Tinta Media - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat dalam kurun waktu sejak 2015 sampai dengan 2022 telah terjadi 2.710 kejadian konflik agraria yang berdampak pada 5,8 juta hektar tanah dan korban terdampak mencapai 1,7 juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, ada 1.615 rakyat yang ditangkap dan dikriminalisasi karena mempertahankan hak atas tanahnya. Sebanyak 77 orang menjadi korban penembakan. Bahkan 69 orang harus kehilangan nyawa. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Wartawan Tinta Media Muhammad Nur mewawancarai Direktur Indonesia Justice Monitor Agung Wisnuwardana. Berikut petikannya.
Konflik agraria yang jumlahnya sampai 2710 ini tentu sangat miris ya. Seharusnya tanah itu untuk kesejahteraan rakyat, tapi malah karena dorongan investasi, karena dorongan untuk pertumbuhan ekonomi, misalnya terjadilah perampasan-perampasan yang difasilitasi oleh negara terhadap tanah-tanah rakyat sehingga menimbulkan konflik. Sehingga ini menimbulkan hubungan negara dengan rakyat semakin tidak kondusif.
2. Tentu, lagi-lagi rakyat yang menjadi korban, berdasarkan data KPA ada 1615 orang ditangkap dan dikriminalisasi bahkan 69 orang meninggal dunia. Sebenarnya, apa akar masalahnya?
Konflik agraria yang menimbulkan korban dalam jumlah yang cukup besar sampai ada yang meninggal dunia dalam jumlah puluhan ini tentu sangat disayangkan. Tentu hal ini terjadi karena rakyat dihadapi dengan aparat keamanan yang bersenjata, apakah dari kalangan kepolisian maupun kalangan tentara.
Dan seharusnya perlakuan terkait dengan masalah ini, harusnya mengedepankan komunikasi penyelesaian yang kolaboratif bukan kemudian menyelesaikan dengan represif karena ujung-ujungnya menimbulkan korban seperti yang terjadi sekarang.
Kalau dibilang apa yang menjadi akar masalah, karena selalu saja atau sering kali posisi aparat keamanan sebagai alat negara membuat kepentingan investor yang membutuhkan tanah rakyat. Yang kadang-kadang rakyat itu tidak paham legalitasnya sementara legalitas itu sudah dibereskan secara top down tanpa proses kolaboratif sehingga di sinilah menimbulkan problem-problem yang semakin besar. Kasus yang sangat nyata kan terbaru itu terkait dengan pulau Rempang.
3. Mengapa hal ini terus berulang? Berganti presiden, tetap terjadi konflik agraria?
Konflik agraria akan terus berulang dan terus akan terjadi, apalagi di tengah proses-proses mempercepat Indonesia menuju negara maju dalam perspektif pemerintah.
Hari ini, Indonesia digolongkan ke dalam kelompok negara yang kalau enggak hati -hati bisa masuk jebakan negara berpenghasilan menengah atau middle income trap.
Maka kita tahu misalnya Undang-undang Cipta Kerja, Omnibus Law Cipta Kerja itu kan di-setting untuk menjadi karpet merah investasi dengan harapan bisa melepaskan Indonesia dari middle income trap. Tapi apa yang terjadi, salah satu yang bisa kita baca adalah terkait dengan pengadaan lahan untuk investor.
Nah, pengadaan lahan untuk investor ini akhirnya bisa menabrak kepentingan rakyat. Banyak sekali aturan yang memberikan karpet merah pada investor. Misalnya terkait dengan hak guna dan hak kelola yang 90 tahun. Ini melebihi yang pernah terjadi di masa kolonial yang hanya 75 tahun, misalnya.
Terus proses-proses perampasan tanah rakyat, ini juga dilindungi kemudian dengan alasan investasi atau dengan alasan, kalau bahasa legalnya demi kepentingan umum. Cuma persoalannya demi kepentingan umum itu, siapa yang membuat keputusan?
Ya, selama ini keputusan itu selalu top down dan selalu yang menjadi arah adalah keberpihakan kepada investor.
Sehingga di sini lah akhirnya persoalannya terus berulang dan selama Indonesia berpikirnya seperti itu, para pemimpin negara itu berpikirnya seperti itu, maka konflik agraria itu pasti akan terjadi. Pertumbuhan ekonomi yang jauh dari pemerataan ini adalah rezim yang berorientasi pada sistem pembangunan atau ekonomi politik kapitalisme, selama itu terjadi, pasti konflik agraria akan selalu berulang.
4. Apakah yang dilakukan pemerintah ini sudah tepat sasaran atau menyejahterakan rakyat?
Jika kita lihat konflik agraria ini terjadi pada semua sektor. Yang dilakukan pemerintah jelas tidak tepat, jauh dari tepat. Bahkan saya berat mengatakan itu sebuah kesalahan besar yang dilakukan oleh rezim penguasa kepada rakyat. Karena seharusnya tanah itu untuk kesejahteraan rakyat, bukan kemudian tanah itu diserahkan demi kepentingan investor.
Logika yang mengatakan bahwa yang penting pertumbuhan ekonomi nanti kepada rakyat akan track down effect ini adalah logika yang sangat salah. Pertumbuhan ekonomi adalah satu sisi, pemerataan itu satu sisi.
Selama ini pemerataan cenderung dilakukan melalui tangan tersembunyi yang tidak ada sistem yang serius untuk menatanya. Sementara untuk pertumbuhan ekonomi, tanah -tanah yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat ini malah diprioritaskan untuk investor. Jelas ini sebuah kesalahan besar yang seharusnya dihentikan, bukan malah kemudian diterus-teruskan.
5. Pemerintah melalui Perpres 86 tahun 2018, membentuk gugus tugas reformasi agraria pandangan Anda terkait hal ini bagaimana, efektifkah?
Gugus Tugas Reformasi Agraria akhirnya tidak efektif. Kalau efektif kan harusnya problem-problem ini bisa diselesaikan. Tapi gugus tugas ini, kan bentukan dari pemerintah. Sementara orientasi pemerintah itu sendiri seperti yang diungkapkan sebelumnya. Apa pun bentuk gugus tugas itu hanya lip service yang tidak menyelesaikan masalah jauh dari kata efektif.
6. Terkait kedaulatan pangan, Pemerintah punya program akan membuka 1 juta hektar lahan pertanian pada satu sisi. Dan di sisi yang lain, negara membuka kran agar pengusaha mengelola hutan dan tanah di negeri ini. Apakah akan terwujud kedaulatan pangan tersebut?
Keinginan untuk membangun kedaulatan pangan atau ketahanan pangan, ini saya melihat kebijakannya sangat kontradiktif. Di depan publik selalu bilang bahwa akan membuka 1 juta hektar lahan pertanian, tapi sementara legal formalnya ini malah tidak membedakan perlindungan kepada lahan pertanian, tidak memberikan perlindungan pada di dalam pertanian itu ada yang membutuhkan lahan pertanian pangan berkelanjutan.
Istilahnya ketika satu wilayah sawah misalnya sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan, maka tidak boleh seharusnya tidak boleh dialihfungsikan, tapi yang terjadi nyatanya perlindungan terhadap lahan pertanian pangan berkelanjutan itu cenderung dikalahkan untuk kepentingan pembangunan kawasan ekonomi khusus, real estate, tol, bandara, sarana pertambangan, energi, dan juga untuk kepentingan investasi, sehingga relatif alih fungsi lahan pertanian berkelanjutan ini terus terjadi dan terus bertambah.
Ini kan kontradiktif. Satu setiap ingin membuka 1 juta hektar lahan pertanian, sementara lahan pertanian yang sudah jelas bagus, subur, malah dialihfungsikan dengan begitu cepat, demi kepentingan investasi.
Dan kalau kita lihat di Undang-undang Cipta Kerja itu, jelas sekali bahwa syarat-syarat alih fungsi lahan pertanian itu dihapuskan dengan alasan demi proses-proses yang lebih baik, demi kepentingan umum, demi kepentingan pembangunan, alasan-alasan lip service yang sebenarnya adalah karpet merah untuk investasi.
Ini yang terjadi. Kemudian yang sungguh sangat lucu juga, tidak hanya sekedar itu, impor pangan itu bisa menjadi salah satu, penjaga kedaulatan pangan, sangat lucu sekali. Sementara panen raya terjadi, cadangan pangan nasional juga ada, impor tetap menjadi salah satu bagian yang bisa dilakukan tanpa melihat lagi cadangan pangan.
Ini kontradiktif sekali. Jadi banyak sekali kebijakan yang jauh panggang dari api, tapi lip service, yang ke sana sini citra yang dibangun seperti peduli pada pertanian, seperti peduli pada kedaulatan pangan. Kalau seperti ini, konflik agraria pasti akan terus terjadi.
7. Setiap terjadi konflik agraria, aparat kepolisian, TNI dan lainnya berhadapan langsung dengan rakyat. Bagaimana sebenarnya pendekatan yang harus dilakukan negara?
