Tinta Media - Mulai mencoba-coba, berharap jadi kaya bercanda-bercanda, ruginya nyata.
Begitulah salah satu lirik lagu judi online yang marak di sosial media. Adanya sosial media hari ini memang tak tanggung-tanggung mengubah banyak hal secara teknis, termasuk urusan judi.
Saat ini, judi tidak hanya dilakukan secara offline, melainkan online juga. Hasil identifikasi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat ada 2,7 juta masyarakat yang terlibat judi online dan 2,1 juta di antaranya adalah warga berpenghasilan di bawah Rp100.000. Bahkan, taruhannya tidak lagi dengan nominal yang besar, Rp10.000 sudah bisa berjudi.
Cara deposit pun makin gampang, bisa dengan kirim pulsa, dompet elektronik, uang elektronik, bahkan QRIS. Transaksi judi online terus naik sejak 2017 sampai 2023, yaitu mencapai lebih dari Rp200 triliun, menurut data PPATK. Ini menjadikan judi online banyak diminati oleh banyak kalangan yang mengharap untung dengan jalan yang pintas.
Niatnya dihati ingin mendaki gunung, tetapi hari ini cuaca lagi mendung. Para penjudi mengharap untung, tetapi malang, malah buntung.
Judi tak lagi menyasar kalangan dewasa yang memiliki penghasilan saja, bahkan anak-anak sekolah pun juga menjadi pasarnya. Sepanjang tahun ini, klinik kidi spesialis anak di Pejaten, Jakarta Selatan telah menangani hampir 50 anak kecanduan judi online.
Tak tanggung-tanggung, anak-anak SD juga terobsesi mencari hoki dan penasaran, serta mencoba memainkan selayaknya game. Terkait judi online, perilaku ini menjadikan anak-anak semakin boros dalam meminta uang saku orang tua, memiliki sifat yang tak terkendali, seperti mengamuk dan uring-uringan, bahkan tidak bisa makan serta tidur karena lebih suka menyendiri. Akibatnya, belajar menjadi terganggu.
Promosi judi online tak tanggung-tanggung dilakukan. Bahkan, dari media sosial X akun @ilhamzada membuat utas para artis, penyanyi, dan komedian yang mempromosikan judi slot yang mengganti frasa 'judi online' menjadi 'gim online'.
Tak hanya itu, promosi judi online juga dilakukan lewat streamer game. Ini menjadi strategi jitu untuk memasarkan judi online sehingga semakin massif dinikmati oleh masyarakat, termasuk anak-anak SD yang belum sempurna akal berpikirnya.
Para streamer game diidolakan banyak anak yang suka main game. Anak-anak ingin meniru apa pun yang dilakukan oleh idola mereka sehingga membuat banyak yang ikut serta untuk mencoba.
Dalam live streaming, para streamer ini biasanya akan meneriakkan kata-kata, "Salam gacor” dengan menyebutkan situs judi yang memberikan donasi saat mereka siaran langsung atau dengan mencantumkan nama-nama pemberi uang mereka di layar streaming selama sebulan penuh, bahkan bisa dengan menyematkan link judi slot di kolom komentar.
Anak Terjerat Judi Online adalah Masalah Besar
Ada banyak faktor terkait maraknya judi online di tengah remaja, di antaranya yaitu pudarnya peran pendidikan keluarga maupun masyarakat dan negara. Jeratan judi online di kalangan siswa SD ini harusnya menjadi koreksi berbagai pihak, baik negara yang membuat kebijakan pendidikan yang arahnya untuk mendapat ekonomi sebanyak-banyaknya. Standar masyarakat kebanyakan yang berorientasi pada materi, serta keluarga yang bertugas sebagai sekolah pertama bagi anak dalam menanamkan keimanan yang kuat.
Hari ini, keluarga, khususnya orang tua lebih berorientasi mencari materi serta menyerahkan pendidikan sepenuhnya ke sekolah. Alhasil, anak yang awalnya adalah tanggung jawab orang tua seakan terkesan hanya difasilitasi oleh orang tua dan dididik oleh guru.
Apalagi biaya hidup saat ini semakin melonjak, membuat para orang tua harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup, termasuk pendidikan dan kesehatan anggota keluarga.
Pendidikan hari ini tak ubahnya mengikuti sistem yang diterapkan dalam sebuah negara. Apalagi, kita hidup di sistem kapitalisme yang semua diukur dengan materi. Alhasil, pendidikan melalui kurikulum merdeka belajar dan kampus merdeka lebih mengedepankan bagaimana peserta didik dapat memenuhi kriteria pasar dan bisa bersaing di lapangan kerja supaya mendapatkan materi sebanyak-banyaknya. Dengan konsep inilah, kurikulum pendidikan yang memisahkan agama dengan kehidupan semakin terasa adanya.
Anak tidak lagi dididik menjadi insan bertakwa yang paham atas jati diri sesungguhnya, yaitu sebagai hamba Allah yang diciptakan Allah untuk beribadah kepada-Nya dan akan kembali pada Allah. Saat ini, jati diri anak dijauhkan dari Allah, dijauhkan dari Islam. Hidup adalah untuk mencari uang dan mengejar kesenangan, kemewahan, dan segala sesuatu yang berbau materi yang didapatkan dengan segala cara tanpa menakar apakah hal tersebut halal atau haram.
Semua disebabkan karena standar yang dipakai bukan berasal dari Sang Khalik, tetapi berdasarkan kesenangan duniawi semata. Ini membuat orientasi dari kepribadian anak yang diharapkan sebagai generasi yang berakhlak mulia, bertakwa, bermanfaat bagi sesama menjadi bergeser, bahkan sirna.
Komitmen Negara untuk Menyelesaikan Tidak Kuat
Permasalahan ini tidak tuntas, bahkan masyarakat menilai bahwa Kominfo dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) tidak efektif dalam menuntaskan hal ini karena hanya memblokir situs yang para agen judi pun bisa membuat ulang situs-situs yang diblokir, serta bekerja sama dengan platform media sosial, seperti Facebook, Instagram, TikTok, Whatsapp, dan Youtube agar menghapus konten-konten yang memuat iklan judi online, mengingat tidak susah untuk membuat situs judi karena mereka sudah punya template, tinggal beli domain, dan pasang template itu.
Membeli domain murah. Yang gratisan juga ada. Semestinya negara bisa kerja sama untuk memutus IP address aplikasi judi slot yang tersambung ke komputer atau handphone, atau dengan menggandeng operator seluler untuk melacak dan memblokir nomor-nomor agen yang mempromosikan judi lewat SMS.
Terlihat, upaya negara lewat kebijakannya hanya terbatas pada upaya-upaya kecil yang bahkan bisa dilakukan oleh individu. Seharusnya, negara mempunyai peran lebih untuk membabat judi online yang bisa menghancurkan kehidupan generasi pemimpin di masa mendatang.
Setiap ada masalah, di situ ada solusi, tinggal bagaimana keseriusan dalam menangani suatu permasalahan. Sistem kapitalis orientasinya hanya berjibaku pada materi dalam menjaga para generasi. Sementara, Islam menjaga generasi dengan baik dengan sistem yang sempurna dan komprehensif melalui penerapan Islam kaffah.
Islam memperkenalkan sedari dini terkait pendidikan dalam skala keluarga, masyarakat, dan negara. Anak dididik dengan kurikulum yang berbasis akidah Islam dan keterikatan pada hukum syariat Islam.
Dengan sistem ekonomi Islam, maka pengurusan masyarakat terkait dengan pengelolaan ekonomi membuat biaya pendidikan dan kesehatan menjadi murah, bahkan gratis. Semua didanai oleh negara sehingga orang tua dalam mendidik tidak mendapat tekanan yang berlebihan saat mengarahkan anak-anak dalam jalan yang benar.
Filterisasi media yang bisa tayang adalah konten-konten yang mendidik generasi supaya bisa mendekatkan kehidupan dengan Rabb semesta alam. Adanya sanksi yang menjerakan bagi orang-orang yang melanggar ketentuan syariat yang diterapkan sebagai aturan bernegara untuk mengatur rakyat membuat generasi semakin nyaman dalam belajar, bahkan menggunakan teknologi dan meniadakan kehancuran generasi.
Wallahualam bisawab.
Oleh: Wilda Nusva Lilasari S.M.
(Sahabat Tinta Media)