Tinta Media - Bupati Bandung Dadang Supriatna didampingi kepala DPUTR (Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang) Zeiz Zultagawa, serta Kepala DLH (Dinas Lingkungan Hidup) Asep Kusuma mengujungi sekertariat jendral (sekjen Kementrian ATR/ BPN Sugus Widiyana dalam rangka membawa aspirasi kerja Kabupaten Bandung terkait program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL)
PTSL adalah salah satu program pemerintahan untuk memudahkan masyarakat mendapatkan Sertifikat Tanah secara Gratis. Tujuan PTSL adalah untuk menghindari sengketa serta perselisihan di kemudian hari. Sertifikat sangat penting bagi para pemilik tanah karena tanpa sertifikat sebagai bukti kepemilikan, tanah dapat diakui orang lain, bahkan oleh negara dengan dalih investasi.
Contoh nyata terjadi di pulau Rempang. Rakyat yang sudah tinggal di sana puluhan tahun diusir oleh aparat dengan alasan mereka tidak memiliki sertifikat tanah.
Tanah Rempang akan digunakan untuk pembangunan Rempang Eco City yang dibiayai pengusaha Cina. Hal ini terjadi karena negara masih menggunakan peraturan peninggalan Belanda yang mengatakan bahwa tanah yang tidak bersertifikat adalah milik negara.
Pogram PTSL disambut baik oleh masyarakat karena mereka berharap tanahnya menjadi aman dengan adanya sertifikat, apalagi prosesnya gratis. Akan tetapi, kenyataannya jauh panggang dari api. Program PTSL tidak tanpa biaya dan banyak warga yang mengatakan prosesnya ribet.
Permasalahan yang dihadapi umumnya adalah masalah biaya pajak PPH dan BPHTB atau pajak penjual dan pembeli yang harus diselesaikan, lalu PBB terutang beberapa tahun ke belakang juga harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum proses PTSL dilakukan.
Jadi, harapan ingin mendapatkan sertifikat gratis pupus. Yang ada malah harus membayar pajak-pajak terutang itu yang nilainya sampai jutaan rupiah.
Beberapa warga yang pernah ikut program sertifikat gratis juga mengeluhkan adanya kekeliruan data dalam sertifikat yang dia dapat, seperti keliru angka luas tanah, batas-batas tanah atau nama pemilik. Hal ini menjadi masalah baru, yaitu harus mengurus perbaikan ke BPN setempat dan pastinya memakan biaya dan waktu.
Ada lagi warga yang kehilangan bukti kepemilikan tanah asli berupa AJB atau kuitansi di desa saat pengumpulan berkas.
Semua kejadian di atas membuktikan tidak matangnya persiapan program dari pemerintah. Pemerintah dengan sistem kapitalisme selalu memberikan janji-janji manis untuk pencitraan pribadi penguasa, tetapi hasilnya menimbulkan masalah baru bagi masyarakat karena ketidaksiapan pelaksana di bawahnya.
Berbeda dengan sistem Islam yang menerapkan syariat Islam dalam pengelolaan kepemilikan tanah. Allah Swt. yang memiliki dan memberikan tanah di bumi ini untuk dikelola manusia. Siapa saja yang bisa mengelola, mengolah, dan memanfaatkan tanah sesuai syariat Islam, maka boleh memilikinya, tidak ada keharusan membuat sertifikat.
Ada tiga jenis kepemilikan tanah dalam Islam, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Ketiganya punya aturan yang jelas dan adil. Negara berperan menerapkan ketentuan syariat Islam yang menjamin ketiganya terwujud.
Negara haram hukumnya mengambil paksa tanah milik individu, sekalipun untuk kepentingan umum. Setiap warga berhak memiliki tanah selama tanah itu bukan milik umum atau negara. Itu berarti, hanya dengan penerapan syariat Islam dalam bingkai Khilafah terwujud keadilan bagi masyarakat. Wallahu 'alam bish shawaab.
Oleh: Heni, Sahabat Tinta Media