Ya, konflik yang menghadap-hadapkan antara aparat keamanan dalam hal ini kepolisian dan juga TNI dengan rakyat secara langsung, ini kan problem di ujung.
Penyelesaian konflik agraria yang terbaik tentu di hulunya dulu, bagaimana mindset bahwa agraria atau tanah itu untuk kesejahteraan rakyat itu mindset yang harus dibangun dulu tentunya. Terus kemudian yang kedua dibangunlah legal formal yang betul-betul memberikan perlindungan pada tanah-tanah rakyat dan hak rakyat terhadap tanah.
Terus kemudian yang ketiga kalau ada konflik ya harus dibangun dengan pendekatan-pendekatan yang lebih manusiawi, kemudian lebih melakukan pendekatan yang kekeluargaan, terus kemudian kolaboratif. Ini yang sangat penting untuk dilakukan. Tapi kalau dalam situasi seperti sekarang hulunya problem, mindsetnya problem, legal formalnya problem, ya ujung-ujungnya mau pendekatan yang kolaboratif, partisipatif nggak akan selesai. Karena pemerintah yang dikedepankan karpet merah untuk investor, karpet merah untuk para pemegang modal, seperti yang dilakukan Bahlil misalnya di kasus Rempang.
Dia kan ditugaskan Pak Jokowi untuk melakukan pendekatan kekeluargaan, tapi mindset di kepala Bahlil dan juga pemerintah tetap memprioritaskan pemegang modal bagaimana bisa melobby rakyat untuk dipindahkan dari tempat hak ulayat mereka.
Ini yang sangat disayangkan. Sehingga konflik ini akan terus terjadi. Tapi intinya kalau konflik terjadi atau menghindari konflik ya pendekatannya harus kolaboratif dan manusiawi.
8. Jika terjadi konflik agraria ini, bagaimana hukum Islam, perlukah negara menggunakan aparat hukum?
Ya, seperti yang saya katakan tadi. Konflik agraria ini harus kita baca secara utuh.
Pertama, pendekatan Islam kepemilikan lahan atau kepemilikan itu harus benar-benar disesuaikan dengan konteks Islam, misalnya satu, Islam mengatur kepemilikan umum, kepemilikan individu dan kepemilikan negara, lahan-lahan hutan yang sangat luas luar biasa di Kalimantan, di Pesisir, di Sumatera dan sebagainya, itu hak milik umum.
Banyak sekali yang menjadi hak milik umum, termasuk lahan -lahan pertambangan di banyak tempat, itu hak milik umum yang harusnya dikelola oleh negara dan nanti dikembalikan untuk kemakmuran rakyat. Kedua, masyarakat yang sudah menempati dan menghidupkan tanah di satu lokasi tertentu, itu menjadi milik rakyat, tinggal negara membuat legalitas dalam bentuk sertifikat.
Jangan sampai terjadi seperti di Rempang, masyarakat sudah bertahun-tahun, tapi sertifikat saja tidak pernah ada. Dan seharusnya negara proaktif untuk memberikan sertifikat itu. Untuk memberikan lisensi bahwa mereka telah menghidupkan tanah, di tempat itu memproduktifkan tanah, di tempat itu.
Kemudian dibangunlah legalitas untuk benar-benar memberikan perlindungan terhadap tanah rakyat dan juga memberikan berbagai insentif penting untuk memproduktifkan lahan-lahan tersebut. Sehingga rakyat itu benar-benar bisa berkonsentrasi misalnya tadi kalau ingin membangun produktivitas lahan demi kepentingan pangan, rakyat juga bisa berkonsentrasi ke sana sehingga banyak sekali lahan yang bisa diproduktifkan dan banyak pihak yang tertarik untuk masuk di dunia pertanian.
Nah, kemudian baru di ujung nanti kalau ada konflik, ada hal -hal yang tidak tepat, maka dikembali ke standar hukum Islam dan diselesaikan secara baik. Secara baik, secara kekeluargaan, dan kalau nanti memang ada hukum Islam yang dilanggar, ya harus diselesaikan secara hukum.
Nah, pelanggaran itu tidak selalu rakyat loh, kalau dalam sistem sekarang kan, pelanggaran selalu ada pada rakyat. Pelanggaran bisa terjadi pada pemegang kebijakan.
Ketiga, pelanggaran dalam pemegang kebijakan, maka hukum pun harus tajam kepada mereka. Jangan sampai seperti sekarang, hukum tajam pada rakyat sementara hukum tumpul kepada pemegang kebijakan atau penguasa.[]