Menakar Dinasti Politik dengan Sudut Pandang Islam - Tinta Media

Minggu, 19 November 2023

Menakar Dinasti Politik dengan Sudut Pandang Islam

Latar Belakang

Tinta Media - Sebelumnya ada sebuah quotes yang cukup terkenal sebagaimana penulis kutip, yaitu apa yang disampaikan Lord Acton. 

"Power attend to corrupt, absolute power corrupts absolutely."

Artinya, "Kekuasaan hadir untuk korup, kekuasaan absolut korup secara mutlak."

Ungkapan ini mungkin bisa menggambarkan apa yang terjadi di negeri ini menjelang batas akhir pendaftaran capres-cawapres. Sebelumnya, publik dikejutkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai kontroversial, yaitu nomor 90/PUU-XXI/2023. 

Dalam putusan tersebut, MK menetapkan bahwa kepala daerah di bawah usia 40 tahun dapat mengajukan diri sebagai calon presiden atau calon wakil presiden, asalkan mereka pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah.

Putusan ini adalah buntut dari Judicial Review UU No.7/2017 mengenai pemilu, terkait batas usia capres cawapres yang diajukan oleh seorang mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) bernama Almas Tsaqibbirru. Polemik ini menjadi sorotan berbagai kalangan yang menyebutkan bahwa putusan ini beraroma politis sebab terkait dengan momentum Pilpres 2024 dan sarat akan konflik kepentingan. 

Kuat dugaan, hal ini merupakan bentuk "cawe-cawe" Presiden Jokowi yang ingin melanjutkan kekuasaannya, melalui Ketua MK yang tak lain adalah pamannya Gibran Rakabuming Raka yang masih sebagai Walikota Solo.

Putusan ini justru menimbulkan silang pendapat pada hakim MK. Hakim MK yang lain saja merasa “dikibulin” atau ragu terhadap putusannya. Ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana bisa, hakim saja tidak percaya dengan putusannya sendiri, apalagi publik? 

Keputusan ini menurut para ahli hukum masih bisa dibatalkan karena ketua MK memiliki hubungan ikatan kekeluargaan dengan presiden. Menurutnya, putusan ini juga bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 

Namun, sayangnya tak segampang itu. Kita berharap, hakim MK tunduk dan patuh terhadap perintah undang-undang, faktanya malah diabaikan. Ini adalah sebuah bentuk pelanggaran terhadap konstitusi yang dibuat oleh MK sendiri yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam penegakan hukum.

Putusan ini tentu menguntungkan salah satu paslon (pasangan calon). Melihat indikator dan rasionalitas pertimbangan hukum yang dibangun oleh MK, rasa-rasanya cukup sulit menolak anggapan tersebut. Karena faktanya, MK menunjukkan sikap inkonsistensi yang jelas terlihat. Apalagi dengan objek Judicial Review dan petitium yang kurang lebih sama dan diajukan dalam waktu yang relatif tidak berjarak, yaitu putusan No.29/PUU-XXI/2023,51/PUU-XXI/2023 dan perkara 55/PU-XXI/2023 yang diajukan oleh beberapa kepala daerah terkait batas usia yang berakhir dengan penolakan.

Penyebab Politik Dinasti

Beberapa penyebab terjadinya dinasti politik, yakni: 

Pertama, legislasi. Peraturan yang dibuat cenderung membidani lahirnya dinasti politik. Salah satunya putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah membatalkan ketentuan yang melarang calon kepala daerah memiliki konflik kepentingan dengan kepala daerah incumbent.

Alasannya, pasal seperti ini melanggar hak asasi manusia dan bersifat diskriminatif. Putusan MK ini menjadi angin segar bagi tumbuh suburnya pelembagaan dinasti politik. Dengan demikian, siapa pun sanak famili yang masih ada hubungan dengan kepala daerah incumbent, boleh saja menjadi kepala daerah sepanjang dipilih oleh publik.

Kedua, partai politik. Ada dalam sistem partai politik tersebut yang mengharuskan keluarga kadernya masuk dalam satu partai. Dengan demokrasi, hal seperti ini adalah sah-sah saja. Sehingga, parpol lebih mengandalkan ikatan genealogis daripada merit sistem (prestasi, kecerdasan, dan usaha). 

Ketiga, sistem kapitalisme yang diadopsi menjadikan politisi melakukan politik pragmatis dan instan, yakni mencari calon yang punya ikatan kekerabatan dengan pejabat yang memiliki peluang menang. Tindakan seperti ini malah persis seperti kutu loncat, demi meraih kekuasaan.

Keempat, kuatnya oligarki politik di negeri ini. Pemilihan kepala daerah melalui pencalonan kandidat oleh partai politik lebih cenderung didasarkan atas keinginan elite partai sehingga rakyat hanya memilih apa yang disodorkan partai politik. 

Juga bukan berdasar rasionalitas dengan mempertimbangkan kapasitas, rekam jejak, dan integritas calon. Bukan rahasia lagi ketika akan mencalonkan diri untuk menduduki jabatan kepala daerah, dana yang keluar luar biasa besar. Inilah sebabnya terjadi "deal-deal" antara pengusaha dan penguasa. 

Kelima, kesadaran umum masyarakat terkait politik. Masyarakat masih menganggap politik itu kotor dan politik itu untuk meraih kekuasaan saja. Hal ini menjadikan literasi terhadap politik yang benar itu tidak tergambarkan.

