Tinta Media - Masyarakat dibuat heboh dengan kehadiran putra presiden Gibran Rakabuming Raka yang saat ini masih menjadi walikota Solo, secara mulus mencalonkan diri menjadi cawapres Prabowo pada kontestasi pilpres 2024 mendatang. Bagaimana tidak, langkah Gibran ini ditunjang oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diketuai oleh pamannya Anwar Ustman, yang mensahkan atau membolehkan batas usia capres dan cawapres di bawah 40 tahun asalkan punya pengalaman menjadi kepala daerah.
Dengan polemik seperti ini, baik dari kalangan akademisi, intelektual bahkan sampai rakyat pun ikut berkomentar. Putusan MK tersebut mengindikasi memudahkan langkah Gibran untuk maju menjadi cawapres. Tak heran rakyat pun membuat plesetan singkatan dari MK menjadi Mahkamah Keluarga.
Memang terkesan candaan sih, namun para pengamat menilai candaan yang dibuat oleh rakyat tersebut adalah seakan-akan sebuah protes dan juga sebuah ekspresi, yang dimana yang dilihat oleh rakyat itu bukanlah keputusan hasil amanah dari yang mulia ketua MK, melainkan keputusan untuk memudahkan atau memuluskan keponakannya.
Memang boleh sih, kehadirannya sebagai anak presiden dan juga dianggap sebagai perwakilan generasi milineal, namun yang harus digarisbawahi adalah bahwa problem utama dari dinasti politik ini adalah tidak dibangun berdasarkan kompetensi dan kemampuan individu, kebanyakan dibangunnya berdasarkan citra orang tua atau bermodalkan nama pendahulunya.
Meskipun bukan sebuah larangan, namun adanya dinasti politik bisa menjadi celah terjadinya kasus korupsi dan penyalah gunaan kekuasaan. Sebenarnya banyak kasus-kasus dinasti politik di Indonesia ini yang akhirnya tercoreng akibat kasus korupsi, sebut saja dinasti politik Ratu Atut banten, Yasin Limpo, hingga kasusnya Asrun di Kendari dan masih banyak lagi.
Karena didukung oleh posisi strategis di pemerintahan yang sudah lama diduduki keluarga, dan relasi kuat dengan partai politik mengakibatkan mudahnya orang tersebut untuk mendapatkan dukungan dan kendaraan politik dalam pencalonan diri masuk keranah politik pragmatis.
Ditambah strategis politik dengan mengandalkan sumber dana kampanye yang begitu besar serta dukungan dari para tokoh-tokoh politik juga menjadi alasan mengapa dinasti politik yang ada begitu kuat dan sulit dikalahkan.
Di dalam Islam memang tidak melarang adanya praktik dinasti politik, namun yang harus digaris bawahi adalah terkait kualifikasi, baik ditingkat administrasi pemerintahan bahkan sampai kepemimpinan, yang dimana kualifikasinya ini ketat dan tak jarang para sahabat itu enggan untuk menerimanya atau bahkan memintanya, karena tangung jawabnya kelak dihadapan Allah sungguh luarbiasa beratnya.
Saking beratnya memang amanah untuk mengurusi umat, tampuk kepemimpinan itu tidak ada yang berani memperebutkan apalagi mencalonkan diri secara langsung. Contoh nyata dimasa Umar Bin Khattab yang dimana ketika mau meninggal dan ada salah seorang sahabat menunjuk anaknya untuk meneruskan kepemimpinan sang ayah, Umar lantas memarahi sahabat tersebut dengan perkataan yang tegas yang intinya Umar tidak ingin beban kepemimpinan ini dipikulnya di akhirat karena meridhoi anaknya sebagai pengganti.
Memang kalau kita berbicara kekuasaan, itu sangat dekat dengan yang namanya adalah godaan harta, materi, atau duniawi lainnya. Jadi memang kekuasaan itu sering kali mendekatkan orang kepada kerakusan, karena memang Pragmatismenya sistem demokrasi seperti itu. Menyimpan potensi besar terkait bagi-bagi kekuasaan dinasti politik ini dengan hadirnya tindakan-tindakan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) dan itu sangat mungkin terjadi.
Memang untuk mencegah dinasti politik ini tidaklah mudah, terlebih hukum yang idealnya harus menjadi panglimanya, yang dirumuskan berdasarkan untuk kepentingan bangsa, namun sekarang yang terjadi adalah hukum bisa dipermainkan sesuai kepentingan segelintir orang. Miris, salah satu cara yang akurat ganti sistem hukumnya.
Oleh: Setiyawan Dwi
Sahabat Tinta Media