Tinta Media - Di tengah krisis multidimensi yang terjadi di negeri ini, ada kejadian yang menambah ironi, yaitu kasus pembunuhan yang dilakukan ibu kandung kepada anaknya yang berusia 13 tahun di Kabupaten Subang. Korban ditemukan dalam kondisi berlumuran darah dengan tangan terikat ke belakang.
Korban pembunuhan tersebut ternyata berasal dari keluarga broken home akibat kasus perceraian kedua orang tuanya. Hal ini menyebabkan korban lebih banyak tinggal di jalanan. Ia pun putus sekolah dan untuk makan harus meminta-minta hingga mencuri (Kompas.com, 8/10/2023).
Pembunuhan yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya bukanlah kasus yang pertama kali terjadi. Lalu, apakah yang menjadi akar masalah dari problematika ini? Apakah hanya karena emosi, seorang ibu bisa kehilangan nurani?
Faktor yang mendorong seseorang melakukan tindak kekerasan bisa dipicu oleh emosi yang kurang terkontrol. Hal ini bisa saja menyebabkan seseorang menjadi gelap mata, bahkan bisa melakukan tindakan kejahatan yang mengancam nyawa. Namun, tentu hal ini hanyalah efek dari problem dasar di dalam keluarga yang memang bersifat multifaktor. Hal ini bahkan tidak terlepas dari problem sistemik akibat penerapan ideologi kapitalisme sekuler saat ini. Lalu, bagaimana relevansinya?
Keluarga yang miskin visi akan melahirkan generasi yang bermental rapuh. Jika berbicara tentang institusi keluarga, maka erat kaitannya dengan proses dalam memilih pasangan. Jika saat memilih pasangan tidak memiliki visi dan misi yang jelas, suami dan istri tidak memahami hak dan kewajibannya, hingga kurangnya pemahaman agama. Maka, wajar jika saat berumah tangga tidak memiliki panduan yang jelas.
Kita bisa melihat bagaimana potret buram keluarga dalam sistem kapitalisme sekuler saat ini yang tidak menjadikan syariat Islam sebagai panduan. Alhasil, standar dalam menilai baik dan buruk pun disandarkan pada sudut pandang akal manusia.
Para suami kehilangan fungsi utamanya sebagai pemimpin dalam rumah tangga (qawwam).
Seorang ibu rela menjadi tulang punggung keluarga karena dorongan ekonomi agar bisa bertahan hidup. Suami yang di-PHK, terbatasnya berbagai lapangan pekerjaan bagi laki-laki, hingga masalah disorientasi peran suami istri menjadi faktor pencetus banyak ibu yang mengambil alih tugas suami untuk mencari nafkah.
Selain itu, kapitalisme telah mendorong para ibu yang notabene adalah seorang ummun wa rabatul bait beralih fungsi menjadi mesin penggerak roda ekonomi. Dengan dalih Pemberdayaan Ekonomi Perempuan (PEP), banyak para ibu yang akhirnya harus meninggalkan rumah untuk menjadi tulang punggung keluarga.
Kelelahan secara fisik dari seorang ibu diperparah dengan kelelahan secara emosional akibat kurangnya perhatian dan kasih sayang yang diberikan suami, tidak adanya pendidikan di dalam keluarga, hingga tidak adanya support sistem dari lingkungan sekitar.
Maka, saat ini kita melihat bahwa isu mental health di tengah keluarga semakin marak.
Lalu, siapa yang mengambil alih tugas untuk mendidik anak-anaknya?
Kita bisa melihat bahwa anak-anak saat ini banyak yang menjadikan sumber referensi mereka dari internet dan media sosial. Mereka mencari gambaran sosok ideal yang bisa menjadi teladan bukan kepada sosok yang ada di rumah, yaitu ayah dan ibunya. Namun, mereka mencari idola di dunia maya sebagai sarana untuk memenuhi tangki cinta yang tidak mereka dapatkan di rumah.
Keluarga yang notabene sebagai tempat yang seharusnya membuat anak merasa aman, kini menjadi tempat yang bisa jadi menjadi ancaman. Kasus kekerasan seksual pada anak, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan sebagainya banyak terjadi di lingkungan keluarga. Bahkan, tak jarang pelakunya adalah keluarga terdekat korban. Sungguh ironis, potret buram keluarga di dalam sistem kapitalis sekuler.
Berbagai undang-undang yang dibuat nyatanya hanya menjadi sebuah solusi yang tambal sulam. Sebut saja UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Nyatanya, produk hukum buatan manusia tersebut, tidak bisa menjadi solusi tuntas. Bahkan, menimbulkan permasalahan baru di tengah masyarakat.
.
Hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam. Di dalam sistem Islam, keluarga bukanlah institusi yang terpisah dari negara, Sebab, fungsi negara adalah untuk mengurusi (riayah) secara penuh urusan rakyat. Tentu termasuk di dalamya adalah memastikan setiap keluarga bisa diatur oleh aturan Islam.
Negara akan memfasilitasi laki-laki untuk bisa memenuhi kewajibannya dalam mencari nafkah dengan menyediakan banyak lapangan pekerjaan. Dengan demikian, seorang istri bisa fokus untuk mendidik anak-anak di rumah. Negara juga memfasilitasi para perempuan untuk bisa berkarya dan berkontribusi terhadap umat tanpa harus menggerus fitrahnya sebagai seorang ummun warabatul bait (ibu dan pengatur urusan rumah tangga).
Sistem Islam bahkan memiliki mekanisme sampai kepada tataran praktis untuk memastikan bahwa tidak ada anak-anak yang terlantar karena orang tua yang bercerai, meninggal, dan sebagainya. Syariat Islam telah mengatur masalah jalur pengasuhan dan nafkah secara terperinci.
Sistem pendidikan Islam dirancang untuk menghasilkan generasi yang memiliki kepribadian Islam. Kurikulum yang didesain dengan basis akidah Islam akan membentuk generasi yang visioner dan memiliki imunitas dari gempuran ideologi asing.
Oleh karena itu, untuk menyelesaikan problematika keluarga secara tuntas, maka diperlukan penerapan Islam secara kafah. Sebab, hanya dengan institusi negaralah tindakan preventif dan kuratif bisa dilaksanakan secara berdampingan untuk menyelesaikan masalah keluarga hingga ke akarnya. Keluarga yang lahir di dalam sistem Islam akan menjadikan akidah Islam sebagai pondasi dan bervisi surgawi.
Oleh: Annisa Fauziah, S.Si.
Aktivis Muslimah