Islam Memberikan Keadilan dalam Penegakan Hukum - Tinta Media

Jumat, 10 November 2023

Islam Memberikan Keadilan dalam Penegakan Hukum



Tinta Media - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri akan menjalani pemeriksaan di Bareskrim Polri terkait kasus dugaan pemerasan yang melibatkan eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, (BBC news Indonesia. Selasa, 24/10)

Kabar itu membuat masyarakat terkejut. Sebenarnya, kasus tersebut mengingatkan kita pada banyak kasus lain yang telah menjadikan hukum tidak ditegakkan secara adil di negeri ini, sehingga berpihak pada yang kuat dan memiliki kekuasaan, serta memiliki modal besar.

Pemerasan dalam penanganan kasus hukum di Indonesia bukan perkara yang aneh lagi alias sudah biasa karena hukum bisa dibeli dan dinegosiasi agar berpihak kepada yang 'membayar'.

Harusnya, pihak kepolisian segera mengusut tuntas setiap perkara, jika memang benar memiliki semangat untuk memberantas korupsi. Pihak komisi pemberantasan korupsi (KPK) juga harus terbuka dan memberi contoh pada rakyat kalau lembaga mereka memang siap memberantas korupsi, terutama di internal KPK.

Ketua KPK Firli sudah beberapa kali tersandung kasus pelanggaran etika, termasuk disewakan rumah ratusan juta rupiah oleh bos Alexis, tetapi selalu lolos. Ini mengherankan. Artinya, KPK sudah tidak bersih lagi, bahkan citranya makin kotor karena melindungi pemimpin yang bermasalah.

*Cicak vs Buaya*

Sebenarnya kasus dugaan pemerasan oleh ketua KPK, yaitu cicak vs buaya jilid kesekian ini tetap berlanjut. Kasus inj mempertontonkan kepada masyarakat betapa buruknya kinerja lembaga antiraswah (KPK) di satu sisi dan bentuk lemahnya supremasi hukum dari aparat kepolisian di sisi lain jika tidak diusut tuntas.

Mestinya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden mendukung penegakan hukum, tidak diam saja, apalagi berlepas tangan. Seperti pada saat terjadi konflik antara KPK dan Polri, Presiden Jokowi terkesan berlepas tangan.

Kasus dugaan pemerasan ini terjadi karena sering kali pengangkatan pejabat di satu lembaga berkaitan dengan kepentingan politik penguasa atau parpol. Akhirnya, bukan lagi menjadi persoalan hukum, tetapi terjadi benturan kepentingan politik. Inilah demokrasi.
 
Hal tersebut berdampak hilangnya kepercayaan pada kedua lembaga tersebut. Jika hal tersebut terus terjadi, tentu masyarakat akan mencari keadilan dengan jalannya sendiri. Inilah yang menyebabkan masyarakat terkadang lebih suka main hakim sendiri atau bahkan tidak peduli lagi dengan hukum di Indonesia. 

Kasus-kasus seperti ini juga menunjukkan bahwasanya hukum mudah dibeli dengan uang. Hukum akan mudah dipermainkan oleh siapa saja yang memiliki kuasa. Aparat menjelma menjadi sosok 'preman' yang bisa mengatur hasil akhir sebuah keputusan sesuai kehendak dan kemauannya atau sesuai jumlah nominal yang bisa diberikan pada dirinya.

Inilah produk hukum sekuler warisan Barat, hukum warisan penjajah Belanda yang mudah dikompromikan dengan berbagai kepentingan, bahkan untuk memuluskan keserakahan seseorang. 

Tindakan blunder seperti yang ditunjukkan oleh ketua KPK Firli Bahuri (jika terbukti benar) telah mempertegas anggapan bahwasanya hukum lebih tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Artinya, hukum lebih tajam ke pihak yang lemah dana. Akhirnya, terjadilah pemerasan seperti yang dituduhkan Syahrul Yasin Limpo ke Firli.

Ketika korupsi dilakukan dengan nominal miliran bahkan triliunan rupiah, tentu _impact_nya akan sangat besar bagi masyarakat. Kerugian negara hakikatnya adalah kerugian masyarakat karena uang yang dikorupsi adalah uang rakyat yang notabene dipalak dari pajak.

Hal penting yang harus disadari dan dipahami oleh semua pihak, yaitu:

Pertama, bahwa perbuatan korupsi adalah haram. Perbuatan haram akan mendatangkan dosa, dan setiap dosa akan menghasilkan mafsadat (kerusakan). Kerusakan seperti apa yang terjadi, tergantung seberapa besar korupsi itu dilakukan.

Kedua, hukum yang lemah hanya akan memperpanjang usia korupsi dan koruptor sebagai pelakunya. Kita ingat bagaimana politisi Akbar Tanjung lolos dari tuduhan korupsi 40 Miliar yang menjeratnya. Ia dibebaskan, sementara seorang nenek yang mencuri 3 biji kakao karena lapar dihukum 4 bulan. 

Di mana letak keadilannya? Jikapun ada koruptor yang sampai dihukum, tetapi hukuman tersebut secara nyata tidak membawa efek jera bagi pelakunya karena sangat ringan. Di sinilah sebenarnya kesempatan Islam untuk tampil sebagai solusi dan menjadi satu-satunya sistem yang akan membawa masyarakat pada keadilan yang hakiki.

Hukum yang adil, tegas, lugas, dan tidak kompromi serta membawa efek jera bagi pelakunya akan menghentikan tindakan korupsi. Alih-alih berbuat korupsi, untuk merencanakan atau meniatkannya saja sudah takut dan tidak berani karena begitu tegasnya hukuman bagi koruptor.

Negeri ini harus dibangun di atas dasar keimanan dan ketakwaan yang benar, sehingga semua elemen mempunyai rasa takut berbuat dosa dan melanggar hukum. Selanjutnya, pemimpin harus diangkat karena memiliki kapabilitas dan bersikap amanah, bukan karena kedekatan atau kepentingan politik. Mereka diberi fasilitas yang layak agar tidak berpikir untuk korupsi.

Dalam Islam, sebagaimana disebutkan oleh Abdurrahman Al Maliki dalam kitab Nidzamul Uqubat fil Islam, korupsi atau _ikhtilas_ adalah perbuatan yang terkategori jarimah (kriminal) yang pelakunya akan dikenai ta'zir, bisa hukuman mati sampai penjara puluhan tahun. 

Hukuman tegas ini tentu saja harus diimbangi dengan tegaknya sub sistem lainnya yang saling menopang di masyarakat, yakni sistem pendidikan Islam dan ekonomi Islam, yang semuanya berada dalam institusi Khilafah Islamiyah sebagi payungnya.

Oleh: Agus Suryana, M. Pd.
Direktur Lingkar Studi Islam Strategis
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :