Tinta Media - Indonesia saat ini menjadi negara dengan kasus penyakit tuberkulosis tertinggi di dunia. Artinya, penyakit tuberkulosis (TBC) masih menjadi ancaman nyata bagi kesehatan masyarakat. Meningkatnya kasus TBC di Indonesia benar-benar telah menjadi fenomena gunung es. Jika salah satu anggota keluarga kena TBC, maka kemungkinan keluarga sekitarnya juga terinfeksi.
Untuk memecahkan kasus gunung es yang tidak terdeteksi itu, pemerintah menerapkan kebijakan untuk melakukan skrining dan pelacakan kasus TBC seperti halnya kasus Covid-19. Kebijakan ini telah diterapkan oleh pihak Pemkot Jogjakarta bekerja sama dengan Zero UGM. Mereka melakukan layanan mobile screening untuk mendeteksi kasus-kasus TBC di Kota Jogjakarta. Sreening keliling dilakukan di wilayah-wilayah kecamatan dengan kasus TBC cukup tinggi. Layanan mobile screening ini menjadi yang pertama di Indonesia.
Mobile screening ini mendapat apresiasi dari pemerintah karena menjadi inovasi terdepan untuk melacak penyakit TBC secara aktif. Pemerintah berharap agar inovasi tersebut bisa mereplikasi dan menjadikan program pengentasan TBC di Indonesia sesuai dengan Perpres No. 67 Tahun 2021, Tentang Penanggulangan Tuberkulosis.
Setelah puluhan tahun berlalu, penanganan tuberkulosis malah semakin krisis dan kritis. Mirisnya, Indonesia saat ini menjadi bagian dari negara dengan penderita TBC tertinggi kedua di dunia. Fakta ini mengindikasikan bahwa kinerja petugas kesehatan di semua lini bekerja dengan "aktif", seolah menjadi "denial" (penolakan) atas kelalaian pemerintah terhadap meningkatnya kasus TBC dari tahun ke tahun. Fenomena TBC sudah menjadi gunung es, hanya sebagian saja yang bisa terdeteksi dari sekian banyaknya kasus yang terjadi.
Penanganan kesehatan yang dilakukan pemerintah untuk masyarakat semakin jauh dari keberhasilan. Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, fisik maupun nonfisik sangat buruk. Akibatnya, kemiskinan dan kesengsaraan melanda masyarakat. Kerusakan lingkungan, krisis air bersih, pencemaran udara, lingkungan kumuh, sanitasi buruk, semua ini menjadi faktor penyebab tingginya kasus TBC di Indonesia.
Maka dari itu, jika saat ini pemerintah melakukan dan menerapkan kebijakan mobile screening guna mendeteksi gejala tuberkulosis sehingga bisa mengetahui siapa yang terjangkit virus agar segera ditangan. Tentunya, upaya ini hanya sebatas solusi pragmatis bagi masyarakat, yaitu solusi tanpa menyentuh akar permasalahan.
Jelas bahwa kesehatan masyarakat itu berkolerasi dengan lingkungan itu sendiri. Lingkungan kumuh, sanitasi buruk, udara yang tercemar, dsb. Semua itu berkaitan dengan kemiskinan. Sementara, kemiskinan yang terjadi bukan tanpa sebab, tetapi sistemlah yang memiskinkan rakyat.
Inilah buah pahit dari penerapan sistem kapitalisme sekularisme yang menjadikan aktivitas manusia berputar di sekitar nilai materi. Kesehatan pun saat ini dikapitalisasi. Pemerintah hanya menjadi regulator bagi oligarki dan rakyatnya sendiri.
Lain halnya jika yang diterapkan adalah sistem Islam. Peran negara dalam sistem Islam adalah sebagai pelayan untuk mengurusi semua urusan rakyat. Begitupun dengan pengurusan kesehatan yang merupakan kepentingan publik yang harus dipenuhi oleh negara. Semua dilakukan secara praktis dengan menerapkan sistem kesehatan Islam. Sebagaimana konsep Islam terhadap penanganan penyakit menular pada umumnya, yaitu pemutusan segera rantai penularan secara tuntas agar tidak terjadi penambahan angka kesakitan dan zero kematian
Jika terjadi kasus baru, maka pemimpin dalam Islam akan melakukan pemutusan penularan secara total dan terjadinya bahaya bagi pengidap maupun masyarakat luas. Kemudian, dilakukan pemisahan segera terhadap para pengidap TB di tempat-tempat perawatan kesehatan dan mengeluarkan orang yang berada di area terjangkit TB guna mencegah penyebaran virus TB. Jika TB dipandang sebagai perkara darurat kesehatan, khalifah akan menugaskan para pakar dan ahli bagi penanganan intensif, yakni dari segi pembuatan rancangan kekinian serta strategi pelaksanaannya agar persoalan segera teratasi tanpa menjadikan kehidupan masyarakat terhenti.
Sistem kesehatan Islam yang tangguh tentunya didukung oleh prinsip politik Islam yang menjamin akses setiap individu terhadap pelayanan kesehatan yang gratis dan berkualitas tinggi secara medis dan nonmedis. Mempersiapkan SDM yang memiliki kualitas dan kuantitas memadai.
Begitu juga konsep pembiayaan kesehatan, seluruhnya diambil dari baitul mal dengan anggaran mutlak. Semua ini adalah upaya untuk menangani problem kesehatan yang terjadi di tengah masyarakat.
Namun, jika menilik dari akar permasalahan kesehatan yang saat ini terjadi, maka jelas sistem Islam terlebih dahulu melakukan pencegahan akan timbulnya permasalahan. Caranya, dengan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, seperti sandang, pangan dan papan. Pembenahan tata kelola kota, sanitasi baik, serta menciptakan iklim cuaca sejuk dilakukan tanpa pencemaran udara
Oleh sebab itu, satu-satunya paradigma untuk mengatur sistem kesehatan secara sahih adalah Islam. Jadi, sesuai peradaban dan politik kesehatan Islam yang mempunyai visi menyejahterakan seluruh alam. Namun, semua itu hanya ada pada sistem Islam yang berada di bawah satu institusi, yaitu Khilafah 'alaa minhajin annubuwwah. Wallahu'alam bishshawab.
Oleh: Tiktik Maysaroh
Aktivis muslimah Bandung