Piala Citra di Kontestasi Pemilu - Tinta Media

Kamis, 14 Desember 2023

Piala Citra di Kontestasi Pemilu



Tinta Media - Masa kampanye baru saja dimulai. Para peserta pemilu mulai bergerilya ke pelosok Nusantara. Ada yang mulai dari ujung Sabang sampai Merauke, ada juga yang memulai dengan melakukan prosesi adat keluarga. Tak ketinggalan, ada juga yang masih kejar setoran sebelum masa jabatan berakhir. Apa pun awal mulanya, semua demi kemenangan peserta pemilu dalam kontestasi.

Apa Boleh se-Viral Itu?

Kreativitas tanpa batas nampaknya menjadi salah satu syarat bagi tim pemenangan nasional (tim pinal). Tim ini menggunakan berbagai jurus yang dianggap ampuh untuk memenangkan kandidatnya, sekaligus dapat menumbangkan lawan. Ibarat peribahasa, sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Jurus jitu di era digital ialah viral. Narasi yang dibangun pun menggunakan istilah-istilah kekinian. 

Selain penggunaan istilah kekinian, tim final juga menggunakan berbagai narasi korban perundungan. Istilah ini biasa disebut dengan korban bullying. Tim final akan menjabarkan berbagai tuduhan yang dilontarkan oknum tertentu yang dianggap lawan kandidatnya. Selanjutnya, tim final akan menangkal tudingan tersebut dengan sudut pandang korban yang teraniaya. Hal ini bukanlah jurus baru dalam dunia perpolitikan demokrasi. Sebab, di setiap kontestasi pemilu, jurus ini selalu digunakan dan terbukti efektif.

Aturan Baru dalam Kontestasi

Baru permulaan, rakyat telah disuguhkan dengan berbagai berita tentang pelaporan dugaan kecurangan dalam kampanye calon pemimpin. Tuduh-menuduh menjadi menu pembuka dalam masa kampanye. Akhirnya, Bawaslu yang berperan sebagai pengawas membuat aturan baru dalam kontestasi pemilu saat ini. Bawaslu juga mengingatkan terkait black campaign yang dapat menyebabkan keributan di tengah masyarakat. (jambi.bawaslu.go.id)

Dalam kontestasi pemilu, perebutan piala citra menjadi sangat penting. Sebab, hal ini terkait citra calon pemimpin di mata rakyat. Namun, apakah itu cukup sebagai syarat memimpin suatu negeri? Apakah piala citra dapat menempatkan seorang pemimpin di tampuk kekuasaan tertinggi? Lantas, bolehkah se-keras itu usaha dalam perebutan piala citra?

Piala Citra atau Kepentingan Rakyat?

Dalam demokrasi, indikator kesuksesan seorang pemimpin adalah pencitraan. Sedangkan dalam Islam, kepentingan rakyatlah yang menjadi tanda keberhasilan seorang pemimpin. Ketika Rasulullah wafat, maka umat membutuhkan sosok pemimpin untuk menggantikan. Tidak sembarang pemimpin dapat memenuhi kriteria. Sebab, seorang pemimpin harus memiliki sikap mendahulukan rakyat, bukan mendahului rakyat. Selain itu, konsekuensi yang harus ditanggung oleh penguasa adalah kehidupan di akhirat kelak. 

Para sahabat nabi yang telah mengetahui konsekuensinya, menjadi enggan mengambil tanggung jawab tersebut. Sehingga, tidak terelakkan terjadi saling mengusulkan di antara para sahabat nabi dalam menentukan pemimpin umat. Bukan hanya karena masih memiliki hubungan saudara, atau sekadar melihat tingkat popularitas di mata rakyat, tetapi berdasarkan kualitas terbaik seorang pemimpin, yaitu amanah dalam mengambil setiap kebijakan untuk umat. 

Tentu, hal ini berbeda dengan zaman sekarang. Saat ini semakin banyak orang yang ingin menjadi pemimpin, tetapi dengan menggunakan berbagai cara, meskipun harus menutup mata terhadap ketidak-adilan. Mereka menutup telinga terhadap teriakan derita rakyat, hingga membiarkan kekacauan di tengah masyarakat, bahkan keluarga. Masih maukah menjalani kondisi seperti saat ini?

Mempertahankan atau Mengganti?

Perebutan piala citra dalam kontestasi pemilu akan selalu terjadi pada sistem demokrasi. Pasalnya, bukan peserta pemilu yang dirugikan, melainkan rakyat yang akan menjadi korban. Peserta pemilu dituntut harus memiliki citra yang sempurna di hadapan rakyat. Memang tidak ada manusia yang sempurna, tetapi setidaknya harus mampu menutupi kekurangan yang dimiliki, hingga rakyat dibuat tercengang dengan pencitraan para peserta pemilu. Masih maukah mempertahankan sistem seperti itu? Jika memilih untuk mengganti sistem saat ini, maka dengan sistem apa? 

Islam telah menawarkan mekanisme pemilu terbaik. Pemilu dalam Islam tentu berbeda dengan pemilu saat ini. Akidah Islam menjadi dasar pelaksanaan pemilu, yang kelak akan menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat. Perbedaan pendapat tentang calon pemimpin bukan hal yang perlu diributkan. Sebab, dalam Islam perbedaan diperbolehkan, asalkan tidak keluar dari akidah Islam. Sehingga, para calon pemimpin akan melalui seleksi berdasarkan tuntunan Al-Qur'an dan As Sunah. Hal ini, akan menimbulkan ketenteraman di tengah rakyat. Memang berat konsekuensi yang akan diterima jika meninggalkan sistem sekarang. Namun, bukankah mempertahankan sistem saat ini, juga berat konsekuensinya?


Oleh: Sarah 
(Aktivis Muslimah)
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :