Tinta Media - Tokoh pertama pembebas Palestina adalah Umar bin Khattab. Umar bin Khattab merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah Islam. Ia adalah khalifah kedua dalam sejarah Islam, sekaligus pahlawan perjuangan masyarakat Islam. Salah satu bentuk perjuangan dari Umar bin Khattab adalah misi pembebasan Palestina dan Yerusalem dari cengkeraman Romawi. Kala itu, Palestina berada dibawah tekanan bangsa Romawi selama ribuan tahun. Lantas, bagaimana kisah Umar bin Khattab dalam pembebasan Palestina dari Cengkeraman Romawi?
Kisah Umar bin Khattab dalam Membebaskan Palestina Sebelum Umar bin Khattab menjadi khalifah, Islam telah berkembang pesat di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dan khalifah pertama Abu Bakar. Namun, Islam masih menghadapi tantangan besar dari dua kekaisaran besar, yaitu Persia dan Bizantium. Kedua kekaisaran ini memiliki kekuatan militer dan politik yang sangat besar, serta memiliki pengaruh kuat di wilayah Timur Tengah, termasuk Palestina dan Yerusalem. Palestina dan Yerusalem adalah tanah suci bagi tiga agama samawi, yaitu Islam, Yahudi, dan Kristen.
Setelah Abu Bakar wafat pada tahun 634 M, Umar bin Khattab terpilih menjadi khalifah kedua Islam. Salah satu prioritas beliau adalah melanjutkan perjuangan melawan Bizantium, yang telah menyatakan permusuhan terhadap Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Sebuah kota penting yang menjadi target mereka adalah Yerusalem, yang merupakan ibu kota provinsi Palestina di bawah Bizantium. Kota ini dikenal dengan nama Aelia Capitolina oleh Bizantium, dan al-Quds oleh Muslim.
Pasukan Muslim mulai mengepung kota ini pada tahun 637 M. Pengepungan ini berlangsung selama beberapa bulan, dengan beberapa kali terjadi pertempuran sengit antara kedua belah pihak. Akhirnya, pada tahun 638 M, Bizantium menyerah dan bersedia menyerahkan kota itu kepada pasukan Muslim. Namun, ia menolak untuk menyerahkan kota itu kepada siapa pun selain Umar bin Khattab sendiri. Oleh karena itu, Umar bin Khattab meninggalkan Madinah dan melakukan perjalanan ke Yerusalem untuk menerima penyerahan kota itu secara langsung.
Ketika sampai di Yerusalem, Umar bin Khattab disambut dengan hormat oleh pasukan Bizantium. Umar bin Khattab kemudian membuat sebuah perjanjian yang dinamakan dengan 'Perjanjian Umar'. Perjanjian ini mengatur hak-hak dan kewajiban penduduk kota, baik Muslim maupun non-Muslim. Perjanjian ini menjamin kebebasan beragama, perlindungan terhadap gereja-gereja dan salib-salib, serta kewajiban membayar pajak. Ketika Umar bin Khattab membebaskan Yerusalem dari Bizantium, beliau juga memberikan hak kepada umat Yahudi untuk kembali ke kota itu dan beribadah di Tembok Ratapan. Hal ini merupakan sebuah pengakuan dan penghormatan terhadap umat Yahudi sebagai saudara seiman dari umat Islam. Banyak umat Yahudi yang bersyukur dan mengagumi sikap Umar bin Khattab.
Tokoh kedua pembebas Palestina adalah Sholahudin Al Ayyubi, Kemenangan Muslimin dalam Perang Hattin pada Juli 1187 mengawali pembebasan Baitul Maqdis. Usai pertempuran tersebut, Sultan Shalahuddin al-Ayyubi menawan ratusan prajurit Salib. Pimpinan mereka, Raja Latin Yerusalem Guy Lusignan dan Pangeran Antiokhia Raynald Chatillon, juga ikut ditangkap.
Ada sekitar 200 orang yang dieksekusi. Termasuk di antaranya adalah para Kesatria Templar. Merekalah yang sebelumnya menyarankan Raja Guy untuk menyongsong pasukan Muslimin di luar, alih-alih dalam benteng Yerusalem. Imbas dari strategi itu, balatentara Salib justru mengalami kelelahan dan kemerosotan semangat tempur akibat jauhnya perjalanan dari kota tersebut ke Lembah Hattin. Apalagi, pasukan Kristen-Barat ini tidak membawa perbekalan logistik yang memadai.
Sultan Shalahuddin menginstruksikan agar para tawanan yang tidak dijatuhi hukuman mati dibawa ke pusat pemerintahan Daulah Ayyubiyah, Damaskus. Ia juga menetapkan sejumlah bayaran sebagai uang tebusan mereka. Maka yang kemudian di Lembah Hattin adalah si raja Yerusalem dan sahabatnya itu. Dengan tegas, Shalahuddin memancung kepala Raynald Chatillon. Bangsawan Frank itu divonis mati karena berbagai kejahatan yang telah dilakukannya terhadap Muslimin. Melihat mayat sahabatnya, Guy berlutut ketakutan.
Tokoh ketiga pembela Palestina adalah Sultan Hamid dua. Sejak zaman Kesultanan Turki Utsmani, bangsa Israel sudah berusaha tinggal di tanah Palestina. Kaum zionis itu menggunakan segala macam cara, intrik, maupun kekuatan uang dan politiknya untuk merebut tanah Palestina.
Di masa Sultan Abdul Hamid II, niat jahat kaum Yahudi itu begitu terasa. Kala itu, Palestina masih menjadi wilayah kekhalifahan Turki Utsmani. Sebagaimana dikisahkan dalam buku Catatan Harian Sultan Abdul Hamid II karya Muhammad Harb, berbagai langkah dan strategi dilancarkan oleh kaum Yahudi untuk menembus dinding Kesultanan Turki Utsmani, agar mereka dapat memasuki Palestina.
Pertama, pada 1892, sekelompok Yahudi Rusia mengajukan permohonan kepada Sultan Abdul Hamid II, untuk mendapatkan izin tinggal di Palestina. Permohonan itu dijawab Sultan dengan ucapan ''Pemerintan Utsmaniyyah memberitahukan kepada segenap kaum Yahudi yang ingin hijrah ke Turki, bahwa mereka tidak akan diizinkan menetap di Palestina''. Mendengar jawaban seperti itu kaum Yahudi terpukul berat, sehingga duta besar Amerika turut campur tangan.
Kedua, Theodor Hertzl, Bapak Yahudi Dunia sekaligus penggagas berdirinya Negara Yahudi, pada 1896 memberanikan diri menemui Sultan Abdul Hamid II sambil meminta izin mendirikan gedung di al-Quds. Permohonan itu dijawab sultan, ''Sesungguhnya Daulah Utsmani ini adalah milik rakyatnya. Mereka tidak akan menyetujui permintaan itu. Sebab itu simpanlah kekayaan kalian itu dalam kantong kalian sendiri''.
Melihat keteguhan Sultan, mereka kemudian membuat strategi ketiga, yaitu melakukan konferensi Basel di Swiss, pada 29-31 Agustus 1897 dalam rangka merumuskan strategi baru menghancurkan Khilafah Utsmaniyyah. Karena gencarnya aktivitas Zionis Yahudi akhirnya pada 1900 Sultan Abdul Hamid II mengeluarkan keputusan pelarangan atas rombongan peziarah Yahudi di Palestina untuk tinggal di sana lebih dari tiga bulan, dan paspor Yahudi harus diserahkan kepada petugas khilafah terkait. Dan pada 1901 Sultan mengeluarkan keputusan mengharamkan penjualan tanah kepada Yahudi di Palestina.
Pada 1902, Hertzl untuk kesekian kalinya menghadap Sultan Abdul Hamid II. Kedatangan Hertzl kali ini untuk menyogok sang penguasa kekhalifahan Islam tersebut. Di antara sogokan yang disodorkan Hertzl adalah: uang sebesar 150 juta poundsterling khusus untuk Sultan; Membayar semua hutang pemerintah Utsmaniyyah yang mencapai 33 juta poundsterling; Membangun kapal induk untuk pemerintah dengan biaya 120 juta frank; Memberi pinjaman 5 juta poundsterling tanpa bunga; dan Membangun Universitas Utsmaniyyah di Palestina.
Pada 1902, Hertzl untuk kesekian kalinya menghadap Sultan Abdul Hamid II. Kedatangan Hertzl kali ini untuk menyogok sang penguasa kekhalifahan Islam tersebut. Di antara sogokan yang disodorkan Hertzl adalah: uang sebesar 150 juta poundsterling khusus untuk Sultan; Membayar semua hutang pemerintah Utsmaniyyah yang mencapai 33 juta poundsterling; Membangun kapal induk untuk pemerintah dengan biaya 120 juta frank; Memberi pinjaman 5 juta poundsterling tanpa bunga; dan Membangun Universitas Utsmaniyyah di Palestina.
Namu, kesemuanya ditolak Sultan. Sultan tetap teguh dengan pendiriannya untuk melindungi tanah Palestina dari kaum Yahudi. Bahkan Sultan tidak mau menemui Hertzl, diwakilkan kepada Tahsin Basya, perdana menterinya, sambil mengirim pesan, ''Nasihati Mr Hertzl agar jangan meneruskan rencananya. Aku tidak akan melepaskan walaupun sejengkal tanah ini (Palestina), karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam. Umat Islam telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka.''
Sultan juga mengatakan, ''Yahudi silakan menyimpan harta mereka. Jika suatu saat kekhilafahan Turki Utsmani runtuh, kemungkinan besar mereka akan bisa mengambil Palestina tanpa membayar harganya. Akan tetapi, sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat Tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup.''
Sejak saat itu kaum Yahudi dengan gerakan Zionismenya melancarkan gerakan untuk menumbangkan Sultan. Dengan menggunakan jargon-jargon "liberation", "freedom", dan sebagainya, mereka menyebut pemerintahan Abdul Hamid II sebagai "Hamidian Absolutism", dan sebagainya.
''Sesungguhnya aku tahu, bahwa nasibku semakin terancam. Aku dapat saja hijrah ke Eropa untuk menyelamatkan diri. Tetapi untuk apa? Aku adalah Khalifah yang bertanggungjawab atas umat ini. Tempatku adalah di sini. Di Istanbul!'' Tulis Sultan Abdul Hamid II dalam catatan hariannya. (sumber : Republika)
Begitulah gambaran ketika masih ada institusi khilafah yang dipimpin seorang khalifah, maka mereka akan mati-matian membela Palestina, tanah suci pertama umat Islam sedunia. Pembelaan atas palestina seorang khalifah adalah karena ikatan aqidah dan konsekuensi keimanan kepada Allah. Maka, jika khilafah masih ada, jangankan untuk menjajah palestina, sekedar untuk menginjakkan kakinya di bumi palestina, entitas yahudi tidak akan pernah bisa. Namun ketika khilafah telah tiada, maka Palestina tak lagi memiliki pelindung, akhirnya terjadilah apa yang kini tengah terjadi, dimana palestina dijajah dan dizolimi entitas yahudi, sementara negeri-negeri muslim diam membisu karena tak memiliki kekuatan untuk membantunya. Semestinya negeri-negeri muslim mengirimkan tentara terbaiknya untuk melumat entitas yahudi serta mengusir dari bumi Palestina.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 12/11/23 : 12.30 WIB)
Oleh: Dr. Ahmad Sastra
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa