Hukum Memisahkan Pelanggan Pria dan Wanita di Kafe - Tinta Media

Minggu, 12 November 2023

Hukum Memisahkan Pelanggan Pria dan Wanita di Kafe

Tinta Media - Tanya: Ustaz, saya punya usaha kuliner yaitu kafe. Apakah harus ada pemisahan antara tamu laki-laki dan wanita di kafe saya? Apakah selaku pemilik kafe saya berdosa jika membiarkan pelanggan saya berikhtilat (campur baur antara pria dan wanita)? (Firli, Sleman)

Jawab: 

Wajib hukumnya pemisahan (infishal) pelanggan pria dan wanita di sebuah kafe. Kewajiban pemisahan pelanggan pria dan wanita ini didasarkan pada hukum syariah yang berlaku umum yang mewajibkan pemisahan pria dan wanita, baik dalam kehidupan khusus (al hayaat al ‘aamah) seperti di rumah, kos-kosan, dsb; maupun dalam kehidupan umum (al hayaat al khaashah) seperti di kafe, jalan raya, kendaraan umum, dsb.

Hukum umum ini berlaku untuk segala macam kegiatan dan tempat, seperti menghadiri pengajian di sebuah masjid atau gedung, melakukan kegiatan aksi damai (masirah), sholat berjamaah di masjid, belajar di sekolah, berolahraga di lapangan, rapat di kantor, rapat perusahaan, dan sebagainya. Termasuk makan di sebuah kafe atau warung makan. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 36).

Kewajiban pemisahan pria dan wanita tersebut didasarkan pada sejumlah dalil syariah, di antaranya: 

Pertama, Rasulullah ï·º telah memisahkan jamaah pria dan jamaah wanita di masjid ketika shalat jamaah, yaitu shaf-shaf pria berada di depan, sedangkan shaf-shaf wanita berada di belakang shaf-shaf pria. (HR Bukhari no 373, dari Anas bin Malik); 

Kedua, Rasulullah ï·º memerintahkan para wanita untuk keluar masjid lebih dulu setelah selesai shalat di masjid, baru kemudian para pria. (HR Bukhari no 828, dari Ummu Salamah); 

Ketiga, Rasulullah ï·º telah memberikan jadwal kajian Islam yang berbeda antara jamaah pria dengan jamaah wanita (dilaksanakan pada hari yang berbeda). (HR Bukhari no 101, dari Abu Said Al Khudri). (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 36).

Berdasarkan dalil-dalil ini, disimpulkan sebuah hukum umum, yaitu dalam kehidupan Islam terdapat kewajiban memisahkan jamaah pria dengan jamaah wanita. Dan pemisahan ini berlaku secara umum, yaitu tidak ada perbedaan antara kehidupan umum (al hayaat al ‘aamah) seperti di di kafe, jalan raya, kendaraan umum, dengan kehidupan khusus (al hayaat al khaashah) di rumah, kos-kosan, dan apartemen. 

Maka dari itu, keumuman hukum ini berlaku pula pada kasus makan di sebuah kafe sehingga di sebuah kafe wajib ada pemisahan antara pelanggan pria dan wanita. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 36).

Dikecualikan dari hukum tersebut, yaitu jika pria dan wanita yang makan di kafe tersebut adalah suami istri, atau mempunyai hubungan mahram, seperti seorang anak laki-laki dengan ibunya. Dalam kondisi seperti ini, boleh hukumnya pria dan wanita tersebut makan bersama di satu meja tanpa ada pemisahan.

Jadi, kafe syariah sudah seharusnya tidak hanya sesuai syariah dalam hal makanan atau minumannya, tapi juga harus sesuai syariah dalam pengaturan tempat duduk para pelanggannya. 

Di sebuah kafe dapat diatur ada dua ruangan. Pertama, ruangan untuk pelanggan umum, yaitu pelanggan pria dan wanitanya yang bukan mahram, mereka menempati meja dan kursi yang terpisah.

Kedua, ruangan untuk pelanggan keluarga, yaitu untuk pelanggan pria dan wanita yang mempunyai hubungan mahram. Mereka boleh makan satu meja.

Pemilik kafe turut berdosa jika membiarkan pelanggannya berikhtilat (campur baur), karena membiarkan terjadinya dosa atau kemungkaran di hadapannya padahal dia mampu untuk menghilangkan kemungkaran itu dan mengatur kafenya agar sesuai syariah. Wallahualam Bissawab

Oleh: KH. M Shiddiq Al Jawi
Pakar Fikih Kontemporer 
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :