Ruang Isolasi untuk Caleg Depresi - Tinta Media

Kamis, 14 Desember 2023

Ruang Isolasi untuk Caleg Depresi



Tinta Media - Perhelatan pemilu tahun 2024 semakin ketat. Para kandidat semakin gencar melakukan berbagai kegiatan guna meraih suara masyarakat. Masyarakat merasa dilema, siapa caleg yang akan mereka pilih di antara sekian banyak kandidat. Para kandidat pun harus siap dengan segala konsekuensi yang akan dihadapi, termasuk jika pada akhirnya mereka tidak terpilih untuk menjadi pejabat pemerintahan. 

Namun pada faktanya, jika kita melihat rekam jejak pada tahun-tahun sebelumnya, banyak dari para caleg yang tidak mampu menghadapi kenyataan yang ada. Dengan tidak terpilihnya mereka sebagai pejabat pemerintahan, akhirnya jiwa mereka mengalami tekanan mental yang berujung pada depresi. Maka dari itu, sebagai langkah untuk mengantisipasi caleg gangguan jiwa, pemerintah Kabupaten Bandung Jawa Barat berinisiatif untuk menyiapkan kurang lebihnya 10 ruangan khusus bagi caleg yang kejiwaannya terganggu akibat gagal pada pemilu 2024 mendatang.

Adapun rumah sakit yang ditunjuk oleh pemerintah adalah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Oto Iskandar Dinata (Otista), Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Untuk menjaga privasi para caleg yang depresi, pihak rumah sakit akan merahasiakan identitas caleg gagal saat menjalani perawatan di RSUD Otista Kabupaten Bandung tersebut dan memberikan sosialisasi sebelum para caleg mendaftar guna mempersiapkan kejiwaan apabila gagal dalam pemilihan legislatif tersebut.

Pemilu sejatinya hak masyarakat, mau memilih ataupun tidak memilih. Itu dikembalikan kepada individu yang ada di masyarakat. Akan tetapi, yang saat ini terjadi ketika pemilu adalah masyarakat dihadapkan pada calon aktor politik dengan berbagai pencitraan yang dihadirkan, seperti blusukan ke sana kemari, mengucurjan dana atas nama bantuan sosial ke berbagai pelosok desa ataupun ke instansi-instansi yang ada di masyarakat, atau bentuk serangan pajar ke setiap individu yang kesemuanya itu dipoles oleh partai politik. 

Oleh sebab itu, pastinya butuh biaya yang sangat mahal  untuk mencalonkan diri sebagai kandidat di pemerintahan. Tidak tertutup kemungkinan adanya kongkalikong antara kandidat dengan pemilik modal. Di sinilah awal permasalahan itu dimulai, yaitu selalu ada politik transaksional antara si calon dengan parpol. 

Tidak ada makan siang gratis. Ada dukungan, di situ harus ada cuan. Jika kandidat memenangkan pemilu, maka ada harga yang harus dibayar. Jika kandidat kalah dalam pemilu, harga itu tetap harus dibayar. Modal pun tetap harus kembali.

Akan tetapi, untuk membayar harga dan mengembalikan modal merupakan sesuatu yang dirasa sulit, sehingga pada akhirnya kekalahan itu mengakibatkan depresi. Alhasil, sudah biasa kita lihat fenomena bagaimana para pemenang kekuasaan lupa terhadap rakyat yang suaranya telah berhasil memenangkannya. Begitu pula para calon yang kalah, mereka memendam dendam dan tak pernah peduli keadaan, bahkan jiwa mereka kena beban mental.

Fenomena caleg depresi memang kerap terjadi. Mereka yang kalah dalam kontestasi pemilu tak mampu menghadapi kenyataan, sebab pencalonan mereka didasarkan pada asas manfaat semata tanpa memiliki kapabilitas dan kualitas, yang penting punya modal besar dan berani mempertaruhkan kemenangan. 

Inisiatif pemerintah menyiapkan ruang isolasi bagi calon kandidat yang mengalami depresi tentu tidak bisa menjadi solusi, malah semakin menambah permasalahan dan beban perekonomian, sebab dalam perawatannya akan dibutuhkan biaya yang sangat mahal. Pada akhirnya, asas manfaat jugalah yang dijadikan sandaran.

Inilah bukti cacatnya sistem demokrasi, secara teori ataupun realisasi. Demokrasi lahir dari akidah sekularisme, akidah yang menafikkan peran agama dalam sistem pemerintahan. Sehingga, tidak heran banyak kita jumpai para caleg yang depresi karena memang pada dirinya tak dibentengi oleh akidah Islam. 

Dari sini sangat jelas bahwa demokrasi adalah produk akal manusia yang meminggirkan peran agama dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sementara dalam sistem Islam, berpolitik itu harus diawali dari dorongan keimanan. Seorang politikus muslim akan berpolitik sebagaimana ajaran Islam. Dalam sistem Islam, berpolitik berarti mengurusi urusan rakyat, bukan sebatas manfaat dan hanya mengharap rida Allah Swt. semata. Mereka memahami bahwa seorang pemimpin mempunyai tanggung jawab yang sangat besar, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, mereka tidak akan berlomba-lomba demi meraih kekuasaan karena nafsu.

Pemilu dalam Islam hanyalah sebagai uslub (cara) untuk memilih pemimpin yang dilakukan secara sederhana, mudah, dan murah. Semua yang terlibat dalam pelaksanaannya akan menjalankan amanah dengan dorongan keimanan, bukan keuntungan. 

Walhasil, pemilu akan berjalan dengan aman, damai, dan jujur. Siapa pun yang menang akan amanah dengan kepemimpinannya, dan yang kalah akan menerima dengan qanaah (rela) tanpa ada beban mental, apalagi sampai depresi. Sebab, pada dirinya tertanam akidah Islam yang kuat. Pemilihan pemimpin melalui pemilu yang simpel ini hanya akan terealisasi di bawah satu institusi, yaitu sistem pemerintahan Islam.

Wallahu'alam bishawaab

Oleh: Tiktik Maysaroh 
(Aktivis Dakwah Bandung)
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :