Ditemukan Ladang Gas Baru, Benarkah Indonesia Jadi Negara Maju? - Tinta Media

Rabu, 17 Januari 2024

Ditemukan Ladang Gas Baru, Benarkah Indonesia Jadi Negara Maju?



Tinta Media - Indonesia, dengan kekayaan sumber daya alam yang seolah tak pernah punah, mestinya menjadikannya sebagai negara besar. Di Indonesia, mulai dari ujung barat hingga paling timur, tersebar berbagai penemuan ladang bahan tambang, mulai dari batu bara, gas bumi, tembaga, nikel, hingga emas, dan lainnya. Bahkan, laut dengan berbagai macam ikan yang kaya manfaat, airnya yang mengandung garam, rumput laut, harusnya mampu mengeluarkan Indonesia dari sebutan sebagai negara berkembang menjadi negara maju. Belum lagi tanah yang sangat subur, hingga tongkat kayu bisa hidup tanpa ditanam. Akan tetapi, kenapa Indonesia tetap menjadi negara berkembang? Bisakah Indonesia menjadi negara maju? 

Penemuan Gas Besar 

Dilansir dari Bisnis.com (6/1/2024), terdapat 2 penemuan besar (giant discovery) potensi gas bumi di Indonesia selama tahun 2023. Penemuan ini menjadi indikasi besarnya potensi gas di Indonesia. Dari data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, terdapat cadangan terbukti (proven reserves) minyak bumi mencapai 2,41 miliar barel (BBO) dan cadangan terbukti (proven reserves) gas bumi ada di angka 35,3 triliun kaki kubik (TCF) pada Januari 2024. 

Penemuan cadangan gas besar tersebut adalah: 

Pertama, sumur eksplorasi Layaran-1 Blok South Andaman yang menemukan sekitar 100 kilometer lepas pantai Sumatra bagian utara. Sumur eksplorasi ini dioperasikan Mubadala, perusahaan energi internasional yang berkantor pusat di Uni Emirat Arab. Dalam sumur tersebut terdapat gas berkualitas sangat baik dengan kapasitas 30 juta standar kaki kubik per hari (MMscfd). 

Kedua, sumur eksplorasi Geng North-1, North Ganal yang menemukan cadangan gas jumbo di Kalimantan Timur oleh raksasa migas asal Italia, Eni pada Oktober 2023. Hasil uji produksi sumur tersebut berhasil dilakukan dengan perkiraan kapasitas 80-100 MMscfd serta sekitar 5-6 kbbld kondensat. Tentu ini menjadi harapan besar bagi Indonesia untuk menjadi lebih baik, bahkan segera terlepas dari jeratan utang luar negeri yang telah mencapai kisaran 8000 triliun. 

Namun, alih-alih bisa keluar dari kubangan utang luar negeri, justru penemuan baru ini akan menguntungkan segelintir penguasa dan pengusaha. Pasalnya, penemuan ini akan dijadikan kekuatan untuk mendorong investor baru. Terlebih, Indonesia telah menargetkan produksi minyak 1 juta barel per hari (BOPD), dan gas menjadi 12 miliar kaki kubik per hari (BSCFD) pada tahun 2030. Karenanya, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) memperkirakan kebutuhan investasi sekitar 20-26 miliar dolar AS per tahun. Jelas, penemuan gas besar di tahun 2023 menjadi angin segar bagi penguasa dan investor. 

Dalam sistem kapitalis yang sekarang diemban Indonesia, investor dianggap penting dan jalan utama untuk pengelolaan sumber daya alam. Melalui investor, diharapkan negara mendapat modal besar guna pengelolaan SDA sekaligus membuka lapangan pekerjaan sehingga mampu menyerap tenaga kerja. Lapangan pekerjaan baru dinilai dapat meningkatkan perekonomian negara. Intinya, investor dianggap berkontribusi nyata dalam perekonomian, lapangan pekerjaan, pengembangan teknologi, infrastruktur, dan sebagainya. Padahal, investor juga memiliki tujuan untuk meraih keuntungan dari investasi yang bisa saja justru merugikan negara dan rakyat. 

Bahaya Investasi 

Selama ini pemerintah menggambarkan pentingnya investasi, terutama dari asing. Berbagai dampak positif dari investasi asing seolah menjadi jalan cepat mendapatkan modal untuk pengelolaan SDA. Padahal, investasi asing memiliki banyak risiko berbahaya bagi negara. 

Ketergantungan negara terhadap investasi asing dapat melemahkan rupiah. Bagaimana tidak, investasi asing yang awalnya menghasilkan devisa hingga mampu menopang rupiah, dalam jangka panjang justru akan menyedot devisa karena adanya kewajiban mengirim deviden ke negara investor. 

Selain itu, investasi asing bisa menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti kerusakan lingkungan, terbengkalainya sektor pertanian karena masyarakat tergiur bekerja pada perusahaan dibandingkan mengembangkan lahan pertaniannya. Tentu saja ini juga berdampak pada berkurangnya lahan produktif. Mahalnya biaya pengelolaan lahan membuat masyarakat lebih memilih memanfaatkan lahan pertanian untuk usaha lain semisal perdagangan dan sebagainya. 

Lebih parah lagi jika hasil usaha dari eksplorasi SDA lebih banyak dibawa ke negara investor. Indonesia hanya mendapatkan sebagian kecil saja. Investor asing juga membuka peluang penguasaan terhadap lahan tambang. Mereka mengeksploitasi SDA secara berlebihan dalam waktu lama. Hal ini menjadikan Indonesia tidak bisa berbuat apa-apa terhadap kekayaannya sendiri. Maka, bisa dibilang bahwa ini merupakan bentuk penjajahan yang diizinkan negara.  

Pengelolaan SDA dalam Kekhilafahan 

Syekh Taqqiudin an Nabhani dalam kitabnya Nidzamul Iqtishadi menjelaskan dua cara dalam mengelola sumber daya alam. 

Pertama, sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan rakyat secara langsung, seperti padang rumput, sumber air laut, dan semacamnya. Khilafah hanya akan mengawasi pemanfaatannya oleh rakyat agar tidak membawa mudarat. 

Dalam hadis yang diriwayatkan Tirmidzi, dari Abyad bin Hammal, ia mendatangi Rasulullah dan meminta agar diberikan tambang garam kepadanya. Kemudian Nabi memberikan tambang itu. Ketika Abyad bin Hamal ra. telah pergi, ada seorang lelaki yang ada di majelis itu berkata, “Tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya, Anda telah memberikan kepadanya sesuatu yang seperti air mengalir (al-maa’ al-‘idd).” Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah mengambil kembali pemberian tambang garam itu dari Abyad bin Hammal.” (HR Abu Dawud dan At-Timidzi) 

Pada hadis tersebut, Rasulullah menarik kembali tambang garam yang telah diberikan pada Abyadh bin Hammal setelah beliau tahu bahwa tambang garam itu depositnya melimpah. Hadis ini merupakan dalil bahwa barang tambang yang depositnya melimpah adalah milik umum, dan tidak boleh dimiliki individu (privatisasi). Hadis ini tidak hanya berlaku untuk garam, tetapi juga untuk seluruh barang tambang. 

Kedua, sumber daya alam yang tidak bisa dimanfaatkan rakyat secara langsung karena membutuhkan tenaga ahli dan teknologi khusus, serta biaya besar. Misalnya minyak bumi, gas, dan semacamnya. 

Dalam hal ini, khilafah mempunyai kewenangan secara mutlak dalam pengelolaannya. Mulai dari eksplorasi, eksploitasi, pengelolaan, hingga distribusi kepada rakyat, mutlak di tangan khilafah. Namun, khilafah tidak boleh menarik investor dalam pengelolaan tersebut. Khilafah akan bekerja sama dengan pihak tertentu dengan akad ijarah atau sewa jasa. Pihak ini hanya menyediakan jasa tanpa mempunyai wewenang mengambil kebijakan, apalagi menguasai lahan. Dengan demikian, hasil pengelolaan SDA seluruhnya menjadi milik rakyat dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk kemaslahatan mereka. 

Dengan penerapan sistem Islam dalam pengelolaan SDA, sangat memungkinkan Indonesia menjadi negara maju yang bebas dari utang luar negeri. 
Allahu a’lam bish shawab.

Oleh: R. Raraswati
Kontributor Tinta Media 

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :