Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana menyebut, setidaknya ada 5 faktor penyebab Indonesia akan menjadi negara importir beras.
“Pertama, pertanian banyak beralih fungsi menjadi kawasan industri, perdagangan, perumahan, jalan tol, dan sejumlah infrastruktur lainnya. Alhasil lahan pertanian kian menyusut dan mengakibatkan produksi pertanian kian menurun,” tuturnya dalam video: Pak Jokowi, Beras Mahal – Rakyat Miskin Tetap Beli, melalui kanal Youtube Justice Monitor, Rabu (15/11/2023).
Kedua, sebutnya, kerdilnya peran negara dalam merawat, menjaga, dan menyejahterakan petani. Untuk menghasilkan produksi beras berkualitas, terangnya, para petani membutuhkan bibit, pupuk, pengairan, saprotan (sarana produksi tanaman) yang memadai.
“Semua ini membutuhkan sumber daya dan biaya yang tidak sedikit. Sayangnya negara mengabaikan peran tersebut. Banyak petani gigit jari setelah panen karena terjadinya harga gabah yang sangat murah sementara biaya produksi beras yang tinggi tidak seimbang dengan hasil penjualan gabah. Pada akhirnya banyak petani menjual sawahnya karena tidak kuat menahan kerugian ketika panen raya,” ulasnya.
Agung mengatakan, masalah ini jelas membutuhkan negara dalam memenuhi kebutuhan petani agar bergeliat kembali. Negara bisa memberi subsidi, pemberian, atau pembelian alat-alat produksi pertani dengan harga murah dan terjangkau.
“Ketiga, ketidakseriusan negara memberantas mafia pangan. Jika dulu modus mafia pangan mengoplos beras bulog, kini mengganti karung beras dengan merek lokal premium,” ujarnya.
Ia mengutip pernyataan Direktur utama Bulog Budi Waseso bahwa mafia beras ini terus beroperasi meski satgas pangan telah melakukan pengawasan.
“Pertanyaannya, mengapa pengawasan dilakukan tapi tidak berjalan efektif? Perangkat hukum tampak mandul dan belum mampu memberantas mafia beras,” sesalnya.
Keempat, ucapnya, belum ada upaya terstruktur, terukur dalam melakukan mitigasi krisis pangan. Sejauh ini pemerintah hanya mengandalkan impor beras untuk memenuhi stok pangan di dalam negeri seakan tidak mau ruwet dan ribet untuk mengurusi pertanian. Solusi impor selalu jadi jurus jitu.
“Kelima, dari keempat poin di atas masalah pokok pangan sejatinya bermula dari penerapan sistem kapitalisme liberal, sistem yang membuat negeri ini harus tunduk dan terikat pada liberalisasi pasar dan perdagangan bebas,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun