Tinta Media - Kasus sengketaan tanah di negeri ini terus terjadi, seperti tidak ada habisnya. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil membeberkan bahwa di tahun 2022 ada 8.000 kasus sengketa tanah yang berkonflik.
Baru-baru ini sedang ramai pemberitaan terkait kasus yang sama. Bahwa ada ribuan warga Rempang, Batam, menolak digusur dari tanah kelahirannya. Mereka tidak ingin direlokasi ke Pulau Galang atas nama pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City. (cnnindonesia.com, 15/9/2023)
Akibat rencana pembangunan kawasan Rempang Eco City, terjadilah konflik lahan tersebut. Sejak 2004, rencana pembangunan kawasan Rempang Eco City telah mencuat. Pemerintah melalui BP Batam dan Pemerintah Kota Batam bekerja sama dengan menggandeng PT. Makmur Elok Graha sebagai pihak swasta. Kini, pembangunan Rempang Eco City menjadi bagian Program
Strategis Nasional tahun ini sesuai Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 dan ditargetkan bisa menarik investasi hingga Rp381 triliun pada tahun 2080. Kemudian, Kawasan Rempang juga akan menjadi lokasi pabrik kaca terbesar kedua di dunia milik perusahaan China Xinyi Group.
Respon Pemerintah
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD menyatakan peristiwa di kawasan Pulau Rempang bukan penggusuran. Hal yang terjadi adalah pengosongan lahan oleh yang berhak. Mahfud mengatakan bahwa negara telah memberikan hak atas Pulau Rempang kepada sebuah entitas perusahaan pada 2001-2002 berupa Hak Guna Usaha (HGU) begitu pula dengan Surat Keterangan (SK) telah dikeluarkan secara sah.
Kapitalisme Rela Mengorbankan Ruang Hidup Rakyat
Miris, melihat kondisi masyarakat rempang. Pemerintah rela menggusur tempat tinggal penduduk hanya untuk investasi. Permasalahan sengketa tanah ini bukan kali pertama terjadi. Investasi didukung pemerintah dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat, sekalipun wilayah itu telah dihuni oleh ribuan jiwa.
Banyak aspek yang bisa dilihat untuk menilai kerusakan sistem kapitalisme. Salah satunya adalah bentuk kelemahan negara atas ketergantungan terhadap para pemilik modal. Negara tidak mampu bersikap mandiri untuk mengelolah kekayaan yang ada, alih-alih memberikan sedikit demi sedikit wilayah kepada pihak asing dan mengorbankan rakyat. Seharusnya negara menjadi pelindung untuk rakyat.
Wajar, menjadi sebuah pertanyaan bahwa rakyat mana yang dimaksud untuk dilindungi, karena faktanya rakyatlah yang selalu menjadi tumbal investasi. Sebab, ini bukan sekadar tanah tempat tinggal atau tempat kelahiran, tetapi juga sebagai tempat kelangsungan hidup masyarakat yang mayoritas mereka adalah nelayan.
Licik dan busuknya sistem kapitalisme ini hanya akan semakin menyengsarakan masyarakat. Melihat yang menjadi investor untuk proyek pembangunan ini adalah Cina dengan dana yang sangat besar, tentulah ini harus menjadi sesuatu perhatian yang besar. Sebab, faktanya penduduk atau masyarakat cina semakin membludak. Tentu butuh tambahan ruang lain agar internal negara mereka tidak mengalami ledakan penduduk berupa pengangguran dan lapangan pekerjaan yang mampu menurunkan kekuatan kekuasaan.
Inilah liciknya para penguasa dan pengusaha di sistem kapitalisme. Penguasa di dalam negeri hanya mementingkan kerakusan materi yang akan mereka peroleh.
Pemberian dana investasi ataupun pinjaman dari para pemilik modal pastilah tidak ada yang cuma-cuma sebab tidak ada makan siang gratis dalam sistem kapitalis. Begitu pun dengan pembangunan pabrik atau infrastruktur yang dilakukan, pastilah Cina telah mempersiapkan ruang hidup untuk masyarakatnya. Sedangkan masyarakat pribumi di negeri ini masih berkhayal dalam angan-angan dengan janji lapangan pekerjaan yang akan diberikan.
Perspektif Islam
Pelayanan pemerintah terhadap rakyat merupakan amanah yang akan dihisap oleh Allah kelak. Maka, dalam Islam prinsip pembangunan tidak tegak atas pilar yang membawa mudarat. Sebab, pembangunan dilaksanakan untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat dan dilakukan secara mandiri.
Dalam pemerintahan Islam, tidak ada pengalihan peran negara terhadap individu, sebab hal tersebut adalah pelanggaran terhadap syariat. Alhasil, seorang penguasa dalam melayani dan mengurus rakyatnya harus memiliki mentalitas negarawan yang amanah. Pembangunan yang dilakukan negara bukan hanya berfokus pada upaya mewujudkan kemaslahatan rakyat, tetapi juga pada prinsip politis, yaitu pembangunan negara yang bertujuan untuk memperlihatkan ketinggian Islam dan syariatnya sekaligus.
Pada masa kejayaan Islam, pembangunan-pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah Islam berpijak pada prinsip yang kukuh, yaitu Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya.
Inilah yang dapat dicontoh pada berbagai bangunan peninggalan peradaban Islam. Keindahan bangunan dan fungsinya merupakan karya agung yang tidak hanya lahir dari penguasaan terhadap ilmu arsitek, tetapi juga spirit Islam yang begitu dalam.
Jika kini negara fokus membangun proyek strategis nasional dengan label kota wisata, eco-city, green city, atau apa pun itu, pada masa peradaban Islam pun sudah ada kota-kota megah yang ramah lingkungan dan rakyat merasakan manfaat pembangunan tersebut.
Melalui pendanaan dari baitul mal, proyek pembangunan berjalan secara mandiri. Negara akan memaksimalkan pemasukan dari pos-pos pendapatan negara berupa pemasukan tetap, yakni fai’, ganimah, anfal, kharaj, dan jizyah. Juga pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya, serta pemasukan dari hak milik negara berupa usyur, khumus, rikaz, dan tambang. Jika kas baitulmal kosong, negara dapat menggerakkan pengumpulan dana dari kalangan orang kaya (aghniyah).
Negara tidak boleh membuka celah masuknya investasi di sektor yang terkategori kepemilikan umum. Kepemilikan umum sepenuhnya diatur oleh negara dan tidak boleh diberikan kepada swasta, baik dalam bentuk konsesi ataupun privatisasi. Wallahu A'lam Bishawab..
Oleh: Wahyuni
(Aktivis Muslimah)