Tinta Media - Persoalan boikot sebenarnya sudah sering terjadi. Hal itu dilakukan untuk merespon aksi pelecehan atau islamofobia di berbagai negara ataupun dalam negeri. Di satu sisi, ini menjadi bukti bahwa umat Islam mempunyai keterikatan dengan aturan agamanya. Ditambah dengan fatwa MUI yang serasa angin segar yang mendukung aksi ini.
Sebagaimana pernyataan Sekretaris Komisi Fatwa MUI Miftahul Huda bahwa suatu produk itu tetap halal selama masih memenuhi kriteria kehalalan. Akan tetapi. yang diharamkan itu aktivitasnya, perbuatannya. (Detik News, 11/11/23)
Terkait dengan boikot, terjadi pro dan kontra di kalangan masyarakat. Hal ini wajar karena produk-produk yang dominan digunakan di negeri ini adalah buatan negeri seberang, meski tak diakui legalitasnya. Akhirnya jadi serba salah, mau memboikot, tetapi kita tetap butuh produknya, meski sudah ada klarifikasi terkait fatwa MUI mengenai haram beli produk Yahudi.
Boikot Apakah Solusi?
Ibarat semut yang membawa setetes air untuk memadamkan kobaran api yang membakar diri nabi Ibrahim a.s, seperti itulah yang dilakukan kaum muslimin dari boikot terhadap produk-produk Yahudi. Namun sepanjang perjalanan boikot, yang terlihat hanya euforianya di awal-awal saja. Setelah itu, seakan ditelan bumi, hilang dengan sendirinya.
Sesungguhnya, yang membatasi kita dengan Palestina adalah sekat nasionalisme. Karena nasionalisme inilah kita tak bisa berkontribusi besar menolong saudara kita yang sudah terjajah selama 75 tahun lamanya. Tak terhitung, berapa banyak nyawa yang menjadi korban kebiadaban zionis.
Lihatlah penguasa negeri-negeri muslim, mereka hanya bisa mengutuk. Padahal dari sisi militer, Zionis bisa saja dikalahkan. Mereka mau menolong, tetapi terikat perjanjian global dengan PBB. Hilanglah sudah kedaulatan negeri mereka. Jelas saja, hal ini karena AS selalu ikut campur dengan urusan kaum muslimin.
Utang luar negeri juga tak kalah mencengangkan. Akibatnya, penguasa muslim enggan, bahkan takut mengirimkan pasukan menolong saudara muslim di negeri mana pun.
Harusnya, yang melakukan boikot terhadap produk-produk Yahudi dan negara pendukungnya bukan hanya tataran individu atau masyarakat saja. Boikot akan lebih efektif jika dilakukan oleh negara dengan menghentikan impor produk yang masuk ke negeri-negeri kaum muslimin. Itu pun masih belum cukup, karena sekadar boikot tidak akan mampu mengusir para Zionis dari tanah Palestina. Harusnya, senjata dilawan dengan senjata
Ini semua karena denganekat nasionalisme sudah mengakar di benak kaum muslimin sejak masa penjajahan dan hilangnya perisai umat Islam.
Belum lagi penguasa-penguasa boneka yang haus kekuasaan semakin menambah derita umat.
Solusi Hakiki islam
Palestina adalah tanah kharijiyah sejak masa Umar bin Khattab, dan status tanah kharijiyah tak akan pernah berubah hingga hari kiamat.
Maka, Palestina tidaklah mungkin bisa dibebaskan, kecuali dengan jihad. Kita melihat kebiadaban Zionis yang tak memandang bulu dan melihat Palestina layaknya binatang. Sungguh, orang-orang ini tak bisa lagi menggunakan bahasa kemanusiaan. Karena itu, solusi dua negara yang diopinikan hanya bersifat pragmatis karena membiarkan Palestina tetap terjajah dalam sistem kapitalisme.
Saat ini, kaum muslimin belum bersatu. Sekat-sekat nasionalisme dan pemikiran kapitalisme masih bercokol. Karena itu, harus segera dicabut hingga ke akar-akarnya kemudian diganti dengan sistem Islam. Mengapa? Agar kaum muslimin bisa bersatu dalam satu komando, satu bendera, satu negara, yaitu khilafah 'ala minhaj nubuwwah. Inilah satu-satunya solusi terhadap seluruh persoalan umat manusia secara global.
Sepanjang sejarah perjalanan sistem kapitalisme, tak ada celah perubahan hakiki, justru moral manusia semakin rusak. Islam pun membuktikan, selama khilafah memimpin peradaban, kedamaian danpersatuan bisa terjadi. Tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam. Sedangkan hari ini, hilangnya nyawa layaknya membunuh nyamuk.
Maka, umat Islam wajib bersatu dalam naungan khilafah islamiyah yang akan menjaga dari penjajahan orang kafir dan menghilangkan segala kemaksiatan. Wallahu 'alam bissawab.
Oleh: Nurjannah
Sahabat Tinta Media