Tinta Media - Fenomena pilu tak berkesudahan tentang bullying masih saja marak dirasakan. Kasus bullying ini tidak hanya terjadi sekali, tetapi terus berulang di tempat yang berbeda. Mirisnya, pelaku kekerasan juga merupakan teman sebaya. Kejadiannya pun masih di lingkup satuan pendidikan berbagai tingkatan.
Dilansir dari REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA (20/10/2023), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyatakan berdasarkan hasil Asesmen Nasional pada 2022, terdapat 36,31 persen atau satu dari tiga peserta didik (siswa) di Indonesia berpotensi mengalami bullying atau perundungan.
Seperti kasus perundungan pada anak TK di Sulawesi utara yang sempat viral. Ia menjadi korban bully hingga 3 pekan tidak mau pergi ke sekolah (5/12/2022).
Kasus lain, seorang siswi kelas 2 SD mengalami buta permanen pada mata kanannya diduga akibat ditusuk oleh kakak kelasnya(21/9/2023).
Ada juga siswa SMP di Cilacap yang dianiaya oleh siswa lain, dipukul dan ditendang. Adegan itu disaksikan beberapa siswa lain dan tidak ada yang melerai saat peristiwa ini terjadi (29/9/2023).
Tak hanya itu, siswa SMA Depok dibully di toilet sekolah (11/8/2023) bahkan mahasiswa Politeknik di Surabaya juga tewas karena kerap dibully seniornya.
Bullying adalah suatu tindakan penindasan yang sering kali dilakukan baik secara individu maupun berkelompok pada lingkungan tertentu. Kelompok yang melakukan bullying cenderung merasa berkuasa dan menganggap pihak lain lebih lemah.
Data pelanggaran terhadap perlindungan anak yang telah masuk KPAI sampai Agustus 2023 mencapai 2.355 kasus. Anak sebagai korban perundungan (87 kasus), anak korban pemenuhan fasilitas pendidikan (27 kasus), anak korban kebijakan pendidikan (24 kasus), anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis (236 kasus), anak korban kekerasan seksual (487 kasus), serta masih banyak kasus lainnya yang tidak teradukan ke KPAI.
Fenomena bullying ini seperti gunung es. Karena itu, mengungkap dan membenahi akar kekerasan dan bulliying merupakan sesuatu yang penting diupayakan oleh semua pihak.
Berbagai upaya harus ditempuh agar bullying bisa tersolusikan, mulai dari skala individu.
Prof Susanto telah meluncurkan Gerakan Pelopor Anti Bullying melalui Olimpiade Anti Bullying tingkat nasional bagi pelajar di berbagai tingkat mulai SD/MI, SMP/MTs, sampai SMA/SMK/MA.
Bahkan, Puspeka (Pusat Penguatan Karakter) sejak 2021 bekerja sama dengan UNICEF Indonesia untuk melaksanakan bimbingan teknik (bimtek) Roots Program yaitu program pencegahan kekerasan, khususnya perundungan yang pelaksanaannya berjalan 2 tahun. Program ini telah mendorong 34,14 persen satuan pendidikan membentuk tim pencegahan kekerasan.
Tak tanggung-tanggung, sebanyak 10.708 satuan pendidikan akan melatih 20.101 fasilitator guru, dan membentuk 51.370 siswa agen perubahan. Targetnya, di tahun 2023 akan dilaksanakan bimtek Roots secara luring dan daring pada 2.750 satuan pendidikan jenjang SMP, SMA, dan SMK, serta melakukan refreshment pada 180 orang fasilitator nasional.
Sebagai upaya pencegahan dan penanganan kekerasan pada anak di satuan pendidikan, pemerintah juga sebetulnya sudah mengeluarkan solusi yang sistemis lewat Permendikbud No 46 Tahun 2023 lewat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek). Akan tetapi, implementasi aturan ini dinilai baru diterapkan oleh sejumlah sekolah saja.
Beberapa kasus kekerasan pada anak di lingkup pendidikan tidak terlepas dari fenomena adanya geng di sekolah. Validasi diri yang salah, tak terarah dan melampaui batas telah menjebak anak-anak di lingkup pendidikan sehingga tak segan-segan untuk melakukan kekerasan.
Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti menyatakan bahwa terdapat 3 faktor yang menyebabkan seorang anak melakukan kekerasan:
Pertama, faktor internal yang berasal dari dalam diri anak itu sendiri dan lingkungan keluarga atau pengasuhan yang diterima anak dari lingkup terintim.
Kedua, faktor eksternal, berasal dari luar rumah, misalnya lingkungan sekolah, pergaulan, dan lingkungan masyarakat. Hal ini termasuk pengaruh dari dunia maya dari penggunaan gadget yang tanpa aturan atau edukasi dan tidak diawasi oleh orang tua atau keluarganya.
Ketiga, faktor situasional, yaitu sesuatu yang muncul tak terduga, misalnya junior dipaksa senior untuk ikut tawuran. Karena takut menolak, maka mereka memilih terlibat.
Yang pasti, bullying memerlukan solusi yang lebih komprehensif. Massifnya bullying sekaligus menegaskan bahwa persoalan ini tidak bisa diatasi tanpa mencabut akar permasalahan yang ada. Sekalipun banyak solusi yang diberikan, realitasnya tak bisa menggilas habis bullying di berbagai tingkat pendidikan. Bahkan, tak jarang, meski solusi sudah diberikan, tetapi nyawa masih melayang.
Sekalipun telah mengeluarkan solusi yang sistemis lewat Permendikbud No 46 Tahun 2023 lewat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud ristek) tetapi nyatanya belum bisa berbuah manis seperti apa yang ingin diharapkan.
Hal itu karena paham liberal atau kebebasan telah meracuni para generasi, sehingga mereka tidak takut menjadi pelaku bulliying. Mereka tidak memiliki standar perilaku yang benar atas perbuatannya.
Adanya sistem sekuler yang hari ini diterapkan, yaitu memisahkan antara agama dengan kehidupan makin memassifkan adanya bullying sehingga makin menjamur di tengah masyarakat. Hal ini karena mereka melihat sesuatu perbuatan dengan nilai yang semakin kabur antara hitam dan putih.
Standar masyarakat yang dipakai acap kali membuat orang bingung dalam menentukan mana perbuatan yang baik dan mana yang buruk. Alhasil, solusi yang hadir pun hanya mampu menebas sedikit masalah, tetapi tidak sampai mencabut akar dari masalah tersebut. Karena itu, masalah-masaah tersebut akan tetap hadir kembali pada waktu dan tempat yang berbeda dan tak akan pernah tuntas.
Maka, perlu kita sadari bahwa islamophobia, serta jargon radikalisme yang sedang gencar ditawarkan di tengah masyarakat adalah ide yang sangat berbahaya karena semakin menjauhkan masyarakat dari solusi yang hakiki.
Ternyata, resep ampuh untuk menggilas habis bullying sebenarnya membutuhkan kordinasi berbagai pihak, baik individu, masyarakat, maupun negara. Dari sisi individu, pada diri anak harus ditanamkan keimanan kepada Allah, keterikatan pada syariat sejak dini, serta orang tua yang menjadi contoh yang baik.
Penting juga untuk mewujudkan masyarakat yang mampu menciptakan suasana keimanan dalam kehidupan. Agar keluarga, sekolah, dan masyarakat menjadi lingkungan yang kondisif bagi tumbuh kembang anak-anak, maka diperlukan kebijakan dan peraturan. Negara harus menerapkan Islam secara keseluruhan agar terbebas dari masalah bullying yang menggurita. Wallahualam bissawab.
Oleh: Wilda Nusva Lilasari S.M.
Sahabat Tinta Media