Tinta Media - Pengamat politik Rifan Wahyudi, mengungkapkan bahwa pembiaran pengibaran bendera Bintang Kejora di Yogyakarta tidak lepas dari kepentingan Amerika.
"Kita melihat ada kepentingan Amerika di Papua, tentu beralasan sehingga pengibaran bendera Bintang Kejora di Yogyakarta, sebelumnya di Surabaya dan di berbagai kota lainnya tiap tanggal 1 Desember sebagai peringatan kemerdekaan Papua Barat di dukung atau minimal diketahui dan dibiarkan oleh Amerika, termasuk aparat Indonesia, menegur saja tidak, padahal ada tentara dan polisi," ungkapnya dalam Kabar Petang, Bahaya! Bintang Kejora Berkibar di Yogyakarta melalui Khilafah News Youtube Channel, Rabu (6/12/2023).
Menurut Rifan, ada paradoks dari pihak elite aparat keamanan kepolisian yang menangani aksi maupun gerakan separatis.
“Mereka melakukannya dengan ada paradoks dari aparat keamanan, di tingkat elite itu kan mereka jaim (jaga image) bahwa polisi tidak melakukan kekerasan, peduli pada HAM dan seterusnya. Sehingga ada pembiaran karena takut pemberitaan media internasional. Aksi separatis justru dibiarkan sedangkan aksi selainnya bisa digagalkan dengan tindakan represif. Aksi-aksi ini kan tergantung selera dari komandan, mulai dari Kapolres atau tingkat yang lebih tinggi. Tapi untuk di lapangan itu jadi bingung petugasnya, ini kok kita tidak boleh untuk menertibkan atau bahkan meraih OPM ya, tapi sudah banyak putra-putra terbaik TNI dibunuh dan itu sudah puluhan, padahal pelatihannya cukup panjang,” bebernya.
Menurutnya, aksi-aksi separatis yang dilakukan secara soft power atau hard power kalau terus dibiarkan akan membahayakan dan semakin ngelunjak.
“Kalau diplomasi ditambah dengan aksi-aksi menggalang opini masih soft power tapi yang lebih berbahaya kan hard power. Kalau tidak dilakukan tindakan tegas, mereka semakin ngelunjak dalam melakukan show of force termasuk di Yogyakarta, itu menjadi yang terbesar, ada pembiaran begitu. Tahun lalu di Jakarta, itu kan sebagai test case yakni upaya politik yang dilakukan terus menerus tapi sebenarnya mereka itu kecil, aparat intelijen yang ada itu kan sudah sangat tahu kekuatannya,” jelasnya.
Menurut Rifan, sejarahnya Papua sebelum kemerdekaan RI, berada di bawah kesultanan-kesultanan Islam. Tapi akhirnya jatuh ke tangan penguasaan VOC Belanda.
“Sejarahnya dahulu Papua, bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia masih di bawah kesultanan-kesultanan Islam di laut Arafuru. Kemudian dijajah Belanda melalui VOC, perusahaannya Belanda yang punya tentara untuk mengamankan jalur rempah-rempah yang diboyong ke Eropa, hilir mudik sampai ribuan kapal untuk membesarkan Belanda yang kalau di Eropa itu hanya kecil sekali ya, semacam kecamatan di Eropa,” tuturnya.
Menurutnya, setelah Indonesia merdeka, Papua dengan segala limpahan sumber kekayaan alamnya berpindah penguasaan dari Belanda kepada Amerika melalui KMB setelah terjadi perang Agresi Militer 1 dan 2.
“Ketika Indonesia merdeka, melalui pergolakan perang Agresi Militer 1 dan 2 antara tahun 45 sampai 49, kemudian dibawa ke meja perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB). Waktu itu ada penyerahan dengan terpaksa, karena ditekan oleh PBB tentu ada Amerika Serikat dan beberapa negara yang lain, sedangkan Belanda itu bukan termasuk anggota dewan keamanan tetap ya, sehingga Belanda di bawah sub ordinasi dari negara-negara Eropa, ada Inggris, Perancis ditambah dengan Amerika sebagai pemenang perang dunia kedua, yang ini kemudian masih digandoli Papuanya dengan segala sumber kekayaannya waktu itu, mulai dari keanekaragaman hayati, hutan dan emas di gunung Grasberg. Belanda sudah disingkirkan, Amerika masuk dengan adanya drama Trikora di zamannya Bung Karno sebelum G-30 S/PKI mengutus Pak Harto sebagai Komandan Mandala waktu itu, kemudian mencanangkan Trikora yaitu perebutan kembali sampai terjadi perang Arafuru atau Aru, yang akhirnya Komodor Yos Sudarso Jendral Angkatan laut gugur” jelasnya.
Menurut Rifan, opini Trikora berhasil, karena Belanda takut pada Amerika maka dilakukanlah pembiaran adanya opini Trikora tersebut.
“Sebetulnya saat itu, dengan adanya kapal selam, Amerika sudah tahu ada pembiaran oleh Belanda. Padahal kapal Belanda itu lebih kuat daripada kapal selam Amerika dan kapal-kapal Indonesia, tapi karena ada Amerika, Belandanya takut begitu. Akhirnya Indonesia dibiarkan dan berhasil Trikora secara opini,” tuturnya.
Menurutnya, keterlibatan Amerika itu sudah mulai tampak pada zaman Soeharto dan sekarang pasca reformasi Presiden Jokowi mencoba mempertahankannya.
“Zamannya Pak Harto berkuasa orde baru, akhirnya sudah ada pembagian tahun 69 untuk sumber-sumber daya alam minyak dan gas termasuk gunung emas itu diambil oleh Amerika dengan PT Freeport Mc Moran, meskipun sewa tapi itu sudah puluhan tahun dan sekarang pasca reformasi Presiden Jokowi mencoba mempertahankannya dengan memperpanjang kontrak lagi sampai 2060, ” ungkapnya.
Solusi Islam
Menurut RIfan, separatis termasuk tindakan bughat adalah haram.
“Separatisme bersenjata kalau dalam perspektif Islam, yakni gerakan memisahkan diri dari negara induk yang legal, itu adalah haram,” jelasnya.
Menurutnya, solusi Islam atas Papua bahwa negara harus membuka ruang dialog untuk pemenuhan kebutuhan rakyat Papua.
“Maka yang harus dilakukan oleh negara dalam perspektif Islam itu adalah dengan memberikan ruang untuk berdialog, apa yang jadi akar masalahnya, kalau mereka beralasan bahwa Papua itu terlalu dimarginalisasikan, pembangunan tidak merata, semua itu harus segera dipenuhi supaya tidak sampai meluas pada tuntutan pemisahan diri,” tuturnya.
Menurutnya, Islam membedakan sanksi terhadap bughat yang mengangkat senjata dengan yang tidak.
”Bughat tidak bersenjata, maka dilakukan dengan persuasif edukatif bahkan mujadalah kalau diperlukan, tapi kalau sudah angkat senjata sebagaimana OPM, perlakuan secara inisiatif untuk memberikan pelajaran dengan senjata sampai terkendali,” pungkasnya. [] Evi