Tinta Media - Gerakan zero stunting Indonesia 2030 sudah digulirkan dengan kondsi prevalensi masih berkisar 21,6% di 2022 (Survei Status Gizi Indonesia 2023). Nyatanya, kondisi tersebut masih tertinggi ke-2 di Kawasan Asia Tenggara dan ke-5 di dunia. Bahkan, WHO menekan agar angkanya berada di bawah 20%. Lalu, apakah mungkin target ambisius ini bisa dicapai ?
Stunting sendiri adalah kondisi terhambatnya tumbuh kembang balita akibat kurang gizi yang kronis. Bisa disimpulkan bahwa ini terjadi sejak ibu mengandung sehingga intervensinya harus dilakukan sejak sebelum bayi lahir dan 1000 HPK (hari pertama kelahiran). Intervensi stunting yang paling utama adalah kecukupan gizi.
Sayangnya, intervensi akan sulit dilakukan jika persoalan kemiskinan tidak diselesaikan. Fenomena kemiskinan yang bisa jadi terkatagori ekstrim ini menjadikan masyarakat terkendala dalam akses kebutuhan dasar, akses air bersih, fasilitas sanitasi, dsb. Begitu juga dengan para ibu hamil yang sangat mungkin mengalami malnutrisi dan kesulitan mengakses kebutuhan dasar lainnya akibat masalah ekonomi.
Kemiskinan di negri-negri muslim masih sangat parah. Dampak dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme membuat para kapital secara legal menguasai kekayaan alam (SDA) yang merupakan harta kepemilikan umum (rakyat). Hasil berlimpah masuk ke kantong korporat (swasta) sehingga negara tak punya dana untuk mengurus rakyat. Bahkan, yang ada penguasa justru memalak rakyat lewat pajak.
Rakyat pun menjadi semakin terimpit kesulitan dalam mengakses berbagai kebutuhan. Ini karena harga-harga telah dikatrol para korporat.
Di sini, peran penguasa kapitalis hanyalah sebagai regulator yang bisa disetir untuk dan demi kepentingan para pengusaha. Tugas mereka hanya memastikan setiap regulasi memberi keuntungan kepada para kapital. Akibatnya, kemiskinan sistemik pun semakin meluas.
Karena itu, dibutuhkan perubahan sistemik dengan menerapkan aturan yang mampu menjadikan para penguasa amanah dalam mengurus rakyat, yaitu sistem Islam (khilafah).
Dalam Islam, penguasa adalah pengurus rakyat, bukan sekadar regulator. Ini sebagaimana sabda Rasulï·º:
“Seorang imam (pemimpin) adalah pengatur dan pemelihara urusan rakyatnya; dia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Penguasa harus memastikan bahwa kebutuhan dasar rakyat terpenuhi dengan kemampuan penafkahan yang layak di pundak para ayah (laki-laki). Maka, para ibu hamil dan anak- anak akan tercukupi kebutuhan nutrisinya.
Kekayaan alam adalah harta kepemilikan umum yang haram dikuasai oleh segelintir orang. Karenanya, pengelolaan kekayaan harus berada di tangan negara. Hasilnya diberikan kepada rakyat. Salah satu hasil pengelolaan SDA yang dinikmati rakyat adalah jaminan kebutuhan dasar publik, yakni kesehatan dan pendidikan yang diberikan secara gratis, sehingga tidak ada lagi kasus ibu atau anak yang tak tertangani ketika ada yang memiliki penyakit kronis.
Khilafah mampu untuk menangani hal tersebut karena pembiayaan kebutuhan dasar publik menggunakan dana hasil pengelolaan SDA yang masuk ke dalam pos kepemilikan umum di baitul mal. Ada juga pos zakat yang disalurkan untuk rakyat yang terkatagori miskin ekstrim ini, sehingga kasus malnutrisi sangat bisa ditekan.
Oleh sebab itu, setiap individu rakyat akan mendapatkan jaminan dan layanan kesehatan berkualitas dan gratis. Kesehatan dan kebutuhan nutrisi ibu hamil dan anak-anak bukan lagi persoalan pelik. Namun, semua itu hanya bisa terwujud dengan penerapan sistem ekonomi Islam di bawah naungan Khilafah.
Walhasil, tanpa Islam, proyek ambisius bertarget zero stunting akan terasa mustahil. Wallahua'lam.
Oleh: Mila Nur Hanifa
Sahabat Tinta Media