Monopoli Media dalam Konflik G4za - Tinta Media

Selasa, 31 Oktober 2023

Monopoli Media dalam Konflik G4za

Tinta Media - Monopoli narasi Zionis Yahudi yang selama ini diembuskan tengah terpatahkan oleh banyaknya gempuran dari pengguna media sosial terkait  dengan terbukanya fakta-fakta yang terjadi di Palestina. Itu sebabnya, Benny Ganz yang merupakan kepala staf umum pasukan pertahanan Zionis Yahudi ke 20 ketar-ketir, sehingga mengadakan pertemuan darurat dengan Facebook, Instagram, dan TikTok selama penyerangan Zionis Yahudi terhadap Gaza untuk meminta mereka menghapus konten Palestina. Sebab, pihaknya mengetahui jika opini publik global saat ini sedang berubah.

Banyak netizen yang mengeluhkan betapa tidak adilnya kebijakan media sosial semacam YouTube, Meta yang membawahi FB dan Instagram, Twitter yang berganti menjadi X, serta Tiktok. Banyak dari postingan soal Hamas dan Palestina menghilang, mendapat peringatan, serta tak sedikit akun yang dibanned. 

Sementara banyak postingan tentang Hamas Palestina menghilang dan akun penyedia informasi soal kondisi terkini Palestina berdasarkan fakta yang dibanned, munculah banyak postingan video atau foto drama playing victims Zionis Yahudi pada beranda pengguna media sosial.

Alasan yang Mengada-ada

Meta sendiri mengaku bahwa selama kurun waktu tiga hari terakhir telah menghapus lebih dari 795.000 konten berbahasa Ibrani dan Arab terkait perang Hamas-Zionis Yahudi. Begitu pun dengan Twitter (X) yang menghapus banyak postingan dan tagar pendukung Palestina, serta akun-akun yang dicurigai tertaut dengan Hamas. Mereka berdalih, dihapusnya konten-konten yang berbau Palestina adalah untuk mengurangi konten kebencian atau menyesatkan di platformnya.

Mereka juga beralasan bahwa kebijakan yang dibuat merupakan jawaban dari tuduhan Eropa terkait adanya penyebaran berita bohong dan provokatif mengenai perang Hamas-Yahudi pada platform mereka.

Sebelumnya, komisioner untuk pasar internal Uni Eropa, Thierry Bretton telah memberikan peringatan kepada semua bos platform media sosial, yaitu  Elon Musk (X), Mark Zuckerberg (Meta), dan Shou Zi Chew (Tiktok) mengenai Hamas-Yahudi. Thierry meminta kepada para platform tersebut untuk segera menghapus konten yang dianggap ilegal dan berbahaya sesuai aturan UU Layanan Digital (DSA) UE. Jika dilanggar,  platform-platform tersebut akan menuai sanksi berupa denda yang tidak sedikit. Lantas benarkah demikian?

Menelisik ke belakang, kebijakan diskriminatif platform media sosial menyangkut konflik Gaza Palestina ini sebenarnya tak asing. Sebab, tahun 2012 misalnya, ketika terjadi kembali aksi kekerasan, kebijakan semacam ini pun diberlakukan.

Begitu pun saat terjadi kekerasan di Syekh Jarrah (Mei 2021). FB dan Instagram terang-terangan menandai konten terkait kasus di Syekh Jarrah secara khusus, maupun Palestina secara umum sebagai konten sensitif.  

Kedua platform ini pun sering kali menghapus konten tanpa alasan yang jelas dan masuk akal. Contoh saja, hanya menulis kata dengan tagar #Alaqsa saja dapat teridentifikasi terafiliasi gerakan berbahaya sehingga mereka berhak menggunakan kebijakan pembatasan standar komunitas untuk menghapus unggahan tersebut.

Diketahui pula bahwa Facebook me-realease sebuah grup bernama Jerusalem Prayer Team yang mendukung okupasi Zionis Yahudi untuk mencari dukungan dunia internasional dengan menambahkan penggunanya lebih dari 76 juta kemudian memaksa pemilik akun untuk turut mendoakan Zionis Yahudi dengan menyukai postingan-postingan pada grup tersebut secara otomatis.

Platform Media sebagai Alat Propaganda

Mengingat banyaknya tindak kekerasan yang dialami bangsa Palestina di Gaza, tentu saja akan menarik simpati publik dan solidaritas internasional. Di sini, peran media sosial atau media massa sebagai alat penyedia informasi akan sangat membantu masyarakat global untuk mengetahui informasi terkini yang terjadi di Gaza, serta mampu digunakan sebagai alat warga dunia untuk memberikan dukungan pada Palestina.

Namun, sebagaimana diketahui bahwa berbagai platform media yang saat ini ada, mereka telah tunduk kepada Barat sehingga informasi mengenai suatu kondisi tidak akan disampaikan berdasarkan fakta yang ada. Hal itu dikarenakan adanya pihak-pihak yang ketakutan akan menguatnya pembelaan masyarakat global terhadap bangsa Palestina yang kemudian membuat mereka menggunakan berbagai cara untuk membungkam dan membuat narasi playing victims agar simpati dunia tertuju pada mereka.

Fakta ini jugalah yang dibongkar Sami Hadi, Jurnalis sekaligus pemimpin Redaksi Internasional Interest, menyoal upaya Benny Ganz yang mengadakan pertemuan darurat dengan stakeholder platform media sosial dan mengarahkan mereka bekerja sesuai kehendak Zionis Yahudi. 

Begitu kuatnya lobi yahudi dan sekutunya, Amerika dalam mengendalikan media massa.
Media massa Uni Eropa pun tak luput dari kendalinya, yang pada awalnya penerapan UU Layanan Digital dibuat untuk memperketat aktivitas bisnis perusahaan-perusahaan digital besar dunia yang beroperasi di Eropa kemudian fungsinya berangsur bercabang dengan mengendalikan semua platform media sosial yang dikelola berbagai perusahaan besar tersebut untuk turut melakukan bermacam langkah pengurangan risiko terhadap konten terkait perang di Gaza yang mereka sebut konten disinformasi. 

Selain itu, dengan alasan keamanan pemilu yang akan diselenggarakan negara-negara Uni Eropa, pihak stakeholder platform memberi waktu 24 jam kepada seluruh perusahaan tersebut untuk menjelaskan cara mereka mematuhi UU Layanan Digital. Sikap Uni Eropa ini sejatinya merupakan bentuk dukungan terhadap langkah bengis politik Zionis Yahudi untuk memuluskan jalan menghalau, bahkan memusnahkan bangsa Palestina.

Mereka dengan segala cara berusaha menghalangi akses masyarakat global terhadap fakta, sehingga opini-opini publik dapat dikendalikan, yang akhirnya membuat publik tersesatkan dengan berbagai pemberitaan terkait issue Palestina. 

Hasilnya, publik hanya melihat dari sisi Barat, sekalipun kenyataannya banyak rakyat Palestina telah diusir dan dibunuhi dengan membabi buta selama puluhan tahun, tetapi stigmatisasi Palestina sebagai penjahat tetap melekat. Sementara itu, Zionis Yahudi yang diserang Hamas yang sebenarnya merupakan aksi balasan terlabeli sebagai korban. 

Benar-benar playing victims.
Menyedihkannya, berbagai pembelaan dan simpati kepada Zionis Yahudi digaungkan sana-sini, tak terkecuali oleh mereka yang mengaku muslim, bahkan mereka yang dipanggil ustadz, syekh, buya dengan jumlah pengikut yang tidak sedikit. 

Pihak Zionis Yahudi dan sekutu benar-benar memahami bahwa media sosial adalah bagian dari alat peperangan yang sangat menguntungkan di era digitalisasi saat ini. Dengan menguasai media massa ataupun media sosial, maka akan mampu menguasai dunia, dan itulah obsesi mereka.

Nyatalah bahwa apa yang mereka lakukan ini merupakan warisan nasihat dari Rashoron, seorang tokoh Rabi Yahudi ternama di zamannya. Dalam khotbahnya pada tahun 1869 di Braga Portugal, ia pernah berkata, "Jika emas merupakan kekuatan pertama kita untuk mendominasi dunia, dunia jurnalistik merupakan kekuatan kedua bagi kita."

Pernyataan tersebut kemudian dikuatkan melalui konferensi Zionis pertama yang diadakan di Swiss pada tahun 1897 di bawah pimpinan Theodor Herzl. Beberapa referensi yang dikeluarkan adalah soal urgensi menguasai media massa, termasuk jurnalisnya, untuk mendukung mereka dengan tujuan menguasai dunia dan menghalangi dominasi media lawan dengan membangun narasi opini.

Lihatlah saja sekarang, betapa hari ini mereka begitu menguasai dan mengendalikan media-media besar dunia. Bahkan, media-media besar tersebut dijadikan sebagai tolok ukur dalam pembuatan berita pada media dunia lainnya, termasuk mengenai konten perang pemikiran dan kultur yang disiarkan ke berbagai penjuru dunia yang tidak jarang diselimuti kebohongan. Dengan kekuatan materi (emas) dan jurnalistik, mereka terus berusaha mengisolasi informasi valid tentang dunia Islam, termasuk Palestina.

Dengan Kembali pada Aturan Islam, Kemenangan adalah Keniscayaan

Boleh saja hari ini Zionis Yahudi dan sekutunya berbangga dengan kekuatan materi (emas) serta medianya, sekalipun dengan kekuatan kedua alat tersebut berhasil menggenggam dunia dan bahkan membuat para penguasa muslim tak berkutik.

Namun, kezaliman mereka pasti akan menuai balasan yang berkali lipat. Umat mulai sadar dan kini beranjak bangkit. Benih persatuan umat tak dapat dicegah. Kekuatan persatuan semakin memancar dan siap menghancurkan peradaban yang rusak yang selama ini dibangun di atas kebenaran yang diingkari.

Allah Yang Mahakuasa dan atas segala Kehendak-Nya telah menjanjikan akan munculnya kekuatan politik Islam yang memiliki power luar biasa, yakni Khilafah Rasyidah kedua dan dengannya akan mempersatukan negeri-negeri Islam di bawah benderanya. Setiap mukmin memiliki keteguhan bahwa di luar sokongan politik serta kecanggihan senjata dan media mereka, ada pertolongan Allah yang dekat.

Kelak, setiap hasta tanah kaum muslimin yang telah dirampas penjajah akan dibebaskan oleh Khilafah dengan tentara-tentaranya seraya menghina-dina Zionis Yahudi dan sekutunya, bahkan kota Roma pun kelak ditaklukkan di bawah al-Liwa dan ar-Rayah.

Saat ini adalah tugas kita sebagai muslim untuk turut mengukir bagian sejarah kita, yakni berusaha menggenggam kokoh ikatan Allah, saling membersamai dalam ketaatan dan berjuang dalam menegakkan kalimat-Nya. Bagaimanapun nanti hasilnya, biarlah Allah yang menggenapinya. Yang terpenting adalah usaha kita agar tidak menyelisihi sedikit pun dari jalan yang dicontohkan Rasulullah Saw.

Dari banyaknya masalah kehidupan yang tak sanggup diselesaikan dengan tuntas, maka sistem Islam dalam naungan khilafahlah yang mampu menyelesaikan setiap masalah hingga akar. Dengan kembali pada syariat Islam, kedamaian menjadi suatu keniscayaan, tak terkecuali bangsa Palestina dan bumi Palestina, bumi para nabi.

Oleh: Anindya Vierdiana
Sahabat Tinta Media

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :