Tinta Media - PT Freeport Indonesia (PTFI) menyerahkan dua totem Kamoro dari tanah Papua dalam rangka berpartisipasi dan mendukung dibangunnya taman totem dunia, pada program penataan kawasan waterfrom city Pangururan di Kecamatan Pangururan, Samosir, Sumatera Utara pada Rabu (27/09/2023).
Direktur dan EVP Sustainable Development PTFI Claus Mawafma, menyampaikan bahwa penyediaan Totem dari suku Kamoro oleh PTFI merupakan bentuk komitmen perusahaan untuk melestarikan karya seni dan budaya salah satu masyarakat adat Papua yang tinggal di sekitar perusahaan.
Sebelumnya PT Freeport juga melakukan pemugaran 4 patung Kamoro yang berada di bundaran kota Kuala kencana, Kabupaten Mimika, Papua Tengah. Pemugaran yang dikerjakan oleh 500 seniman suku Kamoro ini dikatakan sebagai bentuk dukungan PT Freeport Indonesia dalam melestarikan adat dan budaya khas Indonesia, khususnya suku Kamoro. sekaligus memperingati hari ulang tahun Indonesia yang ke-78 (nasional.kompas.com, 30-9-2023).
Maksud Terselubung
Sekilas upaya ini menunjukkan bahwa PT Freeport memberikan perhatian kepada masyarakat Papua. Namun, sejatinya bentuk dukungan kelestarian budaya, pemberian CSR untuk layanan pendidikan dan kesehatan, dan lainnya hanyalah upaya dari perusahaan asing itu untuk mengecoh masyarakat agar tidak terasa jika kekayaan alam mereka sudah dikeruk selama bertahun-tahun. Padahal, jika kekayaan alam itu dikelola mandiri oleh pemerintah, hasilnya akan jauh lebih banyak dan besar sehingga masyarakat Papua bisa sejahtera tanpa bergantung pada dana CSR Freeport.
Sejatinya, upaya-upaya tersebut dimunculkan untuk melanggengkan eksistensi PT Freeport di tanah Tembagapura, Timika, Papua. Dengan begitu, mereka tetap bisa mengeruk kekayaan alam di wilayah tersebut dengan leluasa. Inilah hasil pengelolaan kekayaan alam jika diatur dalam sistem kapitalisme. Sistem ini menjadikan prinsip kebebasan dalam kepemilikan sebagai hak asasi manusia, akhirnya perusahaan asing berkuasa untuk mengeruk harta rakyat selama mereka memiliki modal.
Pengelolaan SDA dalam Islam
Berbeda dengan tata kelola sumber daya alam jika diatur dalam Islam, kekayaan sumber daya alam yang begitu melimpah akan bisa menjamin kesejahteraan masyarakat secara nyata. Hal ini terlihat dari paradigma kepemilikan sumber daya alam, mekanisme pengelolaan, hingga distribusinya.
Terkait paradigma kepemilikan sumber daya alam, Islam menentukan bahwa kekayaan alam yang jumlahnya melimpah, baik yang ada di dalam bumi seperti batubara, emas, nikel dan barang tambang lainnya dan kekayaan alam yang berada di atas bumi seperti hutan, Padang gembalaan, dan sejenisnya, maupun kekayaan alam yang berada di perairan seperti laut, sungai, selat danau dan sejenisnya adalah milik umum.
Dalil paradigma ini jelas tertulis dalam hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dikatakan:
"Kaum muslimin berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api”.
Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni mengatakan, “Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya seperti garam, air, belerang, gas mulia, minyak bumi, intan, dll, tidak boleh dipertahankan hak kepemilikan individualnya selain oleh seluruh kaum muslimin, sebab hal itu akan merugikan mereka.”
Terkait kelimpahan, penjelasannya terdapat dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dari penuturan Abyadh bin Hammal, pada saat itu Rasulullah saw. memberikan tambang garam kepada Abyadh. Namun, tak berapa lama kemudian, Rasulullah ditegur oleh para sahabat sebab tambang garam yang diberikan seperti “Mau Al-iddu” yakni air yang jumlahnya berlimpah sehingga mengalir terus-menerus. Kemudian Rasulullah saw.. pun mengambilnya kembali.
Demikian, jelaslah bahwa kekayaan alam adalah mutlak milik umum yang haram dikuasai oleh para pemilik modal, seperti PT Freeport.
Terkait pengelolaannya, Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab _Nidzamul Iqtishadi_ menjelaskan bahwa Hutan dan bahan galian tambang yang tidak terbatas jumlahnya dan tidak mungkin dihabiskan adalah milik umum dan harus dikelola oleh negara.
Untuk kekayaan alam yang bisa langsung dimanfaatkan oleh kaum muslimin, seperti air, padang rumput, dan hutan Khilafah hanya mengatur agar pemanfaatan tersebut tidak menimbulkan bahaya dan kerusakan.
Namun, untuk kekayaan alam yang tidak bisa langsung dimanfaatkan oleh kaum muslimin, seperti barang tambang, maka negara yang akan mengambil alih proses eksplorasi, eksploitasi, pengolahan, dan distribusinya.
Sebab, kekayaan alam ini membutuhkan biaya yang besar, tenaga ahli, dan teknologi untuk bisa sampai bisa dimanfaatkan. Sehingga, dalam Islam tidak dikenal istilah investasi, bagi hasil, bagi kepemilikan saham, dan sejenisnya dengan para swasta korporat. Seandainya negara membutuhkan jasa mereka, maka Islam hanya memperbolehan para swasta ini diikat dengan perjanjian ijarah, yakni mereka sebagai buruh negara.
Adapun distribusi hasil pengelolaan tambang ada dua mekanisme, yakni secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung, negara akan memberikan subsidi kepada rakyat, seperti subsidi listrik, bahan bakar, dan kebutuhan umum lainnya. Secara tidak langsung, negara akan menjamin setiap warga negara untuk mendapatkan layanan gratis dan berkualitas terhadap kebutuhan dasar dan layanan publik, seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan.
Dengan demikian, jika tambang yang berada di Tembagapura, Timika, Papua dikelola dengan sistem Islam, maka masyarakat Papua tidak perlu menunggu CSR dari perusahaan untuk mendapatkan. Mereka pun tidak perlu mengalami keterbelakangan dari sektor pendidikan dan kesehatan, dan kelaparan yang berujung pada kematian. Pengelolaan kekayaan alam dengan sistem Islam di bawah naungan negara bernama khilafah akan mewujudkan kesejahteraan nyata bagi semua warga negara.
Wallohu A’lam Bishowab
Oleh: Dwi Maria, Sahabat Tinta Media