Tinta Media - Tampaknya, fenomena bunuh diri bak jamur di musim penghujan. Tidak hanya menyerang usia remaja, dewasa, ataupun orang tua. Tapi juga mampu menyasar usia anak-anak. Seorang bocah SD di Kabupaten Pekalongan yang nekat mengakhiri hidupnya dengan gantung diri setelah dilarang bermain gadget oleh ibunya. WHO memperkirakan setiap 40 detik terjadi kasus bunuh diri di seluruh dunia, Adapun angka bunuh diri di Indonesia menyentuh 826 kasus pada tahun 2022, naik 6,37% dibandingkan tahun 2018 yakni 772 kasus. (health.detik.com, 13/10/2023).
Anehnya, fenomena tersebut semakin masif seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern, yang turut didukung dengan gaya hidup individualistis, egosentris, dan cenderung praktis. Anak-anak saat ini adalah generasi yang dididik oleh gadget, tidak bisa dimungkiri mereka akan menemukan role model virtual di dalam gadget yang dipegang setiap harinya.
Entah itu youtuber kaya raya, game online yang menjanjikan kemenangan, seleb tiktok yang berwajah rupawan, atau reels nyeleneh tapi lucu seperti skibidi toilet yang pernah viral. Terlihat aneh tapi nyata, anak bisa tersenyum sendiri menatap gadget yang ia pegang, tak lama kemudian ia pun bisa marah-marah dan membanting gadgetnya.
Persepsi kebahagiaan di benak anak-anak tidak terlepas dari standar materi duniawi berupa harta atau pujian. Inilah yang membentuk mindset "kepraktisan" dalam benaknya. Mau cepat terkenal di medsos harus memperbanyak konten. Mau mengejar posisi top harus push rank. Atau bisa juga hanya menjadi penonton biasa-biasa saja yang menghabiskan waktu dan kuota demi killing time dan having fun.
Coba bayangkan, anak-anak yang masih alpha dari pemikiran Islam, lagi asyik-asyiknya push rank eh disuruh berhenti. Lagi enak-enaknya nontonin idola malah disita gadgetnya. Jiwanya kosong, dan merasa menjadi anak paling menderita sejagat raya, tidak berguna. Berbagai emosi yang hadir tanpa dibimbing oleh syariat hanya menuju kepada pelampiasan yang sia-sia.
Cikal bakal persepsi keliru inilah yang kemudian berujung kepada depresi. Ditambah bumbu-bumbu perilaku impulsif atas emosi yang tengah bergejolak. Lingkungan sekitar pun tidak ada yang mengarahkan kepada qiyadah fikriyyah Islam. Bukan tidak mungkin berujung kepada pengambilan sikap untuk bunuh diri. Naudzubillah min dzalik.
Sebagai orang tua, ini adalah alarm bagi kita bagaimana mendidik anak di tengah gempuran teknologi yang tidak bisa dielakkan. Segala informasi membanjiri otak anak-anak yang masih polos dan tak berdosa. Jika tanpa kendali orang tua, maka anak akan dikendalikan oleh disrupsi digital.
Ditambah dengan arus feminisme terkait, "Perempuan Berdaya, Perempuan Bekerja" akan makin menggempur ketahanan rumah tangga kaum muslim. Bukan tidak mungkin peran ibu akan tergantikan oleh "ibu virtual". Anak-anak akan meniru apa yang dilihat dan didengar dari gadgetnya. Mereka diasuh oleh tontonan-tontonan yang tidak mendidik.
Tentu hal ini tidak mampu diredam oleh institusi keluarga dan masyarakat saja, dibutuhkan kekuatan yang lebih besar. Bukan kekuatan Superman ataupun Wonder Woman. Melainkan, kekuatan negara yang mampu menyaring informasi dan tayangan ramah anak, dan kurikulum pendidikan yang mampu melahirkan generasi-generasi bermental pejuang.
Sebagaimana lahir generasi Islam seperti Usamah bin Zaid yang menjadi panglima perang di usia 18 tahun. Kemudian, Muhammad Al Fatih yang berhasil menaklukkan Konstantinopel di usia 21 tahun. Tentu saja, mereka dibesarkan dengan kematangan berpikir, dan kedewasaan sikap yang bersumber dari Alquran dan Hadits.
Tren naiknya kasus bunuh diri di Indonesia adalah alarm bagi kita bahwa ada yang salah dengan sistem kehidupan hari ini. Sistem pendidikannya terbukti gagal mencerdaskan generasi, sistem ekonominya terbukti gagal menyejahterakan para ibu, sistem sosialnya pun terbukti gagal dalam menjaga akal dan jiwa. Jangan buru-buru bunuh diri, wahai kaum muslim. Inilah waktu yang tepat untuk berjuang dan menyambut penerapan Islam secara paripurna. Allahu Akbar!
Oleh: Putri Halimah, M.Si.
Sahabat Tinta Media