ODGJ Ikut Pemilu, Apa Perlu? - Tinta Media

Jumat, 29 Desember 2023

ODGJ Ikut Pemilu, Apa Perlu?



Tinta Media - Apa pendapat Anda jika orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) mendapatkan kesempatan untuk memilih pemimpin? Tentu hal ini akan menjadi buah simalakama. Di satu sisi, mereka adalah rakyat Indonesia yang mempunyai hak suara. Di sisi lain, mereka mengalami gangguan kejiwaan yang tingkah mereka tak bisa dipertanggungjawabkan. Lantas harus bagaimana? 

Ada Pendampingan 

Hak pilih ODGJ dijamin oleh beberapa peraturan, seperti UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang disabilitas, Pasal 5 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dan dikukuhkan didata sebagai pemilih dalam Putusan MK Nomor 135/PUU-XIII/2015. Beberapa aturan itulah yang membuat ODGJ mendapatkan kesempatan dalam pemilu 2019 dan pemilu yang akan datang. Berdasarkan kebijakan itu, 22.871 ODGJ di Jakarta akan mengikuti pemilu 2024 (Kompas, 20-12-2023). 

Ketua KPU, Hasyim Asy'ari menyampaikan bahwa para penyandang disabilitas mental akan mendapatkan hak yang sama. Agar memudahkan proses pemilihan, mereka akan mendapatkan pendampingan dari para perawatnya. Selain itu, para dokter akan memberikan surat pernyataan bahwa ODGJ tersebut bisa ikut pemilihan (Tirto, 21-12-2023). 

Prihatin 

Keputusan ini tentu menimbulkan keprihatinan. Kita pasti masih ingat, sebelumnya, ketika ada tindakan penyerangan terhadap ulama atau membuat keonaran di masjid, para penegak hukum mengidentifikasi mereka sebagai orang gila. Karena itu, segala perbuatan mereka tidak melanggar hukum dengan alasan kejiwaan.
Namun, ketika angka golput mulai mencapai 30,8 persen di tahun 2014, keberadaan mereka mulai diperhitungkan. Dengan alasan, mereka juga warga negara Indonesia yang mempunyai hak memilih. Akhirnya, aturan itu gol dua tahun kemudian. 

Konsekuensinya, pada pemilu 2019, suara mereka mulai diakui. Keputusan itu pun berlanjut hingga pemilu tahun depan. Kondisi ini tentu membuat kita _orang yang waras_ merasa prihatin. Ada ketimpangan pengambilan keputusan dalam masalah ini. Jangan salahkan masyarakat jika menganggap hal ini terjadi karena kepentingan. 

Padahal, kalau kita perhatikan lebih dalam, para ODGJ tersebut bisa jadi tidak mengenal calon wakilnya. Mereka ada di RSJ, dalam keadaan sakit mental dan sedang menjalani proses penyembuhan. Para perawat dan dokter merawat mereka, membantu mengurusi kebutuhan sehari-hari, mulai makan, ke kamar mandi hingga urusan tidur pun dibantu. 

Jadi, rasanya janggal jika mereka mendapat hak pilih. Ketika mereka ada di dalam kotak suara, dengan banyaknya gambar, mereka bisa saja asal coblos, atau lebih parahnya dicoblosi semua karena dikira permainan. Bahkan, bisa saja mereka memilih gambar yang paling unik, aneh, tua, tampan atau cantik. Lebih parah lagi, jika ada yang memanfaatkan suara mereka untuk keperluan golongan tertentu agar mendapatkan suara besar. 

Lemahnya Demokrasi 

Inilah pemilu dalam demokrasi, apa pun dapat terjadi. Dengan standar untung dan rugi, aturan bisa berubah-ubah sesuai kondisi. Pemilu dalam demokrasi bertujuan untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat. Siapa yang mendapatkan suara terbanyak, dialah yang menang. 

Artinya, jumlah pemilih adalah hal yang sangat diperhatikan. Ketika penguasa menemukan kecenderungan warga memilih golput di tahun 2014, mereka perlu melakukan sesuatu agar jumlah pemilih bertambah. Jika yang menang golput, ini menandakan matinya demokrasi. 

Kebolehan ODGJ untuk memberikan hak suara justru menunjukkan kelemahan demokrasi. Ini memperlihatkan bahwa aturan dalam demokrasi dapat berubah sesuai kondisi atau kepentingan. Selain itu, demokrasi juga memberikan peluang pada pihak-pihak tertentu untuk melakukan trik agar mereka menang. Beginilah jika aturannya bersandar pada akal manusia, sering tidak masuk akal. 

Kedudukan dalam Islam 

Orang yang terganggu kejiwaannya memiliki kedudukan khusus dalam Islam. Berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw. yang berbunyi, 

"Dari Aisyah, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, 'Diangkat pena (tidak dikenakan dosa) atas tiga kelompok: orang tidur hingga bangun, anak kecil hingga baligh (mimpi basah), dan orang gila hingga berakal.'” (HR Ahmad, Ad Darimi dan Ibnu Khuzaimah). 

Hadis di atas jelas menunjukkan bahwa orang gila, baik gila permanen atau sementara tidak dicatat amalnya. Dari sini terlihat jelas bahwa Islam sangat memperhatikan akal. Hal ini karena akal akan mengantarkan seseorang dapat memilih mana yang benar dan salah sesuai pandangan Islam. 

ODGJ tidak dapat menentukan perilakunya benar atau salah, karena akalnya terganggu. Jadi, Islam tidak memberikan beban hukum pada ODGJ. Islam justru mewajibkan negara mengurusi dan mengobati para ODGJ. 

Berkaitan pemilihan suara atau pemilu, memilih wakil rakyat atau pemimpin hukumnya adalah boleh. Namun, menjadi pemimpin itu bukanlah hal sepele. Ia harus mengurusi kebutuhan rakyat. Tidak hanya itu, pemimpin dalam Islam wajib menerapkan aturan Islam secara menyeluruh. Oleh karena itu, memilih calon pemimpin yang seperti ini tidak bisa asal-asalan. 

Oleh karena itu, Islam memiliki metode sendiri dalam memilih pemimpin. Metode ini tidak menghabiskan waktu, tenaga, dan dilakukan secara sederhana dan masuk akal. Semua dilakukan hanya bertujuan untuk menerapkan aturan Allah karena nantinya akan dimintai pertanggungjawaban.

Oleh: Asy-Syifa Ummu Shiddiq
Sahabat Tinta Media 
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :