PAKTA: Putusan MK Tentang Batas Usia Minimal Capres Cawapres Bukti Bobroknya Demokrasi - Tinta Media

Kamis, 26 Oktober 2023

PAKTA: Putusan MK Tentang Batas Usia Minimal Capres Cawapres Bukti Bobroknya Demokrasi

Tinta Media - Menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang berbunyi “Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” Direktur Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA) Dr. Erwin Permana mengatakan bahwa itu bukti bobroknya demokrasi.
 
“Keputusan MK ini menurut saya itu menunjukkan bukti bobroknya demokrasi,” tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (25/10/2023).
 
Erwin beralasan, kalaulah MK itu berfungsi untuk meluruskan semua regulasi yang tak sejalan dengan konstitusi, ini justru MK itu sendiri telah merontokkan konstitusi.
 
“Jadi bukan lagi Mahkamah Kontitusi di tengah-tengah masyarakat malah berkembang menjadi mahkamah keluarga. Kenapa mahkamah keluarga? Karena dengan sendirinya klausul ini, ini menjadi karpet merah untuk Gibran,” ulasnya.
 
Erwin menerangkan, yang memutuskan itu adalah paman Gibran, presiden Indonesia itu adalah Jokowi, bapaknya Gibran. “Jadi apapun yang terkait dengan pasal ini senantiasa ini pasti terhubung dengan Gibran. Jadi, ini merupakan karpet merah untuk Gibran,” imbuhnya.
 
Terus Berkuasa
 
Dalam penilaian Erwin, putusan MK ini merupakan bagian dari ambisi Jokowi untuk senantiasa terus berkuasa.
 
“Setelah upaya-upaya yang dia lakukan untuk bertahan tiga periode itu gagal karena banyak hal, akhirnya dia berusaha untuk diteruskan oleh keluarganya. Siapa yang paling mungkin? Yang paling mungkin adalah Gibran. Nah, jadi ini merupakan upaya untuk melanggengkan ambisi Jokowi untuk terus berkuasa,” bebernya.
 
Menurutnya, dinasti politik semacam ini sangat berbahaya bagi rakyat dan negara, karena akan menutup celah bagi orang lain yang jauh lebih kapabel, yang jauh lebih mampu, yang jauh lebih memiliki kapasitas untuk berkuasa.
 
 “Yang berkuasa itu pada akhirnya adalah anaknya penguasa sekarang. Apakah mampu atau tidak itu menjadi nomor sekian. Dia enggak cakap, itu nomor sekian, dia tidak memiliki kapasitas, tidak memiliki integritas, itu nomer sekian. Akhirnya kondisi negara yang memang sudah amburadul tidak kunjung bisa diperbaiki,” sesalnya.
 
Islam
 
Erwin lalu membandingkannya dengan Islam. “Dalam Islam isu politik dinasti itu sama sekali tidak ada, karena Islam itu paradigma politiknya adalah riayah suunil ummah (mengurusi urusan masyarakat),” ujarnya.
 
Maka dengan sendirinya, ia melanjutkan,siapa di antara orang-orang terbaik dalam Islam yang mampu untuk mengurus urusan masyarakat dengan cara yang baik akan diserahi amanah kepemimpinan.
 
“Apakah bapaknya sudah menjadi khalifah, kemudian anaknya ternyata memiliki kemampuan yang sama dengan bapaknya bahkan mungkin lebih baik dibanding bapaknya tidak masalah,” tambahnya.
 
Ini, ucapnya, berbeda dengan demokrasi. Dalam demokrasi politik itu bukan pengurusan terhadap urusan rakyat tetapi politik bermakna kepentingan.
 
“Kepentingan yang dilegalkan melalui peraturan perundang-undangan bahkan dengan sendirinya perundang-undangan itu dibuat akan berpihak kepada yang membuat dan juga keluarga yang membuat. Pada akhirnya negeri ini bukan menjadi milik rakyat,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
 
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :