Tinta Media - Sobat. Mengetahui hukum syara’ yang diperlukan seorang muslim dalam mengatur kehidupannya adalah fardhu ‘ain. Sebab setiap muslim diperintahkan untuk melakukan berbagai aktivitasnya sesuai dengan ketentuan hukum syara’. Imam Al-Ghazali menyebutkan ada tiga macam ilmu yang wajib dipelajari : Ilmu tauhid (Aqidah), Ilmu tasawwuf ( Ilmu tentang perbuatan-perbuatan hati), Ilmu syariat.
Sobat. Batasan minimal yang wajib dipelajari dalam ilmu tauhid adalah sebatas engkau mengetahui pokok-pokok keimanan dalam beragama Islam. Engkau harus mengetahui bahwa engkau punya Tuhan yang Maha Mengetahui, Mahakuasa, Mahahidup, dengan 99 nama Asmaúl husna dan memiliki sifat-sifat yang sempurna. Wajib diketahui selanjutnya, Muhammad SAW adalah hamba dan utusan Allah SWT. Dia manusia terpercaya yang membawa wahyu yang diturunkan Allah kepadanya dan keterangan-keterangan yang keluar dari lisannya tentang akhirat.
Sobat. Batas minimal yang wajib dipelajari dalam ilmu tasawuf adalah mengetahui semua yang wajib dilakukan oleh hati dan semua yang terlarang baginya. Tujuannya adalah agar kau mampu mengagungkan Allah SWT, bersikap ikhlas kepada-Nya, tulus dalam berniat, dan selalu beramal dengan baik.
Sobat. Batasan minimal yang wajib dipelajari dalam ilmu syariát adalah setiap perkara yang wajib untuk dikerjakan maka wajib pula hukumnya mengetahui tata cara pelaksanaannya.
Allah SWT berfirman :
وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٖ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلٗا مُّبِينٗا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” ( QS. Al-Ahzab (33) : 36 )
Sobat. Pada ayat ini, Allah menjelaskan bahwa tidak patut bagi orang-orang yang beriman baik laki-laki maupun perempuan, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan ketentuan, mereka memilih ketentuan lain yang bertentangan dengan ketetapan keduanya. Menentukan pilihan sendiri yang tidak sesuai dengan ketentuan dari Allah dan rasul-Nya berarti mendurhakai perintah keduanya, dan tersesat dari jalan yang benar. Hal seperti itu diancam pula oleh Allah dengan firman-Nya:
لَّا تَجۡعَلُواْ دُعَآءَ ٱلرَّسُولِ بَيۡنَكُمۡ كَدُعَآءِ بَعۡضِكُم بَعۡضٗاۚ قَدۡ يَعۡلَمُ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنكُمۡ لِوَاذٗاۚ فَلۡيَحۡذَرِ ٱلَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنۡ أَمۡرِهِۦٓ أَن تُصِيبَهُمۡ فِتۡنَةٌ أَوۡ يُصِيبَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” ( QS. An-Nur (24) : 63 )
Sobat. Diriwayatkan oleh Abu Daud bahwa ada di antara orang-orang munafik yang merasa tidak senang mendengarkan khutbah. Apalagi dilihatnya ada seorang muslim meminta izin keluar dan diberi izin oleh Rasulullah, dia pun ikut saja keluar bersama orang yang telah mendapat izin itu dengan berlindung kepadanya. Maka turunlah ayat ini.
Kemudian sebagai penghormatan kepada Rasulullah, seorang muslim dilarang oleh Allah memanggil Rasulullah dengan menyebut namanya saja seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang Arab antara sesama mereka. Maka tidak boleh seorang muslim memanggilnya "hai Muhammad " atau "hai ayah si Qasim." Dan sebagai adab dan sopan santun kepada Rasulullah hendaklah beliau dipanggil sesuai dengan jabatan yang dikaruniakan Allah kepadanya yaitu Rasul Allah atau Nabi Allah.
Kemudian Allah mengancam orang-orang yang keluar dari suatu pertemuan bersama Nabi dengan cara sembunyi-sembunyi karena takut akan dilihat orang. Perbuatan semacam ini walaupun tidak diketahui oleh Nabi, tetapi Allah mengetahuinya dan mengetahui sebab-sebab yang mendorong mereka meninggalkan pertemuan itu.
Allah memberi peringatan kepada orang-orang semacam itu yang suka melanggar perintah, bahwa mereka akan mendapat musibah atau siksa yang pedih. Meskipun di dunia mereka tidak ditimpa musibah apapun tetapi di akhirat mereka akan masuk neraka dan itulah seburuk-buruknya kesudahan.
Sobat. Semua amal kelak akan dihisab. Sehingga seorang muslim diperintah dengan bentuk yang tegas agar selalu terikat dengan hukum syara’ ( Islam ) saat mengerjakan semua perbuatannya.
يَوۡمَ تَجِدُ كُلُّ نَفۡسٖ مَّا عَمِلَتۡ مِنۡ خَيۡرٖ مُّحۡضَرٗا وَمَا عَمِلَتۡ مِن سُوٓءٖ تَوَدُّ لَوۡ أَنَّ بَيۡنَهَا وَبَيۡنَهُۥٓ أَمَدَۢا بَعِيدٗاۗ وَيُحَذِّرُكُمُ ٱللَّهُ نَفۡسَهُۥۗ وَٱللَّهُ رَءُوفُۢ بِٱلۡعِبَادِ
“Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (di mukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya. Dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.” ( QS. Ali Imran (3) : 30)
Sobat. Pada ayat ini Allah memperingatkan hari yang pasti datangnya, tiap manusia akan menyaksikan sendiri segala perbuatannya selama masa hidupnya. Orang yang mendapatkan pahala amal kebajikannya, merasa senang dan gembira atas pahala yang diterimanya. Orang akan menyaksikan pula kejahatan-kejahatannya, dan menginginkan kejahatan itu dijauhkan daripadanya.
Kemudian Allah mengulangi lagi ancaman-Nya dengan memperingatkan manusia terhadap siksa-Nya, yakni hendaklah manusia takut akan kemurkaan Allah, dengan cara mengerjakan kebajikan, menolak tipu muslihat setan dan bertobat kepada-Nya. Kemudian ayat ini ditutup dengan pernyataan bahwa Allah Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.
Al-hasan al-Basri berkata, "Di antara kasih sayang Allah ialah Dia memperingatkan manusia akan kekuasaan Diri-Nya, memperkenalkan kepada mereka kesempurnaan ilmu dan kodrat-Nya, sebab barang siapa telah mengetahui hal itu dengan sempurna, maka ia pasti merasa terpanggil untuk mencari keridaan-Nya dan menjauhi kemurkaan-Nya.
Di antara belas kasihan Allah ialah: Allah menjadikan fitrah manusia cenderung kepada kebajikan serta senantiasa membenci hal-hal yang mengarah kepada kejahatan, sehingga pengaruh kejahatan dalam jiwa dapat dilenyapkan dengan tobat dan amal saleh.
Diriwayatkan Anas bin Malik, dia berkata Rasulullah SAW bersabda,” Menuntut Ilmu wajib atas setiap muslim.” Mengingat yang dimaksud di sini adalah semua ilmu yang dibutuhkan seorang muslim dalam kehidupannya, maka fikih termasuk di dalamnya karena fikih termasuk yang dibutuhkan seorang muslim dalam kehidupannya, seperti hukum-hukum tentang ibadah, muamalah, dan lain sebagainya.
Dalam riwayat yang lain. Rasulullah SAW bersabda,” Siapa saja yang Allah Inginkan kebaikan padanya, maka Dia akan memahamkan agama padanya.” ( HR. Ibnu Majah). Hadits ini jelas menunjukkan keutamaan fikih dan dorongan untuk mempelajarinya.
Telah diriwayatkan dari Umar bin Khattab ra, bahwa dia berkata, “Sungguh, kematian seribu ahli ibadah yang bangun pada malam hari dan berpuasa pada siang hari, lebih ringan daripada kematian seorang yang berilmu yang mengetahui apa yang dihalalkan Allah dan apa yang diharamkan-Nya.” ( HR. Ahmad bin Hambal ).
Oleh : Dr. Nasrul Syarif, M.Si. (Penulis Buku Gizi Soiritual dan Buku BIGWIN. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo. Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur )