran obat di tengah masyarakat. Obat-obat yang tidak melalui uji/riset justru tidak akan bisa lolos edar begitu saja, sehingga tidak akan merugikan kesehatan masyarakat, bahkan tidak akan berefek pada kematian di kemudian hari.
Maka dari sini, bisa disimpulkan bahwa dari sistem yang rusak akan berakibat pada kehidupan yang rusak. Sehingga, hal yang harus dilakukan saat ini adalah mengganti sistem yang mengatur kehidupan manusia dengan aturan yang berasal dari Sang Pencipta, berupa sistem khilafah islamiyah agar membawa kebaikan bagi manusia di seluruh aspek kehidupan.
Wallahu`alam bisshawab.
Oleh: Okni Sari Siregar, S.Pd
Sahabat Tinta Media