Tinta Media - Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi menyatakan, akar masalah pengungsi Rohingya adalah kekerasan yang terus terjadi di Myanmar akibat pertentangan antara junta militer dan warga sipil. Kondisi ini membuat etnis Rohingya terpaksa meninggalkan negaranya. Banyak di antara mereka akhirnya masuk Indonesia.
Bagaimana menyelesaikan akar masalah ini? Jurnalis Tinta Media Irianti Aminatun mewawancarai Analis dari Geopolitical Institute Dr. Hasbi Aswar. Berikut petikannya.
1. Apa penyebab Muslim Rohingya dijuluki stateless dan terus keluar dari negaranya?
Masyarakat Muslim Rohingnya akhirnya memilih untuk pergi dari tanah kelahiran mereka karena dibantai oleh rezim junta militer Myanmar bekerja sama dengan para ekstremis Budha di negara itu. Padahal mereka sudah hidup ratusan tahun di Myanmar secara turun temurun dengan kehidupan yang layak.
Sampai akhirnya tahun 1980-an pemerintah Myanmar tidak mengakui status kewarganegaraan mereka dan menganggap sebagai pendatang asing. Kondisi ini membuat Muslim Rohingya tidak mendapatkan posisi selayaknya sebagai manusia seperti pekerjaan, layanan Kesehatan dan pendidikan yang layak.
2. Bagaimana peran PBB dalam menyelesaikan masalah Muslim Rohingya ini?
PBB sebenarnya telah banyak menaruh perhatian pada persoalan Rohingya ini, tapi mereka hanya peduli pada isu kemanusiaan saja yakni isu pengungsi melalui UNHCR. Sementara akar masalah persekusi dan pelanggaran hak-hak Muslim Rohingya tidak dipedulikan sama sekali.
3. Bukankah PBB seharusnya menjadi badan yang menjaga perdamaian dunia?
Jika merujuk pada piagam PBB, fungsi utama badan ini adalah menjaga perdamaian dan mencegah berbagai bentuk upaya yang merusak perdamaian dunia. Jika terdapat upaya untuk melanggar perdamaian dan prinsip-prinsip kemanusiaan global PBB dapat mengambil sikap menjadi penengah atau bahkan memberikan sanksi bagi para pelanggar melalui persetujuan dewan keamanan PBB.
Namun, piagam ini hanya di atas kertas, faktanya PBB dan semua negara anggota PBB tidak peduli terhadap akar masalah dan menyelesaikannya.
4. Sebagian warga Aceh menolak kehadiran pengungsi Rohingya karena perangai mereka yang kurang baik. Pendapat Anda?
Menyikapi penolakan warga Aceh terhadap pengungsi Rohingya saya kira adalah hal yang wajar saat sebagian warga pengungsi Rohingya berulah di pengungsian. Ditambah lagi semakin melonjaknya pengungsi yang ke Indonesia utamanya yang diselundupkan. Mereka ke Indonesia karena mereka berharap dapat tempat lebih baik dibanding pengungsian di Bangladesh.
5. Bagaimana seharusnya pemerintah Indonesia menyikapi masalah pengungsi Rohingya ini?
Secara teknis pemerintah Indonesia dapat bekerja sama dengan negara-negara di Asia Tenggara untuk mencegah penyelundupan ini. Termasuk juga mencarikan tempat yang baik dan layak untuk mengungsi di Indonesia yang aman dari potensi penolakan dari masyarakat setempat.
6. Mengapa solusi ini tidak dilakukan?
Tapi, saya kira solusi teknis ini lama-lama akan memberatkan juga apalagi mereka tidak diperbolehkan bekerja dan hidup normal sebagaimana warga Indonesia pada umumnya. Kalau pemerintah mau, bisa tinggal dan bekerja di Indonesia serta diberikan fasilitas pendidikan, kesehatan, yang sama dengan warga Indonesia.
7. Memangnya pemerintah mau?
Walaupun ini memang sulit bagi pemerintah melihat kondisi negara kita juga yang serba kesulitan. Pada akhirnya para pengungsi ini hanya diperlakukan sebagai pengungsi tanpa hak untuk menjadi manusia “normal”. Sehingga wajar ketika banyak penyakit-penyakit sosial dan frustrasi yang muncul di kalangan mereka.
8. Idealnya, bagaimana?
Idealnya, yang namanya pengungsi mereka itu kan hanya tinggal untuk sementara saja sampai masalah mereka terselesaikan. Harusnya pemerintah Indonesia bersama-sama dengan masyarakat internasional fokus pada penyelesaian akar masalah di Myanmar dengan melakukan tekanan atau bahkan intervensi militer dan perubahan hukum di sana agar dapat menciptakan keadilan di tengah -tengah masyarakat.
Jika ini dilakukan para pengungsi Muslim Rohingya ini tidak perlu menunggu bertahun-tahun tak jelas nasibnya dan akhirnya bukannya merasa terlindungi, mereka mendapatkan penderitaan yang lain, terlunta-lunta, menderita, dan frustrasi dengan fitrah kemanusiaan mereka yang tidak mereka dapatkan. []