Mitigasi Karhutla, Sejauh Mana Keseriusan Negara? - Tinta Media

Rabu, 11 Oktober 2023

Mitigasi Karhutla, Sejauh Mana Keseriusan Negara?

Tinta Media - Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dengan intensitas titik api sedang hingga tinggi terus berlangsung di seluruh provinsi di Kalimantan, terkhusus wilayah Kalimantan Barat. Manager Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Uli Artha Siagian mengatakan bahwa kasus Karhutla di Kalimantan yang notabene terus berulang menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA).  

Uli menegaskan bahwa akar permasalahan berulangnya karhutla adalah karena negara “salah urus” dalam mengelola sumber-sumber kehidupan/ sumber daya alam. Kesalahan pengurusan negara tersebut mengakibatkan hilangnya perlindungan terhadap wilayah-wilayah yang penting dan rentan. Salah satunya yaitu wilayah seperti lahan gambut dan hutan. 

Tak hanya itu, Uli juga memaparkan bahwa lahan gambut dan hutan di Kalimantan banyak terbebani ragam perizinan, di antaranya perizinan monokultur sawit, pertambangan, dan perizinan dalam sektor kehutanan yang lainnya. Dalam catatan Walhi, setidaknya ada 900 perusahaan asing yang beroperasi di lahan gambut dan hutan. Akibatnya, lahan gambut dan hutan menjadi wilayah yang rentan dan tidak mendapat perlindungan khusus.  (nasional.tempo.co, Minggu 20/08/2023)

Dalam rangka menindaklanjuti karhutla yang terus meluas, Tim Pengawas dan Polisi Hutan Balai Gakkum KLHK Wilayah Kalimantan menyegel empat lokasi karhutla di Kalimantan Barat, di antaranya lokasi area PT. MTI Unit 1 Jelai (1.151 Ha), PT. CG (267 Ha), PT. SUM (168,2 Ha) dan PT.FWL (121,24 Ha). Melalui data hotspot, Tim Gakkum KLHK secara intensif melakukan monitor dan melakukan verifikasi lapangan terhadap lokasi terindikasi titik api. (Tirto, 04/09/2023)

Dampak Karhutla

Merujuk data KLHK periode Januari hingga Juli 2023, luas karhutla di Indonesia tercatat hingga 90.405 ha. Mirisnya, karhutla juga menyumbang emisi karbon dioksida lebih dari 5,9 juta ton ekuivalen karbon dioksida (CO2e).

Sejumlah kota di Indonesia tercemar kabut asap yang mengakibatkan meningkatnya kasus infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Tak hanya di dalam negeri, negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia pun terganggu dan merasa dirugikan karena ikut terpapar kabut asap. 

Menyikapi dampak karhutla yang terus meluas hingga ke negeri seberang, seyogianya menjadikan pemerintah lebih “aware” dan segera melakukan evaluasi terhadap penanganan yang telah diupayakan. Mengingat kasus karhutla bukan pertama kalinya terjadi, seharusnya ini menjadi alarm bagi negara untuk mengevaluasi dan merevisi kembali upaya mitigasi agar maksimal dan mencapai keberhasilan. 

Menilik masalah karhutla, sejatinya pokok permasalahannya bukan terjadi di tataran teknis semata. Lebih jauh dari itu, karhutla berulang karena masalah sistemik. 

Karhutla adalah salah satu dampak yang muncul karena aktivitas kapitalisasi hutan. Eksploitasi hutan besar-besaran sejak terbitnya UU no 5 tahun1967 mengenai Ketentuan Pokok-Pokok Kehutanan menjadikan penguasa dan para oligarki memiliki kekuatan untuk mengelola dan mengeksploitasi hutan atas nama konsesi hutan.

Deforestasi, pembukaan lahan gambut, terus berlangsung demi keberlangsungan bisnis kaum kapitalis. UU yang disahkan melegalkan pembakaran hutan dan lahan dengan embel-embel syarat dan ketentuan tertentu. 

Kondisi ini menjadikan negara tak lebih hanya sebagai fasilitator dan regulator bagi korporasi. Negara kehilangan perannya sebagai periayah (pengatur) urusan rakyat dan pelindung rakyat dari kezaliman. 

Konsep kapitalisme yang menjunjung tinggi kebebasan, termasuk dalam kebebasan kepemilikan menjadi dasar dikuasainya aset-aset strategis dengan eksploitasi nirbatas hingga menimbulkan kerusakan alam dan bencana.

Islam Menyelesaikan Karhutla

Dalam Islam, kasus karhutla dapat terpecahkan secara tuntas oleh negara yang menerapkan aturan Islam secara komprehensif dan menyeluruh (kaffah). Seperti kita tahu, karhutla tidak bisa kita pisahkan dari buruknya pengelolaan lahan dan hutan.

Pengelolaan lahan dan hutan dalam Islam diatur menggunakan beberapa aturan. Dalam Islam, tidak terdapat kebebasan secara mutlak. Setiap orang wajib terikat dengan hukum syariat. Begitu pun dalam hal memperoleh kepemilikan lahan. Seseorang boleh memiliki lahan dengan cara yang dibolehkan syariat. 

Pemilik lahan diharuskan mengelola lahannya secara produktif dan tidak boleh menelantarkannya lebih dari tiga tahun. Apabila lahan tersebut dibiarkan lebih dari tiga tahun, maka kahan tersebut berubah status menjadi tanah mati. Kemudian negara akan memberikan lahan mati itu kepada siapa saja yang lebih dahulu dapat menggarap dan menghidupkan tanah tersebut. 

Lebih dari itu, pembukaan lahan dalam Islam tidak boleh menggunakan cara-cara yang dapat merusak ekosistem dan unsur hara tanah, seperti pembakaran hutan dan lain sebagainya. 

Negara berkewajiban untuk mengedukasi masyarakat bahwa menjaga kelangsungan ekosistem dan kelestarian alam merupakan kewajiban bagi setiap muslim.  Negara juga harus melakukan pengontrolan dan pengawasan terhadap setiap aktivitas eksplorasi atau pemanfaatan hutan, baik yang dilakukan individu, kelompok maupun instansi. Negara memberi sanksi tegas jika mereka melakukan perusakan alam dan lingkungan. 

Islam memandang hutan sebagai harta kepemilikan umum yang pengelolaannya haram diserahkan pada individu, swasta, bahkan asing. Harta kepemilikan umum dalam Islam hanya boleh dikelola langsung oleh negara untuk kemaslahatan rakyat. 

Negara dalam Islam akan memproteksi sumber daya alam, termasuk hutan guna menjaga fungsi ekologis dari hutan tersebut untuk menjauhkan VB dari hal-hal yang bisa membahayakan masyarakat. 
Inilah upaya-upaya yang dilakukan negara Islam sebagai perwujudan fungsi negara yang hakiki, yaitu sebagai periayah urusan rakyat sekaligus pelindung mereka. Wallahu ‘alam bishawab.

Oleh: Selly Nuramalia
Aktivis muslimah
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :