Tinta Media - Kontestasi capres cawapres semakin memanas mendekati 2024. Mereka Beradu visi misi untuk perubahan yang lebih baik. Dengan ekspresi meyakinkan, semua menjanjikan hidup masyarakat akan sejahtera jika terpilih.
Acara debat digelar untuk menunjukkan kemampuan masing-masing sebagai calon capres cawapres yang layak di pilih. Tak lupa, hasil survei dengan menampilkan elektabilitas para calon menambah daya tarik agar masyarakat mau memilih. Mereka fokus agar menang dan bisa berkuasa lima tahun ke depan.
Sesungguhnya, jabatan adalah amanah besar lagi berat, bukan sekadar menang atau kalah. Mereka yang menang mempunyai tanggung jawab mengurusi jutaan manusia agar bisa hidup layak. Itulah sebabnya, banyak yang berharap adanya pemimpin yang bisa menjadikan hidup lebih baik dari yang kemarin. Sebab, hari ini kehidupan sedang kacau. Ketenangan jauh dari harapan dan justru banyak manusia yang stres, depresi, hingga bunuh diri karena beratnya tekanan hidup.
Pertanyaannya, mengapa dengan bergantinya pemimpin, khususnya negeri ini yang sudah tujuh kali, tetapi kehidupan tak kunjung membaik?
Pertama, ongkos politik dalam sistem demokrasi kapitalisme hari ini dalam mendulang suara sangat mahal. Mereka memerlukan banyak suara untuk duduk di kursi kekuasaan. Sementara, suara artinya uang.
Dengan memberikan berbagai bantuan, seperti sembako, peralatan pertanian, uang, perbaikan jalan mereka berharap mendulang banyak suara dari masyarakat.
Hal ini dilihat sebagai peluang emas oleh para kapital untuk memodali para calon. Tentu tidak ada makan siang gratis. Para kapitalis ingin agar kantong mereka bertambah tebal ketika bisa menguasai penguasa yang didukungnya dengan membuat kebijakan yang berpihak pada mereka.
Contoh, relokasi Rempang, IKN Penajam, Paser Utara, Seruyan Kalteng, Tambang pasir besi Pasirian Lumajang adalah secuil oligarki/para kapital di atas angin bisa leluasa menguasai lahan masyarakat untuk kepentingan mereka. Meskipun masyarakat menolak, tetapi tetap yang punya modallah yang memenangkan perkara.
Kedua, besarnya modal yang dikeluarkan untuk meraih kursi tak seimbang dengan gaji yang didapat. Maka, jalan termudah menutup modal adalah dengan korupsi. Hal ini dianggap lumrah karena sistem yang dijalankan membuka celah tersebut.
Tidak ada malu, apalagi merasa berdosa melakukan. Setiap kebijakan selalu berlandaskan manfaat materi. Halal atau haram tidak dihiraukan, yang penting harus ada manfaat materi. Sekali berenang, dua tiga pulau terlampaui.
Ketiga, sejatinya yang berkuasa adalah para oligarki, karena tanpa uang tak mungkin bisa meraih kursi. Jadi, jangan berharap ada perubahan lebih baik meskipun berganti orang, karena sistem yang dijalankan tetap sama dengan yang lalu.
Sejatinya, yang menang tetap pemodal. Rakyat pasti kalah dan memang sengaja dibuat kalah. Rakyat hanya di jadikan tumbal suara lima tahunan. Begitu meraih kekuasaan, tak sekali pun berpikir untuk kebaikan masyarakat yang ada. Yang dipikirkan hanya bagaimana lima tahun ke depan tetap bisa menikmati empuknya kursi kekuasaan.
Begitulah ritme politik dalam sistem demokrasi kapitalisme. Rakyat hanya dibuai dengan janji. Namun, janji tinggal janji, dan tetaplah rakyat gigit jari menghadapi sulitnya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Maka, di sinilah pentingnya mengedukasi masyarakat. Selama sistem yang dijalankan adalah demokrasi kapitalisme, maka tidak akan ada perubahan sama sekali. Ibaratnya, ganti pemimpin sama seperti ganti baju, terapi isi tetap sama, yaitu hanya memihak pada yang punya modal.
Saatnya ganti sistem, yaitu dengan menerapkan lslam yang berasal dari Sang Pencipta alam semesta yang pasti baik dan cocok untuk siapa saja dan kapan saja. Secara empirik, sistem ini telah terbukti selama 14 abad mampu menaungi berbagai suku, budaya, warna kulit, bahasa, bahkan agama yang berbeda-beda.
Hal tersebut juga diakui Barat melalui pidato menakjubkan oleh pengusaha wanita dan sejarawan Carly Fiorina, CEO Hewlett-Packard Corporation. Pada pertemuan seluruh manajer perusahaan tersebut di seluruh dunia, pada 26 September 2001, Carly Fiorina menyampaikan,
“Pernah ada suatu peradaban yang merupakan peradaban terbesar di dunia ..... Ketika negara-negara lain takut dengan pemikiran, peradaban ini berkembang pesat pada mereka, dan membuat mereka tetap hidup. Ketika banyak yang mengancam untuk menghapus pengetahuan dari peradaban masa lalu, peradaban ini membuat pengetahuan itu tetap hidup, dan meneruskannya kepada orang lain.
Sementara, peradaban Barat modern memiliki banyak ciri peradaban yang saya bicarakan adalah dunia Islam dari tahun 800 hingga 1600, yang meliputi Kekaisaran Ottoman dan pengadilan Baghdad, Damaskus, dan Kairo, serta para penguasa tercerahkan seperti Suleyman yang Agung."
Meskipun kita sering tidak menyadari utang kita kepada peradaban ini, pemberiannya merupakan bagian dari warisan kita. Industri teknologi tidak akan pernah ada tanpa kontribusi ahli matematika Arab. (Literasiisslam.com, 29/6/2022).
Maka, sistem demokrasi kapitalisme hanya fokus pada menang atau kalah. Urusan rakyat tidak pernah menjadi prioritas. Apa masih mau dikelabui, padahal sudah berkali-kali tak pernah terbukti? Keledai saja tidak akan terperosok dalam lubang yang sama sampai dua kali. Allahu a’lam.
Oleh: Umi Hanifah
Sahabat Tinta Media