Tinta Media - Putusan MK mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang berbunyi “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” dinilai Ulama Aswaja KH. Rokhmat S. Labib sebagai cermin buruk negara demokrasi.
“Itulah Oligarki..., maka apa yang terjadi sekarang, hanyalah cermin buruk negara demokrasi,” tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (26/10/2023).
Menurutnya, putusan MK itu mengkonfirmasi apa yang selama ini menjadi opini di tengah masyarakat bahwa putusan hakim bisa dipesan oleh yang pegang kuasa. Penjelasan hakim MK Saldi Isra dalam dissenting opinion dengan gamblang menjelaskan hal tersebut.
“Dia tak habis pikir, bagaimana bisa dua hal yang sama, yakni gugatan batas usia 40 tahun ditolak, sedangkan berpengalaman menjadi kepala daerah bisa diterima. Padahal kasusnya serupa, bahwa ketentuan tersebut menjadi kewenangan pembuat undang-undang,” tuturnya menanggapi penjelasan hakim MK Saldi Isra.
“Jika MK yang sering disebut sebagai penjaga konstitusi bisa seperti itu, bagaimana dengan hakim di pengadilan tingkat di bawahnya?” tanyanya kemudian.
Menurutnya, putusan MK ini mengindikasikan jalan Gibran agar bisa ikut pilpres 2024 dan diharapkan dapat meneruskan kekuasaan Jokowi.
“Ya, jelas sekali. Jika bukan untuk Gibran, mengapa keputusan beberapa hari menjelang pendaftaran? Begitu keluar putusan, Gibran langsung didaftarkan,” tegasnya.
Ia menilai inti politik dinasti adalah mengangkangi kekuasaan untuk diri dan keluarganya. “Tentu saja, yang menjadi fokus adalah bagaimana kekuasaan tetap dipegang dinastinya,” nilainya.
Untuk itu, menurut Ustadz Labib berbagai cara akan ditempuh untuk mempertahankannya. Semua batasan akan diterobos jika menghalangi nafsu kuasanya. “Kasus putusan MK itu jelas menunjukkan demikian,” ujarnya.
“Ketika terjadi, maka tidak ada kepentingan rakyat. Rakyat hanya atas nama, tetapi faktanya demi dinasti,” tambahnya.
Pandangan Islam
Ustadz Labib menjelaskan bahwa Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu milik umat. Umat yang berhak menentukan siapa yang menjadi penguasa mereka. “Namun patut ditekankan, bahwa kekuasaan hanya untuk menjalankan kedaulatan syara’,” jelasnya.
Lebih lanjut ia jelaskan bahwa itu artinya, penguasa tidak hak membuat Undang-undang, apalagi mengubah undang-undang sesuai dengan selera hawa nafsunya. Sebab, undang-undang itu harus didasarkan kepada dalil syara’.
“Bahkan seandainya para penguasa dan semua rakyat berkumpul untuk mengubah ketentuan syara’, tidak diperbolehkan,” tegasnya.
Menurutnya inilah yang membedakan secara fundamental dengan demokrasi yang menjadikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Sehingga hukum dan undang-undang bisa diubah kapan saja sesuai kesepakatan.
“Di sinilah secara faktual hukum mengabdi kepada para pemegang kekuasaan, baik politik maupun ekonomi,” pungkasnya.[] Raras