Tinta Media - Ucapan yang dilontarkan oleh Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono yang dilansir dari CNN Nasional itu memang relate banget menurutku, dengan keadaan Ibu Kota Nusantara (IKN), dari yang sedang menuju tahap pembangunan ataupun yang akan datang. Bagaimana tidak, dari perencanaan sampai pembangunannya saja semua bermasalah, dari pembiayaan, lahan, kependudukan, bahkan sampai ke depan ketika sudah jadi pun publik menilai itu tidak sesuai yang diharapkan.
Wajar memang, jika IKN itu dijadikan tempat hukuman. Walaupun hanya guyonan memang ada benarnya juga kalau hukuman untuk ASN yang kerjanya tidak baik adalah dikirim ke sana. Itu cukup merepresentasikan bahwa IKN ini dilihat dari mana pun, baik untuk rakyat ataupun bahkan sampai pejabat tingkat eselon sekali pun, IKN tidaklah cocok untuk disinggahi, apalagi dibangun.
Sebenarnya apa sih yang menjadi patokannya, hingga pemerintah itu berambisi memindahkan ibu kotanya ke Kalimantan Timur. Disokong dengan dana yang luar biasa yakni mencapai 460 triliun rupiah. Dengan anggaran sebesar ini dan hanya ditopang oleh 20% APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Padahal logikanya, 20% APBN itu tidak mungkin bisa menutupi pembiayaan pembangunan IKN.
Walhasil, untuk menutupi kekurangan anggaran yang sebesar itu, maka tidak bisa menutup kemungkinan akan adanya peran pengusaha ataupun investasi asing yang besar, yang ikut berinvestasi di IKN tersebut.
Jika sudah begitu, khawatirnya kelak proyek tersebut menjadi proyek yang ambisius untuk kelompok kecil dengan syahwat kepentingan pribadinya tanpa memedulikan rakyat.
Memang sejak awal kontroversial dan banyak pihak yang menilai bahwa pembangunan IKN ini kurang adanya kajian saintifik yang mendalam untuk masyarakat, terkait urgentivitas pembangunan atau pemindahan ibukota ini. Kok bisa, pemerintah ngebet banget untuk membangun di saat perekonomian di negeri ini sedang dalam keadaan yang kurang baik. Akan sangat berbahaya jika banyak pembiayaannya itu diberikan kepada pengusaha, investor, asing ataupun negara lain.
Apalagi yang ditawarkan pemerintah kepada pengusaha ataupun investor adalah sektor yang sangat strategis seperti disektor publik kesehatan, pendidikan, dan juga infrastruktur. Bisa dibayangkan jika dua sektor pokok yakni pendidikan dan kesehatan yang sejatinya itu adalah kebutuhan hajat hidup orang banyak, itu dikuasai dan dikelola oleh pengusaha, yang terjadi adalah sektor tersebut akan dijadikan sebagai lahan bisnis mereka. Nah, jika sudah menjadi lahan bisnis atau berbayar tidak semua orang bisa akses, bisa akses pun layanannya akan tergantung pada pembiayaan yang diberikan, semakin mahal pelayanannya akan semakin istimewa pemberiannya.
Itulah sifat pengusaha, tidak mungkin pengusaha berpikiran akan gotong royong, suka rela berkorban, ataupun gratis. Jika sudah menyangkut bisnisnya, kepentingan masyarakat pasti akan tersingkirkan dengan sendirinya. Karena hakikatnya mindset mereka itu adalah untung-rugi bukan berjuang demi rakyat.
Dari sisi pembiayaan pembangunannya lebih ngeri lagi. Jika banyak ketergantungannya dengan investor ataupun berhutang kepada negara lain, maka tak bisa dipungkiri akan rentan didikte kebijakannya oleh investor ataupun negara lain yang sebenarnya problem ketergantungan ini, adalah PR buat rezim ini.
Jadi bisa kita bayangkan nasib negeri ini ke depan, jika kebijakan sudah didikte oleh negara lain ini tak terbendung, maka akan sangat terasa sekali ketidakberpihakan pada rakyat, dan lebih kepada investor ataupun negara-negara yang sudah memberikan jaminan hutang ataupun jaminan dana, dan pada akhirnya yang menjadi korbannya adalah masyarakat. Tentu ini tidak baik dan akan sangat berbahaya jika diterus-teruskan. Bahkan proyeknya pun tidak akan optimal, bisa jadi yang berkuasa di proyek ini nanti investor, pengusaha ataupun asing.
Oleh: Setiyawan Dwi
Sahabat Tinta Media