Pandangan Islam terhadap  Dinasti Politik

Syeikh Taqiyuddin an Nabhani Rahimmullah mengatakan di dalam kitabnya Nizhamul Islam bahwa khilafah adalah bukan negara malakiah, monarkhi, atau kerajaan, bukan pula jumhuriah (republik). Jadi, khilafah adalah sistem yang khas. Yang diterapkan, dijaga, dan diemban adalah Syariat Islam, baik di dalam negeri ataupun luar negeri melalui dakwah dan jihad. Khilafah dipimpin oleh seorang Khalifah.

Pada masa khilafah, prinsip-prinsip yang ditegakkan oleh Islam untuk memilih seorang khalifah atau memilih seseorang yang diberikan amanah tetap dijaga. Namun, kuat dan lemahnya penjagaan  tergantung kepada keimanan dan ketakwaan khalifah itu kepada Allah. Juga tergantung kemampuannya untuk  menjalankan kepemimpinan. Prinsip ini tentu tidak berubah dan bahkan tidak ada yang bisa mengubahnya karena merupakan wahyu yang turun di dalam Al-Qur'an maupun as sunah. 

Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, di mana kelak di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin." (HR. Muslim). 

Pada hadis yang lain, Rasulullah bersabda, 

"Jika satu urusan kekuasaan itu diserahkan bukan pada ahlinya, maka itulah menyia-nyiakan amanah dan tunggulah kehancuran." (HR. Bukhari).

Khilafah adalah daulah basyariah. Artinya negaranya bersifat manusiawi. Praktiknya dijalankan oleh orang-orang yang tergantung ketakwaannya kepada Allah. 

Tidak ada jaminan mereka maksum atau terlepas dari dosa. Maka, bisa saja terjadi dinasti politik. Akan tetapi, tentu bukan menjadi ancaman bagi hukum syariat dan tidak akan menjadi satu kehancuran bagi rakyat manakala masyarakat di dalam sistem Islam itu tetap berpegang teguh kepada syariat. Kenapa? Sebab Islam memiliki ukuran yang baku dalam menetapkan kelayakan seseorang menjadi pemimpin. Ukuran itu bersumber dari Allah Swt.

Jika ini terkait kepemimpinan pada level negara, maka ada syarat-syarat in'iqad yang harus dipenuhi. Syarat in'iqad adalah syarat sahnya seseorang untuk menjadi seorang khalifah. Hanya Allah, Zat Yang Mahatahu bahwa syarat ini tidak akan menghalangi atau mendiskriminasi siapa pun, baik dari sisi latar belakang, suku, bangsa, atau keturunan.

Syarat iniqad ada tujuh, yaitu:

Pertama, orang yang menjadi pemimpin adalah orang yang muslim, yakni agamanya Islam. Ini berarti dia bukan orang kafir. 

Kedua, calon khalifah adalah orang yang baligh. Artinya, usia minimalnya adalah 15 tahun, tidak harus 40 tahun. 

Ketiga, adil. Artinya, khalifah bukan orang yang fasik. Seorang khalifah akan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak melanggar hukum-hukum Allah. Dirinya secara pribadi bukanlah orang yang banyak melakukan kemaksiatan.

Keempat, berakal. Artinya, seorang khalifah mampu memahami mana yang halal dan haram, mengetahui perbuatan yang baik dan buruk sesuai hukum syara'.

Kelima, merdeka. Artinya, orang tersebut tidak didikte atau dibelenggu oleh pihak lain untuk menjalankan amanat kekuasaannya. 

Keenam, laki-laki. Maknanya, pemimpin negara wajib laki-laki dan tidak boleh perempuan. 

Ketujuh, mampu. Salah satu prinsip dalam kepemimpinan Islam adalah bahwasanya seseorang tidak diberikan amanah kecuali karena dia memiliki kapabilitas atau mampu untuk menjalankan amanah itu. 

Adapun syarat afdhaliyah (yang utama) adalah bahwasanya khalifah merupakan seorang mujtahid, yakni memiliki kapasitas atau kemampuan untuk berijtihad atau melaksanakan istinbat (menggali) hukum syariat dalam posisi sebagai kepala negara. Syarat afdhaliyah yang lain adalah bahwasanya khalifah itu berasal dari kalangan Quraisy. 

Ketika seseorang sudah memenuhi syarat dan diangkat sebagai seorang pemimpin kemudian terjadi kezaliman, maka ada mahkamah mazalim yang akan berwewenang untuk mencermati dan memeriksa tindakan pemimpin, yakni khalifah. Mahkamah mazalimlah yang akan menetapkan apakah khalifah masih memiliki kelayakan yang melekat pada dirinya terkait dengan kapasitasnya untuk melaksanakan hukum-hukum syariat kaitannya atau tidak, apakah khalifah terbukti melakukan kemaksiatan atau tidak sehingga layak untuk dima"zulkan.
  
Mari kita lihat perbedaan yang sangat diametral antara sistem demokrasi yang berasas sekularisme dengan sistem Islam. Pemerintahan Islam sendiri tidak lain adalah perwujudan dari ketaatan dan implementasi dari hukum-hukum syara' (syariat) secara total. Melihat keburukan sistem demokrasi hari ini, seharusnya kita semakin yakin untuk mengambil dan menjalankan sistem Islam di seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam memilih pemimpin. Kita juga harus memastikan bahwa kepemimpinan tersebut adalah yang diridai oleh Allah dan menghasilkan keberkahan pada kehidupan masyarakat dan alam semesta.

Oleh: Muhammad Nur
Sahabat Tinta Media 
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :